Alt Title

Hidup Susah Mati Pun Sulit, Derita dalam Naungan Kapitalis

Hidup Susah Mati Pun Sulit, Derita dalam Naungan Kapitalis

Begitu pula dalam hal pengurusan mayat, kepedulian seakan sirna karena faktor biaya. Ketiadaan keluarga seharusnya membuat penguasa tergerak untuk mengambil alih proses pemakaman, namun tidak demikian dalam sebuah negara penganut kapitalis

Kekuatan uang selalu di atas segalanya, tanpanya semua tidak akan berjalan sebagaimana mestinya

_________________________________


Penulis Putriyana

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Literasi 



KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Sontak Viral, saat beberapa waktu lalu beredar video yang menayangkan adanya dua jenazah yang masih tertahan dan belum dimakamkan di sebuah musala Jalan Kiastramanggala No. 9, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung. Pengurus Rumah Singgah Baraya Ojol Bandung Selatan (BOBS) Peduli, Hary Kurniawan Hamidjaja mengatakan  bahwa kedua mayat tersebut berusia 30 dan 50 tahun serta berjenis kelamin laki-laki. Mereka meninggal disebabkan karena sakit yang telah lama diderita. Dan meninggal pada hari yang sama tetapi waktu yang berbeda. (www[dot]detik[dot]com 29 September 2023)


Hary juga mengungkapkan kendala yang menyebabkan keduanya belum dimakamkan, yaitu karena faktor biaya yang mahal yaitu sebesar Rp1,5 juta. Sedangkan pihak rumah singgah tidak mempunyai dana untuk membayarnya. Ia pun kemudian memutuskan membuat video untuk membuka donasi agar uangnya segera terkumpul.


Adanya pembiaran terhadap kedua jenazah itu diduga terjadi karena tidak adanya perhatian dari pihak keluarga juga akibat keterbatasan biaya dari yayasan yang mengurusnya. Dalam hal ini pemerintah seharusnya mengambil peran yang sangat besar mengingat kedudukannya sebagai pengayom masyarakat. Mengurusi seluruh kebutuhannya menjadi hal asasi yang harus ditunaikan, termasuk dalam masalah menguburkan mayat saat meninggal. 


Tetapi nyatanya di tengah penerapan sistem kapitalisme saat ini fungsi tersebut tidak bisa dijalankan secara maksimal. Prinsip individualisme sudah sangat melekat erat di tengah masyarakat. Sehingga masing-masing sibuk dengan urusannya dan minim akan empati. Kesulitan yang dialami sesama seolah menjadi urusan individu yang harus diselesaikan sendiri. 


Begitu pula dalam hal pengurusan mayat, kepedulian seakan sirna karena faktor biaya. Ketiadaan keluarga seharusnya membuat penguasa tergerak untuk mengambil alih proses pemakaman, namun tidak demikian dalam sebuah negara penganut kapitalis. Kekuatan uang selalu di atas segalanya, tanpanya semua tidak akan berjalan sebagaimana mestinya.


Padahal pembiaran dan keterbatasan biaya ini disebabkan karena kemiskinan yang terjadi di masyarakat. Pandemi Covid-19 memang sudah berlalu, tetapi dampaknya luar biasa bagi kehidupan masyarakat. Jumlah penduduk miskin kian meningkat, pasca  inflasi yang terjadi tahun lalu. Menurut data ADB (Asian Development Bank) masyarakat hidup dengan kemiskinan paling rendah jika pendapatan kurang dari US$2,15 (setara Rp32 ribu) per hari atau sekitar kurang dari Rp1 juta per bulan.


Anehnya, di tengah kemiskinan ekstrem yang saat ini melanda rakyat, individu berpenghasilan sangat tinggi di kawasan Asia Pasifik justru mengalami kenaikan hampir 51% selama periode 2017—2022. Penelitian terbaru dari The Wealth Report (segmen Wealth Sizing Model) dari Knight Frank mengungkap bahwa Indonesia, Malaysia dan Singapura memiliki pertumbuhan individu yang berpenghasilan tinggi tercepat di Asia, yakni sebesar 7-9%. Negeri ini dianggap sebagai pencetak orang kaya baru terbesar di dunia.


Inilah di antara fakta jurang kemiskinan. Istilah “yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin” seakan menjadi rumus paten dalam penerapan kapitalisme di berbagai negara. Lihat saja, para konglomerat hartanya kian bertambah meski masa pandemi, mereka dengan mudah memenuhi kebutuhannya, bahkan menguasai pasar dan perdagangan. Sementara itu, yang tidak memiliki uang, tetap terpuruk dalam kesulitan menghadapi kondisi ekonomi yang bergerak fluktuatif, terutama jika terjadi inflasi.


Penduduk miskin adalah kelompok paling terdampak dari kenaikan harga barang. Pasalnya, mereka kehilangan kemampuan dalam membeli kebutuhan pokok, seperti makanan dan bahan bakar, karena harganya makin mahal. Masyarakat miskin juga kehilangan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup, membayar layanan kesehatan,  bahkan sampai tidak bisa menguburkan mayat.


Sangat berbeda dengan cara penyelesaian Islam, khususnya dalam pengurusan jenazah. Mayat wajib dikubur supaya kehormatannya terpelihara dan supaya orang yang masih hidup tidak terganggu olehnya. Apabila jenazah tidak dikubur, dikhawatirkan bisa menjadi makanan binatang liar, menghasilkan bau busuk dan bisa menjadi sumber penyakit.


Selanjutnya, penguburan mayat itu pada dasarnya dianjurkan untuk disegerakan. Hal ini berdasarkan hadis berikut: Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw. bersabda: "Segerakan membawa jenazah (ke kuburan), karena jika ia salih maka itu adalah kebaikan yang kamu persembahkan untuknya, dan jika ia selain dari itu maka itu adalah kejahatan yang kamu letakkan dari lehermu.” (Muttafaq ‘alaih)


Hadis ini menunjukkan dengan jelas bahwa mayat seorang muslim itu hendaknya segera dikuburkan, karena itu baik baginya dan bagi keluarga yang ditinggalkannya.


Dari sisi negara, Islam telah menetapkan bahwa penguasa adalah  sebagai pelayan juga perisai atau pelindung umat. Maka sudah seharusnya pemerintah memperhatikan kebutuhan rakyat salah satunya pengurusan jenazah ini yang merupakan fardu kifayah di dalam Islam. 


Namun semua baru bisa terlaksana saat syariat diterapkan secara menyeluruh dalam seluruh aspek kehidupan dalam naungan sebuah kepemimpinan Islam. Wallahualam bissawab. [GSM]