Alt Title

Cukupkah Kepuasan Masyarakat Dinilai dari Survei Semata?

Cukupkah Kepuasan Masyarakat Dinilai dari Survei Semata?

Maka ketika umat menginginkan penguasa dan jajarannya mencintai rakyat, memudahkan semua urusannya dan memiliki rasa takut berbuat dosa termasuk riswah, maka jalan satu-satunya adalah dengan diterapkannya aturan Islam secara kafah dalam tataran individu, masyarakat dan negara

Untuk itu dibutuhkan upaya dari seluruh umat untuk memperjuangkannya

______________________________________


Penulis Suryani

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Literasi



KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Baru-baru ini Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Bandung bekerja sama dengan Bagian Organisasi Sekretariat Daerah setempat, melakukan penilaian pelayanan publik yang dinamakan survei Indeks Kepuasaan Masyarakat (IKM) untuk diserahkan kepada Dinas Kependudukan sebagai lembaga penyedianya.

 

Hal di atas dilakukan untuk mengukur sejauh mana tingkat kepuasan masyarakat atas pelayanan yang diterimanya, sebagai tindak lanjut dari Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi nomor 14 tahun 2017, tentang pedoman penyusunan survei kepuasaan masyarakat unit penyelenggara pelayanan publik. (Cariyanlik[dot]com, 05/01/2024)


Dilansir dari laman yang sama survei kepuasan masyarakat pada tahun 2023 dilaksanakan terhadap sembilan jenis pelayanan dokumen kependudukan, di antaranya: penerbitan Kartu Keluarga (KK), KTP-el, KIA, Surat Keterangan Kepindahan dan Kedatangan WNI, serta akta kelahiran, kematian, perkawinan dan perceraian. Hasilnya ternyata dinilai sangat baik.


Namun perlu dikaji ulang apakah hasil tersebut sesuai dengan realitas di lapangan? Yang namanya pelayanan dokumen kependudukan sebenarnya tidak luput dari kecurangan, semisal praktik riswah (suap).


Riswah seakan menjadi tradisi karena terjadi dari mulai tingkat RT hingga pejabat tinggi. Saat ini, telah menjadi rahasia umum bilamana urusan ingin secepatnya selesai, masyarakat harus menyediakan biaya lebih banyak.


Munculnya calo-calo yang bekerja sama dengan oknum pegawai pun tidak terhindarkan. Mereka siap membantu lebih cepat dalam pengurusannya, tentunya dengan imbalan yang lumayan besar.


Ditambah lagi terlalu sederhana bila kepuasan masyarakat terhadap kinerja para pelayannya diukur hanya dari sembilan dokumen kependudukan. Masih banyak hak rakyat dalam hal pelayanan masih terabaikan. Hak mendapatkan keadilan hukum, hak dilindungi, hak mendapatkan lapangan kerja, dan yang lainnya.


Maka wajar jika di tengah masyarakat muncul anggapan bahwa keberadaan survei tersebut lebih cenderung pada tuntutan penilaian, bukan muncul dari kesadaran untuk melayani rakyat dengan baik. 


Inilah yang terjadi ketika pemangku kebijakan memberlakukan sistem kapitalisme sekuler. Yakni satu aturan yang memisahkan agama dari kehidupan. Kebijakan yang dibuat asasnya kepentingan, hanya sekadar mengejar angka-angka yang dipandang menguntungkan. Pelayanan tidak dipandang sebagai amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban. Semboyan "ada uang segala urusan lancar", itu menjadi hal biasa pada sistem ini.


Akan jauh berbeda  jika landasan bernegara bertumpu pada aturan Islam. Pemimpin juga pegawai pemerintahannya adalah orang-orang terpilih yang memiliki kepribadian Islam di samping kemampuan. Maka dari itu mereka selalu menjalankan fungsinya dengan sungguh-sungguh, yakni mengurusi urusan rakyat dan melayani mereka sebaik mungkin. Sabda Nabi saw. dalam hadisnya yang berbunyi:


"Imam/pemimpin adalah raa'in (pengurus/pengembala) rakyatnya, dan dia bertanggung jawab atas kepengurusan rakyatnya." (HR. Bukhari)


Hubungan antara pemimpin dan rakyat ibarat orang tua dan anak yang saling menyayangi dengan senantiasa memperhatikan kewajibannya satu sama lain, tanpa memperhitungkan untung rugi. Negara akan mempermudah pengurusan berbagai dokumen yang dibutuhkan masyarakat.


Riswah diharamkan dalam Islam dan akan mendapat laknat sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang berbunyi: "Laknat Allah Swt. kepada pemberi suap dan penerima suap." (HR. Ahmad)


Pemerintah dan jajarannya akan mengedukasi seluruh warga agar terhindar dari laknat Allah tersebut. Karena kewajiban penguasa memberikan pemahaman akan semua syariat Islam dan menerapkannya dalam kehidupan bernegara. Ketika masih ada yang melanggar maka akan dikenakan sanksi takzir dengan jenis hukuman yang ditentukan oleh qadhi dalam peradilan Islam.


Seleksi khusus bagi pegawai pemerintah, Islam menetapkan mekanisme sebagai berikut: Pertama, mereka yang terpilih benar-benar layak dan bertakwa. Kedua, melarang menyibukkan diri dengan aktivitas yang melalaikan tugasnya seperti berbisnis dan sejenisnya. Ketiga, melarang menerima hadiah atau hibah dari mereka yang punya kepentingan. Keempat, menetapkan gaji yang cukup untuk biaya kehidupannya juga keluarganya.


Mekanisme ini hanya ada dalam sistem Islam. Maka ketika umat menginginkan penguasa dan jajarannya mencintai rakyat, memudahkan semua urusannya dan memiliki rasa takut berbuat dosa termasuk riswah, maka jalan satu-satunya adalah dengan diterapkannya aturan Islam secara kafah dalam tataran individu, masyarakat dan negara. Untuk itu dibutuhkan upaya dari seluruh umat untuk memperjuangkannya. Wallahualam bissawab. [SJ]