Alt Title

Pemilu dalam Sistem Demokrasi, Gerbang Masuknya Kepentingan Oligarki

Pemilu dalam Sistem Demokrasi, Gerbang Masuknya Kepentingan Oligarki

 


Yang ada bagi mereka hanya bagaimana mereka dapat balik modal secepatnya

Selain fakta-fakta di atas menjelaskan kepada kita, bahwa politik demokrasi merupakan pintu awal untuk menggelar karpet merah bagi para oligarki untuk menguasai Indonesia

______________________________


Penulis Oktavia 

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Aktivis Muslimah


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Perpolitikan di Indonesia rupanya makin memanas, saling sikut biasa terjadi. Ada yang tidak kalah heboh, yaitu kampanye yang super jor-joran dilakukan oleh para paslon. Tak dimungkiri dana untuk kampanye yang digelontorkan tidak sedikit. Hal ini perlu diperhatikan secara saksama, dari mana dana tersebut didapatkan. 


Salah satu yang mendalami aliran dana keluar dan masuk dalam kontes perpolitikan kali ini, adalah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mendapatkan temuan adanya tren peningkatan pembukaan rekening baru menjelang pemilu 2024.


Tak tanggung-tanggung, tercatat ada 704 juta pembukaan rekening baru. Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengungkapkan penyebab pembukaan rekening diduga berkaitan dengan kontestasi politik.


Ivan mengungkapkan bahwa terdapat kenaikan transaksi dari lingkup partai politik menjelang pemilu ini. Bahkan peningkatannya berkali-kali lipat dari jumlah normal transaksi sebelumnya. Nominal kenaikan transaksinya tidak main-main, yaitu menembus angka Rp80,6 triliun. Angka paling besar untuk satu parpol mencatat transaksi Rp9,4 triliun. (Liputan6.com, 11/01/24)


Selain fakta di atas, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menambahkan, terdapat aliran dana sebesar Rp195 miliar dari luar negeri ke 21 rekening bendahara partai politik atau parpol. Kepala Biro Humas PPATK, Natsir Kongah mengimbuhkan bahwa langkah PPATK mengungkap aliran dana luar negeri ke parpol merupakan bentuk kepedulian untuk menjaga demokrasi tanah air. (CNBC.com, 12/01/24)


Mengangkangi Hukum


Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengungkapkan bahwa dana dari pihak asing atau luar negeri tidak boleh digunakan untuk kegiatan kampanye oleh peserta pemilihan umum (pemilu). (CNN Indonesia.com, 11/01/24)


Anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini mengatakan bahwa partai politik dilarang menerima dari atau memberikan kepada pihak asing sumbangan dalam bentuk apa pun yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Ketentuan itu tertuang Pasal 40 ayat (3) huruf a UU Nomor 2 Tahun 2008.


Dari sederet fakta yang terjadi di lapangan, banyak pihak yang berharap bahwa temuan laporan PPATK akan ditindaklanjuti, tetapi tidak sedikit juga yang ragu akan keberpihakan keadilan di negeri ini akan ditegakkan.


Mengingat beberapa saat sebelum pencalonan capres-cawapres, terdapat UU yang diubah, berkaitan umur minimal untuk bisa mengajukan diri menjadi capres-cawapres. Hukum di Indonesia menjadi mudah dikangkangi karena sumbernya hanya berdasarkan kepentingan segelintir orang/pihak.


Politik di Sistem Demokrasi Berbiaya Tinggi


Sistem kapitalisme dengan turunannya yaitu politik demokrasi merupakan sistem yang tidak mengenal aturan, tidak mengenal benar salah, yang dikenal dan dipakai hanya mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan modal seminimal mungkin, salah satunya melalui kontestasi politik 2024 ini. 


Temuan kasus terkait dana yang mencurigakan terhadap para kontestan oleh PPATK, menggambarkan kepada kita bahwa politik di sistem demokrasi kapitalisme membutuhkan dana yang tidak murah.


Penyokong dana para kontestan tidak cukup oleh satu donatur, bahkan terdapat temuan data, bahwa dana dari luar negeri pun masuk ke beberapa rekening bendahara partai. Dan pastinya para donatur ini tidak sukarela memberikan dananya. Pasti ada tujuan di balik ini semua. Di sinilah oligarki memainkan perannya dalam mendanai para paslon.


Sistem politik demokrasi, merupakan sistem politik yang gagal. Pasalnya bukannya rakyat semakin sejahtera, namun yang terjadi justru sebaliknya. Masyarakat sengsara sedangkan pejabat hidup bergelimang harta. Kegagalan politik demokrasi diperparah dengan biaya mahal yang harus dikeluarkan demi mendapatkan jabatan yang diinginkan.


Dalam tulisannya, ICW.com menyebutkan bahwa demokrasi yang dihinggapi persoalan korupsi akhirnya menciptakan politik berbiaya tinggi (high cost), risiko yang tinggi (high risk), tetapi menggiurkan karena memberikan keuntungan besar bagi mereka yang berhasil mendapatkan kursi kekuasaan (high return). Itulah kenapa dunia politik tidak pernah sepi dari peminat, sekalipun semakin banyak politisi yang diseret masuk bui. 


Pemilu serentak ini merupakan gerbang awal untuk para oligarki memainkan perannya, mendanai kebutuhan kampanye. Kemudian jika orang yang mereka danai berhasil naik, maka mereka akan meminta balas jasa dengan meregulasi kepentingan.


Pada Konferensi Tenurial Oktober lalu, Erasmus Cahyadi dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengungkapkan, pemerintah justru melahirkan berbagai regulasi yang bertujuan memfasilitasi kepentingan segelintir kelompok elite bisnis dan elite politik. Mulai dari revisi UU Minerba, UU Cipta Kerja, UU IKN, Revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) dan masih banyak lagi.


Pada kepemimpinan Bapak Jokowi-Ma'ruf Amin (2015—2022), terjadi sedikitnya 2.710 letusan konflik agraria yang berdampak pada 5,88 juta hektare lahan. Letusan konflik tersebut disebabkan berbagai ragam bisnis dan investasi, mulai pembangunan infrastruktur, proyek strategis nasional (PSN) hingga pertambangan. 


Ini merupakan fakta yang nyata di depan mata kita, bahwa politik demokrasi tidak akan mungkin melahirkan pemimpin yang adil, dan berpihak kepada rakyat. Yang ada bagi mereka hanya bagaimana mereka dapat balik modal secepatnya. Selain fakta-fakta di atas menjelaskan kepada kita, bahwa politik demokrasi merupakan pintu awal untuk menggelar karpet merah bagi para oligarki untuk menguasai Indonesia. 


Pemimpin Dambaan Umat


Di tengah permasalahan bertubi-tubi menimpa rakyat Indonesia, tak dimungkiri mereka menginginkan pemimpin yang mampu menyelesaikan masalah tanpa masalah baru. Masalah terselesaikan secara sempurna, sehingga rakyat tidak lagi merasa berada dalam kubangan masalah.


Mendambakan pemimpin yang bervisi luas nan tinggi, memikirkan rakyat secara serius, taat hukum tanpa mengangkangi hukum, berhati tulus nan bersih. Semua kriteria tadi akan mudah kita temukan dalam bentukan sistem Islam yang mengatur berkaitan kepemimpinan.


Di dalam Islam, seorang penguasa atau pemimpin merupakan pelindung bagi rakyat dan orang-orang yang dipimpinnya. Ia bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya, karena ia sadar kelak ia akan dimintai pertanggungjawabannya di hari kiamat atas amanah kepemimpinannya itu.


Sebagaimana hadis Rasulullah saw., “Imam adalah raa’in (gembala) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Bukhari)


Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai yang (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud)


Islam akan membentuk seorang pemimpin sesuai gambaran di atas melalui mekanisme yang mudah, murah harganya tetapi tetap pada esensinya yaitu mencari pemimpin terbaik di antara yang baik. Menggunakan metode baiat, sedangkan caranya dapat menggunakan penunjukan, pemilu ataupun lainnya (tidak ada pelanggaran hukum syarak).


Dengan memahami bagaimana syarat dan mekanisme pengangkatan seorang pemimpin di dalam Islam, semoga kita semakin paham dan dapat bersegera mempersiapkan hal itu terwujud.


Dengannya Islam akan diterapkan secara sempurna. Dengannyalah pula rahmat Allah akan diberikan untuk alam semesta. Wallahualam bissawab. [SJ]