Alt Title

Kebijakan Impor Beras Membuat Petani Waswas

Kebijakan Impor Beras Membuat Petani Waswas


Menghidupkan lahan mati adalah salah satu upaya memperluas lahan pertanian

Dengan kebijakan pemerintah yang fokus untuk menyejahterakan rakyat serta tidak ada campur tangan swasta dalam mengolah SDA, niscaya swasembada pangan rakyat akan terjamin

______________________________


Penulis Alfaqir Nuuihya 

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Ibu Pemerhati Sosial


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Awal 2024, Indonesia akan mengimpor beras sebanyak tiga juta ton untuk mengamankan cadangan pangan nasional. Menurut Airlangga Hartanto, wacana tersebut telah diputuskan jauh-jauh hari, yaitu sejak Februari 2023 lalu.  


Hal tersebut senada dengan ucapan Jokowi, bahwa impor beras ini akan dilakukan dengan Thailand dan India agar cadangan strategis ketahanan pangan Indonesia selalu dalam keadaan aman dan terkendali. 


Dikutip dari cnnindonesia[dot]com (9/1/2024), impor dilakukan dengan alasan adanya kelahiran bayi sekitar 4–4,5 juta per tahun, sehingga kebutuhan pangan beras setiap tahunnya terus meningkat.


Namun, alasan ini bertolak belakang dengan pernyataan peneliti Center of Reform on Economic (Core) Indonesia, Eliza Mardia. Menurutnya keputusan impor beras tahun ini tidak sesuai dengan data. Sebab, kebutuhan awal 2024 masih dapat dipenuhi dari sisa impor tahun lalu. Dengan data stok beras awal tahun ini masih di atas 10 juta ton, dan kebutuhan nasional per bulan berkisar antara 2,5 juta ton per bulan. (cnnindonesia[dot]com, 10/1/2024)


Apalagi Indonesia sebagai negara agraris dan menempati peringkat keempat dunia sebagai produksi beras terbesar yaitu mencapai 34,45 juta ton. Bahkan International Research Institute (IRRI) pernah memberikan penghargaan kepada Jokowi terkait sistem pertanian tangguh dan swasembada pangan tahun 2019-2021.


Dari dua kesimpulan yang bertolak belakang ini kita dapat menyimpulkan bahwa keputusan impor adalah keputusan yang sangat tidak mendasar. Dari impor yang terlalu dipaksakan ini, negara hanya ingin mengambil keuntungan dan petani akan terkena dampak saat musim panen tiba. 


Bahkan ketika kita cermati pernyataan Eliza Mardani, tentang fakta kebutuhan beras nasional, yakni harus ada cadangan sebesar 20%, nyatanya kebutuhan beras nasional dalam keadaan aman dan terkendali. Hanya saja, kondisi ini tidak serta-merta mencukupi kebutuhan masyarakat. Sebab amannya stok beras nasional tidak otomatis dapat dirasakan oleh masyarakat. 


Masyarakat yang kesulitan membeli beras tetap kesulitan untuk mengaksesnya. Maka, dapat disimpulkan bahwa titik masalahnya adalah manajemen stok dan distribusi beras. Kondisi ini diperparah dengan dikuasainya hampir seluruh pengelolaan distribusi beras ini oleh pihak swasta. 


Lagi dan lagi negara hanya sebagai regulator bagi para pemilik modal untuk memonopoli semua bidang pengurusan rakyat agar keuntungan mengalir kepada mereka. Pada akhirnya ketimpangan ekonomi semakin merata, yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin terperosok dalam jurang kemiskinan. 


Kita juga dapat melihat bahwa kebijakan impor beras adalah solusi pragmatis yang disodorkan pemerintah. Keputusan yang sebenarnya sangat berbahaya bagi ketahanan pangan Indonesia karena kita akan terus bergantung kepada negara lain. 


Secara praktis impor beras adalah jalan mempermudah para pemilik modal dalam mendapatkan keuntungan. Impor juga dapat diartikan bahwa negara telah gagal dalam bidang ekonomi. Begitupun dengan lahan pertanian yang beralih fungsi. Berapa banyak lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi lahan industri, tol, dan sebagainya. 


Para petani beralih mata pencaharian, bahkan wajar jika kuantitas panen akan terus menurun. Namun, lebih aneh lagi ketika pemerintah mencanangkan proyek food estate. Di satu sisi banyak pertanian yang beralih fungsi, tetapi di sisi lain justru pemerintah membuka lahan baru untuk pertanian akibat kurangnya lahan.


Padahal proyek food estate, membutuhkan anggaran dana yang lebih besar, waktu penyesuaian yang relatif lama karena kondisi lahan food estate berbeda dengan lahan pertanian pada umumnya. 


Inilah salah satu dampak liberalisasi saat swasta mendominasi dalam menggarap proyek strategis di bidang pangan. Padahal kita ketahui bahwa pangan adalah kebutuhan dasar masyarakat dan kewajiban pemenuhannya adalah tanggung jawab negara.


Tanggung jawab yang tidak boleh dialihkan terhadap pihak swasta. Karena jika tanggung jawab ini dialihkan, harga barang tidak akan stabil karena acuan pihak swasta sebagai pemilik modal adalah bagaimana caranya bisa mendapatkan untung besar. 


Di dalam Islam, proyek food estate adalah keputusan yang harus dipertimbangkan secara matang karena kondisi lahan yang berbeda dan penggunaannya pun berbeda. Jika pun kekurangan lahan pertanian, maka Islam akan menghidupkan lahan mati (lahan yang tidak dikelola selama tiga tahun berturut-turut oleh pemiliknya) dan negara akan mengalihkan kepemilikan tanah tersebut kepada orang yang membutuhkan dan memiliki kemampuan dalam mengelolanya. 


Menghidupkan lahan mati adalah salah satu upaya memperluas lahan pertanian. Dengan kebijakan pemerintah yang fokus untuk menyejahterakan rakyat serta tidak ada campur tangan swasta dalam mengolah SDA, niscaya swasembada pangan rakyat akan terjamin. 


Tentunya pemerintah yang dimaksud adalah pemerintah yang menyadari kedudukannya sebagai pemimpin serta paham bahwa kelak akan dimintai pertanggungjawaban atas setiap amanah yang diembannya. Wallahualam bissawab. [SJ]