Alt Title

Mantan Napi jadi Bacaleg, Bagaimana Nasib Rakyat?

Mantan Napi jadi Bacaleg, Bagaimana Nasib Rakyat?

Apa yang diharapkan oleh rakyat apabila di tengah mereka para pejabat yang diharapkan amanah dan adil, namun yang mencalonkan diri adalah mantan pelaku korupsi

Apakah bisa orang-orang seperti ini mampu menjalankan amanah? Setelah beberapa waktu yang lalu mereka pernah melakukan korupsi dan mengakibatkan kerugian untuk umat

_________________________________


Penulis Siti Nurtinda Tasrif

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Aktivis Dakwah Kampus



KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Pada dasarnya pendirian suatu negara harus dimulai dari satu asas yaitu pemimpinnya. Suatu negara akan utuh jika ada pemimpin yang mengurus urusan rakyat. Pengurusan ini tidak terkhusus bagi wilayah pusat negara tetapi seluruh wilayah yang mencakup negara tersebut. Dengan melihat luasnya wilayah suatu negara, perlu adanya pemberian kewenangan bagi sebagain wilayah untuk menjadi pemimpin.


Namun, negara tidak bisa memberikan kewenangan sepenuhnya untuk memimpin rakyat di sebagian wilayahnya. Pemimpin yang diamanahkan untuk mengurus rakyat harus mengurus sesuai batas-batas yang sudah diwenangkan kepadanya. Dan tidak mengurus urusan yang bukan diwenangkan kepadanya. Sehingga pemimpin tersebut fokus terhadap pengurusan umat yang sesuai dengan wewenangnya saja.


Setiap pemimpin baik skala negara maupun kota, harus bekerjasama dan bersinergi dengan baik. Mengingat amanahnya menuntut dirinya untuk menjadi sosok yang mengurus seluruh urusan umat. Baik urusan terhadap kebutuhannya, keamanannya, pendidikannya, dan segala yang berkaitan dengan perataan mendapatkan hak dan kewajiban yang sama. 


Apalagi di masa sekarang sedang terjadi euforia Pemilu 2024. Sudah pasti, para oknum pejabat tentu berlomba-lomba untuk meraih suara agar bisa menduduki kursi jabatan yang diinginkan. Dengan segala cara dikerahkan untuk meraih suara rakyat, itu pun melalui cara yang bermacam-macam. Ada yang bergerak dibidang sosial, pendidikan, pangan dan sebagainya. Kadang-kadang biasa disebut sebagai "serangan fajar".


Melihat bagaimana semangatnya para pejabat dalam mengikuti pemilu, pasti terlintas dalam benak rakyat, mengenai beberapa hal. Mulai dari pertanyaan, siapa orang itu? Apa latar belakangnya? Bagaimana sepak terjangnya dalam dunia politik? Apakah sudah berpengalaman atau baru pemula? Ketika muncul pertanyaan diatas akan mengarahkan umat untuk bisa memberikan rasa percaya atau tidak kepada calon-calon pejabat di masa depan.


Dengan pertanyaan di atas pula, tentu rakyat berharap bahwa pejabat yang dipilih merupakan orang yang amanah dan mampu sedari permulaan dia masuk kedalam dunia politik. Namun, tidak semua harapan sesuai dengan fakta calon-calon pejabat saat ini, terkhusus para calon  anggota legislatif. Sebagaimana yang penulis kutip dari Media detik[dot]news (28/08/2023) bahwa Indonesia Corruption Watch (ICW) menjelaskan data terbaru terkait mantan narapidana korupsi yang akan maju sebagai bakal calon anggota legislatif (bacaleg). 


Tercatat ada tiga eks napi korupsi yang akan maju sebagai anggota DPR RI maupun DPD RI. "Pasca melansir nama-nama bakal calon anggota legislatif dengan latar belakang status hukum sebagai mantan narapidana korupsi, Indonesia Corruption Watch mendapatkan masukan dari berbagai masyarakat. Setelah dicek kembali, ada tiga orang mantan terpidana korupsi yang sedang mencalonkan diri, baik sebagai anggota DPR RI maupun DPD RI," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana kepada wartawan.


Sungguh di luar dugaan, apa yang diharapkan oleh rakyat apabila di tengah mereka para pejabat yang diharapkan amanah dan adil, namun yang mencalonkan diri adalah mantan pelaku korupsi. Apakah bisa orang-orang seperti ini mampu menjalankan amanah? Setelah beberapa waktu yang lalu mereka pernah melakukan korupsi dan mengakibatkan kerugian untuk umat.


Lagi-lagi negara saat ini membuat rakyat semakin bingung. Bagaimana tidak, seharusnya mereka memiliki visi misi untuk kesejahteraan umat bukan kesejahteraan pribadi. Tetapi apa mau dikata, semua sudah terjadi, layaknya nasi yang sudah menjadi bubur. Tidak bisa dikembalikan seperti semula. Tidak mengherankan sebenarnya, mengingat semua yang terjadi tentu dimulai dari asas kehidupan yang diambil oleh negara.


Dimana, umat mengetahui bahwa saat ini negara tengah hidup di dalam sistem kapitalisme. Sebuah pandangan hidup yang menitikberatkan pada kepentingan semata. Maka, apapun visi misi yang dibawa oleh seseorang, jika pada mulanya adalah seorang yang amanah, tidak menutup kemungkinan ia bisa berubah haluan dan menjadi egois.


Pengaruh dari kapitalisme menciptakan manusia yang tergiur akan materi dan mampu menghalalkan segala cara. Jika mereka lulusan pendidikan islami sekalipun tidak mampu membuat mereka tenggelam dari keingginan terhadap materi dan kepentingan pribadi. Semua karena terpisahnya antara kehidupan agama dan kehidupan pribadi yang meniscayakan terpisahkan kehidupan negara juga agama yang biasa disebut sekularisme.


Asas yang satu ini, menciptakan manusia tanpa rasa takut, bahkan kepada Tuhannya sendiri yakni Allah Swt. sehingga mereka menjadi buta dan haus akan kekuasaan. Kemudian mereka pun berlomba-lomba untuk mengais kekayaan dunia yang tentu saja tidak akan dibawa mati. Namun, melihat dunia yang sementara ini ternyata cukup untuk mempengaruhi seluruhnya oknum calon-calon pejabat.


Umat harus bersegera meninggalkan asas dan sistem yang rusak tersebut. Kemudian menggantinya dengan sistem yang sempurna dan menyeluruh yaitu Islam rahmatan lil alamin. Sebuah sistem yang berasal dari wahyu Allah Swt. dan diamanahkan kepada Rasulullah saw. lalu disebarkan ketengah-tengah umat hingga sekarang. Sistem ini sudah terbukti dalam menjamin hak dan kewajiban bagi seluruh umat.


Pada masa kepemimpinan Rasulullah saw. dan para Khulafaur Rasyidin kemudian dilanjutkan oleh para pemimpin-pemimpin setelahnya, tidak pernah terjadi begitu banyak kasus kriminal. Dalam kepemimpinan Islam hanya 200 lebih kasus ktiminal yang terjadi, itu pun dalam kurun waktu kurang lebih 13 Abad. Sejarah membuktikan betapa sistem yang berasal dari wahyu tidak bisa dibandingkan dengan sistem yang berasal dari kejeniusan manusia.


Para pejabatnya dilihat dari ketakwaannya kepada Allah Swt. sehingga ia akan amanah dan tidak menjadi tamak. Kemudian bisa berubah begitu saja. Semua karena rasa takutnya kepada Allah Swt. serta rasa cinta yang menggebu untuk tetap taat terhadap perintah dan menjauhi segala larangan Allah Swt. dan Rasulullah saw.. Wallahuallam bissawab. [Dara]