Alt Title

Pena Perantara Lisan untuk Umat

Pena Perantara Lisan untuk Umat

Alhamdulillah hasil tulisanku malam itu yang kuberi judul Menikah, Kebutuhan atau Nafsu berhasil tayang di salah satu media online dan sudah banyak mata yang melihat serta membacanya. Para tetangga dan orang tuaku juga mungkin sudah membaca tulisan tersebut

Ya, tulisan tersebut memang sebagai perwakilan isi hatiku pada mereka, sekaligus sebagai bahan pemikirannya untuk semua orang di luar sana yang masih salah kaprah dalam urusan jodoh dan pernikahan

________________________________


Penulis Zaesa Salsabila

Kontributor Media Kuntum Cahaya 



KUNTUMCAHAYA.com, CERPEN - Hari berganti hari namun aku masih menjadi Syifa yang dulu, seorang gadis pemalu yang bahkan tak berani menatap mata orang lain yang ada di hadapanku. Hari ini ada sebuah hajatan besar yang diadakan oleh jiran tetanggaku, sebuah pesta meriah untuk mensyiarkan bahwa Rita temanku telah melepas masa lajangnya. Aku pun bersiap untuk pergi ke kota sekadar membeli hadiah kecil untuk pasangan yang akan menjalani kehidupan babak baru sebagai suami istri.


"Syifa, kamu pergi undangan dengan siapa nanti?" tanya ibuku


"Syifa bareng Ibu aja boleh?" jawabku manja


"Ah, sudah besar kok undangan sama ibunya terus. Ya mbok cepet cari pacar gitu loh!" balas ibuku sembari pergi ke dapur.


Ingin rasanya bibir ini menjawab, tapi sayang lagi-lagi aku masih tak percaya diri.


Malam pun tiba, kami berangkat undangan berdua tanpa Bapak yang sedang ada kerja di luar kota. Kami duduk di meja yang sama dengan Bu Kades dan putri sulungnya.


"Apa kabar Bu Kades, sibuk sekali sampai gak pernah lagi kelihatan di kampung ya Bu?" tegur ibuku pada Bu Kades.


"Iya Bu, Rita lagi banyak kegiatan desa. Oh iya Syifa kapan lagi Bu? temen sebayanya sudah pada menikah loh ...." tanya Bu Kades yang langsung membuatku merasa tersudut. Ibuku hanya tersenyum, mungkin beliau sudah terlalu bosan menjawab pertanyaan orang-orang tentang anaknya yang masih jomblo.


Sepanjang perjalanan pulang Ibuku terus mendikte. "Makanya kamu itu bergaul biar cepat dapat jodoh. Kalau di rumah terus gimana coba bisa datang jodohnya. Ingat loh kamu itu perempuan, beda sama laki-laki. Jadi jangan sampe kamu nanti malah jadi perawan tua ...."


Aku masih tetap diam membisu sambil menahan perih dalam hati. Sampai di rumah aku langsung mengunci diri dalam kamar. Kuambil pena dan sebuah kertas, dan kugoreskan semua ungkapan yang ingin sekali rasanya kusampaikan pada semua orang yang selalu mencerca kesendirianku tanpa pendamping hidup (suami).


Bersyukur karena kini aku berada di sebuah komunitas kepenulisan yang didirikan oleh Cikgu Mpu Indragiry dengan banyak mentor-mentor hebat yang mengajarkan bagaimana aku bisa menuangkan ide yang ada di kepala ini yang tak mampu kuungkapkan dengan lisan.


Alhamdulillah hasil tulisanku malam itu yang kuberi judul Menikah, Kebutuhan atau Nafsu berhasil tayang di salah satu media online dan sudah banyak mata yang melihat serta membacanya. Para tetangga dan orang tuaku juga mungkin sudah membaca tulisan tersebut. Ya, tulisan tersebut memang sebagai perwakilan isi hatiku pada mereka, sekaligus sebagai bahan pemikirannya untuk semua orang di luar sana yang masih salah kaprah dalam urusan jodoh dan pernikahan.


Entah mengapa pascatulisan tersebut tayang ibuku tak pernah lagi membahas perihal jodoh padaku. Kebetulan dalam pekan ini ada pengajian akbar yang dihadiri ustaz senior yang kondang. Ibuku hadir di dampingi Bapak, dan pada kesempatan tersebut beliau bertanya perihal jodoh dan pernikahan yang berkaitan dengan tulisanku.


Alhamdulillah Ibu mendapat pencerahan dari jawaban ustaz dan akhirnya membenarkan tulisanku dalam benaknya. Sesampainya di rumah Ibu langsung memelukku dan meminta maaf atas sikapnya selama ini padaku. 


"Wah ternyata anak Bapak ini berbakat dalam menulis ya! Bapak bangga pada Syifa, terus lanjutkan ya Sayang" ucap Bapak memberi semangat


"Iya Pak, selama ini sebenarnya banyak sekali unek-unek yang ingin Syifa sampaikan pada banyak orang. Bukan hanya terkait masalah jodoh akan tetapi semua permasalahan umat yang lainnya. Tapi Syifa tidak percaya diri untuk berbicara langsung, itulah kenapa selama ini Syifa hanya mengatakan semuanya melalui goresan pena," jawabku pada ayah.


"Tidak mengapa kok, semoga dari tulisan kamu banyak orang yang akan mendapatkan pencerahan seperti kami ini contohnya ...," timpal Bapak sambil tertawa lebar.


Sejak saat itu aku pun semakin giat untuk terus menggoreskan buah pikiranku, melalui pena dan kertas. Walau ragaku berada di sini namun isi kepalaku bisa menembus cakrawala. Aku berharap ini semua bisa menjadi amal jariyah yang bermanfaat bagi seluruh umat. [GSM]


-Selesai-