Alt Title

Pembukaan Lahan Sawit, Ruang Hidup Menyempit

Pembukaan Lahan Sawit, Ruang Hidup Menyempit

 


Sistem kapitalisme yang sekarang diterapkan telah memuluskan para korporasi untuk terus melakukan ekspansi lahan

Dampaknya ruang hidup rakyat dirampas secara zalim

______________________________


Penulis Siska Juliana 

Tim Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Pembukaan lahan sawit dengan dalih untuk kepentingan pangan, kembali menuai sorotan. Hal itu diungkapkan oleh Kepala Sekretariat Koalisi Sistem Pangan, Lestari Gina Karina. Ia mengatakan bahwa pembukaan dan pengelolaan lahan sawit yang tidak sesuai regulasi, membuat tanah tidak dapat digarap lagi menjadi lahan baru yang lebih subur. Ia pun menolak jika sawit merupakan komoditas pangan, karena menurutnya sawit bukanlah komoditas pangan. (tempo[dot]co, 15/12/2023) 


Perluasan lahan sawit menimbulkan kerusakan lingkungan. Selain itu, ruang hidup rakyat juga terampas. Misalnya konflik lahan perkebunan sawit yang terjadi di Seruyan, Kalimantan Tengah. Warga setempat menuntut keadilan dari sebuah perusahaan swasta sampai puluhan tahun. Hal itu disebabkan karena perusahaan tidak menepati janji dan malah berbuat zalim, bahkan sampai memakan korban jiwa. 


Menurut data BPS, sejak 2011 sampai 2021 luas perkebunan sawit melonjak 60,11 persen. Adapun perkebunan sawit milik rakyat tercatat sebanyak 6,03 juta ha dan seluas 550.333 ha sisanya merupakan perkebunan sawit milik negara.


Sistem kapitalisme yang sekarang diterapkan telah memuluskan para korporasi untuk terus melakukan ekspansi lahan. Dampaknya ruang hidup rakyat dirampas secara zalim. Negara hanya berfungsi sebagai regulator saja. Negara mempermudah kepentingan koporat dengan undang-undang, bahkan tak segan menurunkan kepolisian dan TNI untuk membantu swasta menindak warga.


Begitu banyaknya penderitaan yang dialami rakyat, ketika aturan yang diterapkan tidak memberikan rasa keadilan dan kesejahteraan bagi mereka. Untuk itu dibutuhkan solusi yang hakiki agar kezaliman dapat terhenti. Aturan itu berasal dari Sang Maha Pencipta dan Maha Pengatur, yaitu Islam. 


Islam sangat tegas mengatur persoalan lahan. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.,


"Barangsiapa mengambil satu jengkal tanah yang bukan haknya, ia akan dikalungi tanah seberat tujuh lapis bumi di hari kiamat." (HR. Muslim). 


Hadis tersebut diriwayatkan oleh sahabat Sa'id bin Zaid setelah mengalami sengketa lahan dengan seorang perempuan bernama Arwa binti Uways. Ia mengadukan sengketa ini kepada Marwan bin Hakam yang saat itu menjabat sebagai khalifah Dinasti Umayyah.


Ia merasa direnggut haknya oleh Arwa binti Uways. Sa'id bin Zaid sampai mengucapkan kutukan bahwa, "Jika benar haknya direnggut, semoga Allah membutakan matanya dan mematikannya di tanahnya." Fakta yang terjadi, Arwa hidup buta di sisa hidupnya sampai meninggal. 


Islam tidak membenarkan adanya perampasan lahan. Islam mengatur dengan rinci dan adil agar semua individu rakyat menikmati hasil dari lahan tersebut. Syekh Taqiyyudin an Nabhani dalam kitabnya Nidzam Iqtishadi menjelaskan bahwa konsep kepemilikan lahan terbagi menjadi tiga. 


Pertama, lahan milik individu. Yaitu lahan pertanian, perkebunan, lahan untuk kolam dan lain sebagainya. Lahan milik individu dikelola dan dimanfaatkan oleh individu seperti dijual, diwariskan, dan dihibahkan. 


Kedua, lahan milik umum. Yaitu lahan yang di atasnya atau di dalamnya terdapat harta milik umum seperti hutan, sumber mata air, barang tambang yang jumlahnya tidak terbatas, jalan maupun laut. Lahan milik umum tidak boleh dimiliki oleh individu atau swasta sebagaimana yang terjadi pada saat ini.


Lahan milik umum harus dikelola oleh negara untuk kemaslahatan umum. Contohnya negara membuka lapangan pekerjaan untuk kaum laki-laki sebagai pegawai negara untuk mengelola lahan milik umum. Dengan begitu, perempuan dan generasi tidak menjadi tumbal pemberdayaan ekonomi seperti saat ini.


Ketiga, lahan milik negara. Di antaranya lahan yang tidak berpemilik dan lahan yang ditelantarkan lebih dari 3 tahun. Lahan milik negara dikuasai negara, dikelola dan dimanfaatkan sesuai kepentingan negara. 


Seperti inilah aturan Islam terkait hak kepemilikan dan hak pengelolaan aturan lahan, ini tidak boleh diganggu gugat. Lahan harus dikuasai dan dikelola sesuai dengan ketentuannya. Maka untuk menyelesaikan masalah persengketaan alih fungsi hutan yang makin meluas untuk perkebunan sawit, Islam akan mengembalikan masalah tersebut sesuai syariat.


Hutan adalah milik umum, maka swasta tidak boleh menguasainya. Negara akan mengusir dan memaksa para korporat tersebut mengembalikan harta milik umum kepada negara. Selanjutnya negara akan mengelolanya, termasuk mengatur luasnya hutan yang direhabilitasi dan dimanfaatkan sebagai perkebunan sawit.


Hasil pengelolaan ini diberikan kepada masyarakat dalam bentuk terjangkaunya kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Hanya saja semua konsep ini akan terealisasi jika negara menerapkan Islam secara kafah. Wallahualam bissawab. [SJ]