Alt Title

Tanpa Khilafah, Palestina Akan Tetap Berdarah

Tanpa Khilafah, Palestina Akan Tetap Berdarah


Palestina merupakan tanah umat muslim dan akan tetap menjadi milik umat muslim. Israel tak lebih hanya benalu yang menumpang dan menggerogoti hidup kaum muslim. Eksistensinya sebagai negara adalah hal yang tak dapat diterima dan cenderung dipaksakan oleh negara-negara Barat

Dengan fakta keberpihakan Barat terhadap Israel ini, satu-satunya jalan untuk mengakhiri pendudukan Israel atas Palestina adalah melalui pengusiran paksa dan peperangan bukan dengan diplomasi dan lobi-lobi


________________________


Penulis Etik Rositasari

Kontributor Media Kuntum Cahaya, Mahasiswa Pasca dan Aktivis Muslimah


KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Konflik Israel Palestina kembali memanas. Kali ini tak tanggung-tanggung, Israel bahkan secara terang-terangan menyatakan perang terhadap Palestina. Hal ini bermula setelah Hamas dan para pejuang Palestina lain melancarkan serangan besar-besaran ke Israel yang melibatkan 5.000 roket dan serangan darat pada Sabtu (7/10/2023). Serangan tersebut diklaim merupakan serangan terbesar sejak perang 11 hari pada 2021. 


Akibat dari serangan Hamas, blokade Israel berhasil dirobohkan. Militan Hamas juga sukses menculik lebih dari 100 orang warga Israel termasuk di antaranya para petinggi militer. Sementara, hingga Senin (9/10/2023), total korban tewas dari kedua belah pihak telah mencapai angka lebih dari 1.200 orang. Di mana 700 orang merupakan warga Israel dan 560 orang di antaranya merupakan warga Palestina. 


Kondisi kedua belah pihak semakin serius setelah Menteri Pertahanan (Menhan) Israel, Yoav Gallant merespon serangan tersebut dengan memerintahkan pengepungan total terhadap Jalur Gaza. Hal ini secara otomatis berimplikasi pada terganggunya pasokan listrik, makanan dan bahan bakar ke wilayah Gaza. 


Selain melakukan pemblokiran di jalur Gaza, Israel juga melontarkan tembakan roket yang menyasar beberapa lokasi penting dan pemukiman penduduk. Para zionis ini bahkan tak segan melakukan pembantaian terhadap warga sipil serta merusak fasilitas vital seperti Rumah Sakit Indonesia di Beit Lahia, Universitas Islam Gaza, dan lain sebagainya. Beberapa petugas medis dan jurnalis tak luput menjadi korban. Hal tersebut diklaim Israel sebagai upaya balasan terhadap serangan yang dilakukan Hamas pada 7 Oktober lalu. 


Menanggapi konflik tersebut, negara Barat menyatakan dukungannya untuk Israel. Amerika Serikat, Inggris hingga Jerman kompak menyatakan bahwa Hamas adalah teroris yang kejam. Mereka mengecam aksi Hamas yang menyebarkan teror dan siap untuk menerjunkan ribuan bantuan militer untuk mendukung perlawanan Israel. 


Apa yang dilakukan Hamas bukan tak beralasan. Aksi heroik militan Hamas ini merupakan bentuk balasan atas kekejian yang dilakukan Israel terhadap rakyat Palestina selama bertahun-tahun. Termasuk upaya penghancuran situs-situs suci seperti Al Aqsa, tempat ibadah, dan pembunuhan warga sipil. Namun, Barat seakan menutup mata terhadap fakta itu. Padahal, mereka juga yang paling keras meneriakkan ketidaksetujuannya terhadap segala bentuk penjajahan. 


Begitulah negara Barat, kumpulan monster bermuka dua yang hipokrit. Di satu sisi mereka menentang penindasan, tetapi di sisi lain membiarkan Palestina terjajah melalui legitimasi PBB yang mengakui Israel sebagai “Negara Yahudi” di atas tanah Palestina.


Konflik penjajahan Palestina ini merupakan konflik lama. Konflik ini bermula saat Israel berusaha merebut tanah Palestina. Padahal, banyak sumber sejarah beredar yang jelas mengatakan bahwa Palestina merupakan tanah milik kaum muslim. 


Jika kita tilik sejarah, Palestina merupakan tanah kharajiyah yang dibebaskan pada masa pemerintahan Umar bin Khattab. Saat itu, tepatnya pada tahun 637 M, umat muslim yang dipimpin oleh Khalid bin Walid berhasil merebut Palestina dan menjadikannya bagian dari wilayah Daulah Islam. Hal tersebut seharusnya cukup menjadi bukti bahwa Tanah Palestina hakikatnya memang milik kaum muslimin.


Namun secara licik, Israel berupaya merebut tanah tersebut. Ketamakan ini bermula. pada tahun 1836, Theodore Herzl, seorang Yahudi Israel, berusaha melobi Sultan Abdul Hamid II, Penguasa Turki Utsmani pada waktu itu, dapat mendirikan gedung di Al Quds. Permintaan tersebut ditolak secara tegas oleh Sultan. 


Tak menyerah, Herzl kembali datang pada taun 1902 dengan iming-iming bantuan finansial untuk Daulah Islam yang saat itu sedang terlilit hutang. Kesempitan yang saat itu dialami daulah, tak menyurutkan ketegasan Sultan Abdul Hamid II untuk tetap menolak permintaan Herzl. Ia bahkan mengatakan bahwa ia lebih rela menusukkan pedang ke tubuhnya daripada melihat tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah Islamiah.


Aksi Herzl tersebut mengobarkan semangat para zionis keturunannya untuk merampas Tanah Palestina. Dimulai dengan kedatangan mereka sebagai pengungsi ke Bumi Para Nabi ini, mereka terus merengsek dan mencaplok sedikit demi sedikit wilayah tersebut. Akibat kerakusan mereka, wilayah Palestina hampir tak bersisa kecuali hanya sedikit.


Jika kita ada di posisi rakyat Palestina, tentu saja kita tidak akan rela. Bagaimana mungkin kita diam saja melihat tamu tak diundang yang tak tahu diri mengklaim bahwa rumah kita adalah miliknya? Maka, sikap Palestina mempertahankan haknya atas pendudukan Israel dengan berjihad tentu merupakan hal yang wajar.


Sementara PBB, organisasi dunia yang dipandang sebagai penyelesai konflik antar negara, justru berusaha mengakhiri konflik dengan meminta Palestina membagi wilayahnya dengan Israel atau yang biasa dikenal dengan Solusi Dua Negara. Tentu, ini tidak bisa diterima karena pada hakikatnya Israel sedari awal memang tak pernah secara sah memiliki wilayah tertentu. 


Berharap solusi PBB merupakan kesia-siaan dan bukan hal yang pantas dilakukan oleh umat muslim. Karena Barat dan antek - anteknya termasuk PBB tak akan pernah berpihak kepada Palestina dan kepentingan Islam. Bagaimana mungkin umat muslim menyandarkan harapannya kepada organisasi yang menyetujui pendirian Negara Israel? 


Oleh sebab itu, diplomasi retoris tak akan dapat menyelesaikan konflik berdarah ini. Sekejam dan selicik apapun cara yang dilakukan Israel, Barat akan selalu menjadi garda terdepan yang melindungi zionis laknatullah tersebut dari kecaman negara-negara lain. Karena itu, kekejian Israel telah nyata membelakkan mata, mereka tak juga dapat diseret ke Mahkamah Internasional. Bahkan label teroris tak pernah sekalipun dilekatkan negara-negara Barat kepada mereka.


Palestina merupakan tanah umat muslim dan akan tetap menjadi milik umat muslim. Israel tak lebih hanya benalu yang menumpang dan menggerogoti hidup kaum muslim. Eksistensinya sebagai negara adalah hal yang tak dapat diterima dan cendeurng dipaksakan oleh negara-negara Barat. Dengan fakta keberpihakan Barat terhadap Israel ini, satu-satunya jalan untuk mengakhiri pendudukan Israel atas Palestina adalah melalui pengusiran paksa dan peperangan bukan dengan diplomasi dan lobi-lobi. 


Allah berfirman dalam Surat At Taubah ayat 14 : “Perangilah mereka, niscaya Allah akan menghancurkan mereka dengan (perantaraan) tangan-tangan kalian, menghinakan mereka serta akan menolong kalian atas mereka sekaligus melegakan hati kaum mukmin.”


Jihad fii sabilillah ini seharusnya melibatkan seluruh umat muslim di dunia. Karena Al Quds bukan hanya milik rakyat Palestina melainkan milik muslimin secara keseluruhan. Di sanalah berdiri kiblat pertama, makam para sahabat dan syuhada, dan tempat tinggal para nabi. Tidak boleh ada seorang yang berhak menyerahkan tanah kharajiyah kepada pihak lain, apalagi kepada perampok dan penjajah seperti Israel.


Walhasil satu-satunya cara mewujudkan hal tersebut adalah dengan berdirinya Khilafah Islamiah. Khilafah akan mencerai beraikan sekat-sekat antar bangsa dan mewujudkan persatuan kaum muslim. Khilafah yang nantinya akan menyerukan jihad untuk memerangi musuh-musuh Islam ini. Maka, sudah tak ada jalan lain lagi hanya dengan Khilafah, umat Islam dapat memperoleh kehormatannya kembali. Hanya dengan Khilafah, nyawa dan harta umat Islam dapat terjaga. Dan hanya dengan Khilafah, penindasan terhadap umat Islam akan berakhir.    

Wallahualam bissawab. [Dara)