Alt Title

Bahkan Warga Negara Asing Dibuat Tidak adil

Bahkan Warga Negara Asing Dibuat Tidak adil

 


Dalam sistem pendidikan Islam, masyarakat dididik untuk menstandarkan hidup kepada Allah Swt., mengedepankan keimanan dan takwa

Sehingga, saat menikah generasi muslim tahu tentang makna tujuan pernikahan


___________________


Penulis Mawaddah Sopie

Kontributor Media Kuntum Cahaya


KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Dunia selebriti sepertinya tidak pernah sepi dari pemberitaan tentang skandal. Sebut saja TE seorang biduan yang diduga selingkuhan WNA asal Korea. Tuduhan tersebut ternyata bukan isapan jempol semata. Hal tersebut terbukti dengan kemunculan seorang wanita bernama Amy.


Amy mengaku sedang dirundung duka, karena ulah suaminya dengan TE yang membawa kabur buah hatinya. Termasuk, seorang bayi yang baru dilahirkan beberapa bulan sebelumnya. Ia memberitakan hal tersebut secara  langsung lewat akun media sosialnya. 


Amy menginfokan bahwa dia telah menikah dengan AW kurang lebih selama 16 tahun. Dan menuduh TE sebagai pelakor yang menyebabkan bubarnya keharmonisan dirinya dengan suami dan anak-anaknya. (Liputan6.com.08/03/2024)


Netizen pun dibuat geram. Bagaimana mungkin bayi yang masih kecil mungil dipisahkan dengan ibu kandungnya? Bak terjatuh tertimpa tangga pula. Amy selain dikhianati oleh suaminya juga dipisahkan dengan anak-anak dan bayinya. 


Kasus demikian mungkin tidak hanya terjadi pada Amy. Banyak wajah Ibu di Indonesia mengalami hal serupa. Bahkan, mungkin tak hanya di Indonesia juga terjadi di seluruh penjuru dunia. Semua itu terjadi karena diterapkannya sistem kapitalis sekuler di dunia ini. Orang dengan mudahnya menghalalkan segala cara untuk meraup materi dunia. Tak memandang cara yang halal maupun haram. Tak berfikir cara tersebut menzalimi orang lain atau tidak.


Dalam sistem sekuler orang tidak paham tentang tujuan pernikahan yang dilandaskan atas syariat Islam. Mereka mengira pernikahan itu sesuatu yang menyajikan keindahan seperti di film drama korea. Sehingga, pernikahan yang terbentuk mudah rapuh. Dengan mudahnya mengkhianati pasangan saat ditimpa ujian. 


Ujian pun semakin masif di sistem kapitalis saat ini. Godaan wanita bertebaran yang berusaha menggoda karena tujuan materi dan kesenangan semata. Belum lagi budaya di masyarakat mendukung ke arah terjadinya penyimpangan. Dalam masyarakat sekuler, hubungan laki-laki dan perempuan dianggap untuk memuaskan nafsu belaka bukan untuk meneruskan keturunan. Adanya campur baur antara laki-laki dan perempuan (ikhtilat) dianggap hal yang biasa. Serta didukung dengan tontonan dan hiburan yang membangkitkan gharizah nau (naluri untuk berkasih sayang). Alhasil, banyak orang mengekspresikan gharizah nau tersebut secara bebas. Menjamurlah budaya selingkuh yang mengancam ketahanan keluarga.


Perselingkuhan tersebut terjadi juga karena faktor dari negara. Yang membiarkan semua konten-konten negatif mudah tersebar di masyarakat seperti pornografi di film, media sosial, televisi, dan lain sebagainya. Sehingga, membangkitkan hasrat dari semua orang yang menikmatinya. Dalam hal ini, perlu peran negara untuk mencegah itu semua. Karena, negara sebagai pemangku kebijakan tertinggi yang bisa merubah semua sistem. Seperti sistem pendidikan, pergaulan, sistem pembuat sanksi dan hukum. 


Dalam sistem pendidikan Islam, masyarakat dididik untuk menstandarkan hidup kepada Allah Swt. mengedepankan keimanan dan takwa. Sehingga, pada saat menikah generasi muslim tahu tentang makna tujuan pernikahan. Hak dan kewajiban sebagai suami istri dan pentingnya menjaga komitmen pernikahan. Serta menjalankan peran dengan benar sebagai ibu dan ayah. Semua di lakukan dengan penuh cinta kasih dan sayang. Anak-anak benar-benar dijaga mental serta pertumbuhannya. 


Dalam kacamata Islam, seorang ayah harus fokus dalam mendidik istri dan anaknya agar sama-sama menjalankan hidup islami sesuai syariat Islam. Sehingga, tidak ada pikiran untuk berkhianat yang berakibat melukai perasaan mental istri terutama mental anaknya. Alhasil, tidak ada kasus seorang ibu berpisah dengan anaknya. Hanya karena bersiteru antara ibu dan ayahnya.


Dalam kasus Amy ini. Anak yang paling kecil dikategorikan di bawah 5 tahun. Oleh karena itu, anak di bawah usia 5 tahun masih termasuk kategori anak di bawah umur. Menurut Kompilasi Hukum Islam pada pasal 105, anak yang usianya masih di bawah 12 tahun adalah hak ibunya. Akan tetapi biaya pemeliharaan anak akan tetap ditanggung oleh bapaknya. Hal demikian sejalan dengan kompilasi Hukum Islam dengan putusan Mahkamah Agung RI No.126 K/Pdt/2001 pada tanggal 28 Agustus 2003.


Putusan tersebut mengatakan jika terjadi perceraian dan anak masih di bawah umur. Pemeliharaannya diserahkan pada orang terdekat dan akrab dengan anak yaitu ibunya. Dan melakukan proses perceraian muslim terlebih dahulu di pengadilan agama. (bursadvocates.com.10/01/2024).


Begitupun menurut pandangan syariat Islam, seorang ibu yaang paling berhak untuk mengasuh putra dan putrinya. Al Imam Muwaffaquddin Ibnu Qudamah mengungkapkan, apabila suami istri mengalami perceraian dengan meninggalkan anak (masih kecil atau anak cacat), maka ibunya yang berhak menerima hak hadhonah (mengasuh) daripada orang lain. Dan itu disepakati oleh para ulama. 


Tidak ada kedekatan kasih sayang yang sempurna antara manusia dengan manusia lain kecuali hubungan kasih sayang ibu dengan anaknya. Suami (ayahnya) tidak boleh mencoba menanganinya sendiri. Akan tetapi perlu menyerahkannya kepada ibunya (isterinya). Begitu pula ibu kandung sang isteri, ia lebih berhak dibandingkan isteri ayahnya (suaminya).


Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu membuat satu ungkapan yang indah: “Aromanya, kasurnya dan pangkuannya lebih baik daripada engkau, sampai ia menginjak remaja dan telah memilih keputusannya sendiri (untuk mengikuti ayah atau ibunya)“


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mempunyai alasan. Mengapa ibu lebih berhak dalam mengasuh anaknya? Karena, ibu lebih baik daripada ayah si anak. Sebab, jalinan ikatan dengan si anak sangat kuat dan lebih mengetahui kebutuhan makanan bagi anak. Cara menggendong, menidurkan dan mengasuh. Dia lebih pengalaman dan lebih sayang. 


Dalam hal ini, ia lebih mampu, lebih tahu, dan lebih tahan mental. Sehingga, dia orang yang mesti mengasuh seorang anak yang belum memasuki usia tamyiz berdasarkan syari’at Islam. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, bahwasanya ada seorang wanita pernah mendatangi Rasulullah mengadukan masalahnya. Wanita itu berkata: "Wahai Rasulullah, anakku ini dahulu akulah yang mengandungnya. Akulah yang menyusui dan memangkunya. Dan sesungguhnya ayahnya telah menceraikan aku dan ingin mengambilnya dariku.“


Mendengar pengaduan wanita itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab : “Engkau lebih berhak mengasuhnya selama engkau belum menikah.


Hadis ini memberi isyarat bahwa seorang ibu sangat berhak mengasuh anaknya ketika ia diceraikan oleh suaminya (ayah si anak) dan menginginkan merebut hak asuhnya. (Almanhaj.or.id, 04/2024).


Adapun dalam aturan syariat Islam. Seorang ibu dilarang mendapat hak asuh anak apabila ibu tersebut Ar-riqqu yakni tidak taat pada syariat, fasiq yakni sering melakukan perbuatan maksiat kepada Alloh Swt., kafir dan yang terakhir jika ibu tersebut sudah menikah lagi. Fenomena kasus Amy WNA asing ini tentu tidak akan terjadi kalau syariat Islam tegak di muka bumi ini. Wallahualam Bissawab. [Dara]