Alt Title

Sengkarut Minyak Goreng yang Terus 'Digoreng'

Sengkarut Minyak Goreng yang Terus 'Digoreng'

 


SDA harus dikelola negara dan dibagikan pada rakyat tanpa profit oriented

Hal itu, akan cukup membuat rakyat hidup dalam ketenangan tanpa khawatir kelaparan akibat kebutuhan hidup yang mahal

______________________________


Penulis Yeni Marpurwaningsih, S.Hum 

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Literasi 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Persoalan minyak goreng belum teratasi. Utang negara pada pengusaha ritel belum dilunasi. Alhasil, mereka pun mengancam menyetop pengambilan minyak goreng dari produsen.


Utang negara sejak Januari 2022 belum dibayar ke pengusaha ritel. Utang itu ditanggung Kemendag untuk menjalankan program satu harga minyak goreng. Namun, sayang utang 344 M itu belum dibayar. Pengusaha ritel pun geram, mulai dari mengancam akan menyetop pengambilan minyak goreng hingga membawa gugatan hukum ke PTUN. (www[dot]cnbcindonesia[dot]com, 19/08/2023)


Kata Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) Jerry Sambuaga yakin langkah peritel tersebut tak akan membuat minyak goreng langka di pasaran. Sebab, minyak goreng juga di jual di pasar, daring, dan lainnya yang mudah diakses masyarakat. Pihak kemendag pun masih mempelajari soal sengkarut rafaksi minyak goreng dan menghargai upaya Aprindo sebagai pemangku kebijakan. (www[dot]cnnindonesia[dot]com, 20/08/2023)


Salah Kelola


Mengapa jadi sengkarut soal rafaksi minyak goreng ini? Bukannya tinggal membayar utang itu lalu selesai perkara?


Sebagai pengusaha, mana mungkin peritel ingin rugi walaupun mengikuti kebijakan pemerintah. Standar bisnis adalah untung, bukan rugi apalagi tolong menolong. Jadi, resahnya mereka karena utang tak kunjung dibayar maklum terjadi.


Kemendag yang bertanggung jawab akan hal ini masih belum bisa mengambil keputusan. Mereka masih mempelajari perkara rafaksi. Sudah begini, ancaman peritel pun mencuat dan Aprindo tidak bisa berbuat banyak.


Sengkarut minyak goreng ini bermula dari kasus korupsi ekspor minyak CPO dan menjadikan 3 perusahaan minyak goreng sebagai tersangka. Namun, 3 perusahaan ini tidak dibekukan tapi tetap dibiarkan beroperasi dengan alasan jika dibekukan akan mengakibatkan dampak yang merugikan negara.


"Lebih baik kita operasionalkan, uangnya diambil untuk negara, diserahkan kepada negara," imbuh Ketut Sumendana. (www[dot]nasional[dot]kompas[dot]com, 18/07/2023)


Mengatasi sengkarut ini, haruslah kita runut dari persoalan pengelolaannya. Adanya ancaman peritel yang ingin menyetop minyak goreng dari produsen, maka pemerintah seharusnya bisa mengatasi hal ini dengan pengelolaan yang sesuai.


Kelola kebutuhan rakyat adalah kewajiban bagi negara. Pengelolaan harus sesuai dengan kepentingan rakyat. Penagihan utang dari peritel ke pemerintah menandakan tidak berdayanya negara dari para pengusaha. Artinya, perusahaan bisa membawa negara sesuai yang diinginkan. Sudah begini, pemerintah terlihat tidak punya power dalam mengurusi rakyat. Walhasil, rakyat menanggung beban kebijakan yang terkatung-katung.


Kapitalisme Biang Masalah


Urusan minyak goreng adalah urusan pokok yang harus ditanggung oleh pemerintah. Dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) berbunyi, "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat."


Seharusnya kebutuhan rakyat akan minyak goreng menjadi kebutuhan yang wajib dipenuhi negara. Negara seharusnya mengelola sendiri dan membagikannya kepada rakyat demi kemakmuran. Bukan menyerahkan pada pihak pengusaha. Para pengusaha hanya mementingkan profit oriented. Jika negara yang mengurusi, tentu tak ada kebijakan yang bersandar untung rugi.


Aturan hidup yang berlandaskan kapitalisme telah membuat para pemilik modal bisa menguasai suatu negeri. Salah satunya, minyak goreng ini. Tata kelolanya yang berpijak pada para pengusaha, penjualannya diserahkan pada pengusaha ritel, menjadikan persoalan minyak goreng semakin sengkarut di tengah melimpahnya pohon kelapa sawit di beberapa daerah.


Jika pengelolaan tepat dikelola pemerintah, tentu persoalan sengkarut ini tidak sulit untuk diselesaikan. Akar persoalan kapitalisme yang belum diatasi, bagaikan delusi untuk menyolusi.


Islam Punya Solusi


Dalam Islam, pengelolaan SDA atau kebutuhan pokok adalah kewajiban yang ditetapkan Allah yang harus dijalankan. Umat Islam, harus berserikat pada api, air, dan padang rumput. Artinya, hasil kekayaan alam, harus dikelola negara dan digratiskan.


Individu yang bertakwa dan kontrol masyarakat, menjadi pilar lainnya dalam menjaga keberlangsungan hidup yang sejahtera. Suasana keimanan akan terwujud, sehingga menjadikan manusia takut akan siksa-Nya yang pedih apabila bohong, curang, dan zalim.


Dalam institusi Islam Kaffah yang diwariskan Rasulullah saw., sudah membuktikan bahwa umat di bawahnya telah hidup sejahtera. Sistem Islam pun memiliki sistem ekonomi yang mampu menjaga kestabilan negara dalam tata kelola kebutuhan rakyat.


Salah satunya, SDA harus dikelola negara dan dibagikan pada rakyat tanpa profit oriented. Hal itu, akan cukup membuat rakyat hidup dalam ketenangan tanpa khawatir kelaparan karena kebutuhan hidup yang mahal.


Salah satu sejarawan Will Durant, dalam "The Story of Civilization", vol. XIII, hal 151 menyampaikan:

Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para Khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapa pun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam wilayah yang sangat luas, di mana fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka.


Wallahualam bissawab. [SJ]