Alt Title

Menggantung Asa di Langit Istambul

Menggantung Asa di Langit Istambul

Pergaulan bebas di luar, telah menghantarkan Nurul menjadi bucin (budak cinta). Atas nama cinta, ia lebih memilih laki-laki nonmuslim ketimbang keluarganya

Tamparan keras bagi Ahmad, karena selama ini ia tidak mengajarkan pendidikan agama yang menyeluruh, yang ia tahu bahwa Islam itu hanyalah sekadar ibadah ritual

_________________________________


Penulis Rumaisha

Kontributor Media Kuntum Cahaya 



KUNTUMCAHAYA.com, CERBUNG - Subuh bertasbih. Ayat-ayat dari langit bergema di keheningan, memasuki rumah demi rumah yang berada di sekitaran masjid. Umar tidak bisa memejamkan matanya barang sekejap, pikirannya sibuk menerka-nerka akan keputusan abahnya yang tidak mau dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar. Padahal, ia sangat khawatir akan keadaannya. Tanpa bisa berbuat banyak, akhirnya abahnya pulang setelah beberapa saat dirawat.


Setelah mengambil air wudu, Umar melaksanakan salat tahajud, memohon kepada Allah untuk kesembuhan abahnya. Ia juga meminta jalan keluar dari ujian yang diberikan kepada keluarganya. Umar tahu, abah pasti terpukul dengan apa yang terjadi pada kakaknya.


"Ya Allah, kuatkanlah kami atas ujian ini. Hamba yakin, tidak ada sesuatu yang terjadi di dunia ini tanpa kehendak-Mu."


Pagi berselimut kabut. Ahmad dan Irma baru saja menyelesaikan sarapan pagi. Tiba-tiba ...


"Abah, Ibu..., Teh Nurul enggak ada di kamarnya. Tapi, ini ada surat di atas tempat tidurnya," teriak Umar setengah berlari.


Ahmad mengambil surat itu dari tangan Umar. Perlahan, ia membacanya dengan tangan gemetar.


Assalamualaikum

Abah, Ibu, sekali lagi mohon maaf atas kelakuan Nurul yang telah meletakkan kotoran di muka Abah dan Ibu. Tetapi, Rafael berjanji akan bertanggung jawab untuk menikah denganku. Dia juga berjanji akan masuk Islam setelah semuanya siap. Aku sangat mencintainya, Bu. Untuk sementara, Nurul akan mengontrak dulu sampai semuanya beres. Kalau tetap di sini, Nurul malu kalau bayi yang ada di perut ini membesar dan menjadi buah bibir di masyarakat. Kalau nanti ada tetangga yang menanyakan keberadaan Nurul, bilang saja lagi belajar di kota. Peluk cium dan hormat, anakmu. Nurul.


"Dasar, anak durhaka, tak tahu diri!" teriak Ahmad sambil memukulkan kepalan tangannya ke atas meja.


"Sabar, Abah. Nanti jantungmu kambuh lagi." Irma mengingatkan Ahmad.


"Iya, Abah, ini adalah ujian berat bagi keluarga kita. Tetapi, semoga dengan apa yang terjadi, kita semakin yakin bahwa ketika hukum Islam tidak diterapkan secara sempurna, kemaksiatan akan terus merajalela." Umar berusaha meredam kemarahan abahnya.


Sejak itulah, Ahmad dan Irma mulai terbiasa dengan kebohongan yang dikuti dengan kebohongan berikutnya. Tetangga mulai bertanya-tanya dengan keberadaan Nurul yang tidak pernah ketahuan batang hidungnya lagi.


"Nurul, lagi sekolah di kota." Itulah jawaban pamungkas yang mereka berikan seperti yang diminta Nurul.


Pergaulan bebas di luar, telah menghantarkan Nurul menjadi bucin (budak cinta). Atas nama cinta, ia lebih memilih laki-laki nonmuslim ketimbang keluarganya. Tamparan keras bagi Ahmad, karena selama ini ia tidak mengajarkan pendidikan agama yang menyeluruh, yang ia tahu bahwa Islam itu hanyalah sekadar ibadah ritual.


Kondisi ini berimbas kepada Umar. Umar serasa ditindih batu besar ribuan ton. Ia merasa telah gagal untuk melindungi kakaknya dari pergaulan bebas. Apa gunanya ia ngaji di sebuah partai ideologis? Malu rasanya, ia mendakwahi orang lain sementara keluarganya sendiri melakukan kemaksiatan.


"Ya, Rabb, apa yang harus kulakukan?" gumamnya.


***


Sore itu, Ustaz Lutfi, Dio, dan yang lainnya sudah berkumpul. Mereka sepakat untuk kajian di masjid yang tidak jauh dari rumah Ustaz Lutfi. Tinggal Umar yang belum datang. 


"Ada yang tahu, kenapa Umar?" 


"Kurang tahu, Ustaz. Iya, ya, biasanya ia paling rajin datang duluan."


"Kita tunggu sebentar."


Tidak lama kemudian Umar datang. Terlihat wajahnya tidak seperti biasanya. Tampak lesu, seakan membawa beban yang sangat berat.


"Kenapa, Mar, sakit?"


"Enggak apa-apa, Ustaz. Mungkin hanya capek saja."


Ustaz Lutfi memulai kajiannya dengan kata pembuka dan sama-sama membaca Al-Fatihah.


"Maaf, Ustaz, kemarin masih ada pertanyaan yang belum sempat dijawab. Pertanyaan dari Umar tentang, 'Apakah mungkin Khilafah akan tegak kembali di Istanbul, mengingat di sana Khilafah terakhir tegak dan masih banyak peninggalan-peninggalan seperti Istana Topkapi?"


"Oh, iya ya."


"Titik sentral tegaknya kembali Khilafah terakhir itu hak Allah. Kita hanya diwajibkan untuk ikhtiar, dengan menapaki jalan dakwah Rasulullah. Dakwah pemikiran dan tanpa kekerasan. Di mana pun nanti Khilafah tegak baik di Istanbul atau Indonesia, pasti itu yang terbaik menurut pandangan Allah." Jadi fokus saja kita dakwah, pahamkan umat tentang wajibnya menerapkan hukum Islam secara kafah dalam bingkai Khilafah."


"Aamiin." Semuanya serentak mengucapkannya.


Ustaz Lutfi meneruskan bahasan sebelumnya. Mendirikan Khilafah itu  hukumnya wajib bagi kaum muslimin. Dalilnya jelas baik dari Al-Quran, Sunah, dan Ijmak sahabat. Namun, untuk saat ini banyak kesulitan-kesulitan yang mengadang di jalan penegakkan Khilafah ini. Umat harus berusaha menghilangkan penghalang ini dengan sungguh-sungguh dan sabar.


Umar dan yang lainnya menyimak uraian Ustaz Lutfi dengan antusias. Dua jam cukup untuk memanaskan tungku api perjuangan. Mabda Islam semakin membakar jiwa mereka. Umar tertunduk, ada perasaan bimbang menyelimuti dirinya.


Dio dan Hamzah sudah pamit duluan. Tinggallah Umar dan Ustaz Lutfi.


"Ustaz, saya ingin ngobrol terkait permasalahan yang sedang menimpa keluarga saya."


"Ada apa, Umar?"


Umar lalu menceritakan tentang kejadian yang menimpa kakaknya dari awal sampai akhir. Tidak ada satu pun yang ia tutupi.


"Innaa lillahi ... liberalisme sungguh telah  banyak makan korban," Ustaz Lutfi menghela nafas dalam.


"Saya malu Ustaz. Saya ngaji di sebuah kelompok dakwah ideologis, tapi ternyata tidak bisa menjaga, menasihati kakak sendiri. Saya pikir, lebih baik mundur saja dari jalan dakwah ini," tukas Umar. Bulir-bulir bening dari kelopak matanya mulai berjatuhan. Baru kali ini, ia begitu merasakan kesedihan yang luar biasa.


"Innaa lillahi, maksudnya antum mau futur dakwah? Apakah dengan meninggalkan jalan dakwah, semua masalahmu akan beres?"


Umar tidak menjawab, ia hanya menunduk. Umar tidak berani menatap mata gurunya tersebut, orang yang sangat ia hormati dan kagumi.


"Dengarkan saya, Umar. Dulu, ketika Rasulullah mengemban risalah Islam dan ditugaskan untuk menyampaikan kembali, apakah waktu itu, semua keluarganya juga masuk Islam? Dan apakah Rasulullah berhenti berdakwah hanya karena keluarganya belum masuk Islam semuanya? Apakah jadinya kalau Rasulullah seperti itu? Mungkin Islam tidak akan sampai kepada kita. 


Ustaz Lutfi pun melanjutkan kata-katanya: "Seharusnya, kondisimu  semakin membuatmu semangat untuk dakwah. Memahamkan masyarakat tentang kerusakan yang ditimbulkan oleh sistem yang diterapkan saat ini. Inilah ujian dakwah, dan ingat, kata-kata yang pernah diucapkan oleh  Ustaz Ismail Yusanto bahwa, "Kalau kita melihat kasus orang-orang yang berhenti dari perjuangan dakwah. Sejauh yang saya lihat, mereka tetap zero dari alasan yang mereka gunakan untuk meninggalkan dakwah. Meninggalkan dakwah untuk mengejar dunia, ternyata enggak dapat juga. Para pengemban dakwah harusnya merasakan lezatnya sesuatu yang bagi orang biasa, mereka tidak diberikan kelezatan itu. Sekarang, kita ada di posisi ini, ada di kelompok dakwah ideologis, maka bersyukurlah." [GSM]


-Bersambung-