Alt Title

Menggantung Asa di Langit Istambul

Menggantung Asa di Langit Istambul

Umar tahu, sampai hari ini orang tuanya masih memusuhi aktivitasnya. Apalagi setelah mengetahui lebih jauh, kelompok dakwah yang dimasukinya adalah kelompok yang selama ini dibenci oleh penguasa

Padahal, sudah berkali-kali Umar mengajak keduanya untuk ngobrol dari hati ke hati. Tetapi, ujung-ujungnya selalu debat kusir

_______________________________


Penulis Rumaisha

Kontributor Tetap Media Kuntum Cahaya



KUNTUMCAHAYA.com, CERBUNG - Hampir 100 ribu kaum muslim dan muslimah berkumpul di Stadion Gelora Bung Karno, yang ada di Kota Metropolitan, Jakarta. Mereka datang dari berbagai pelosok di seluruh Indonesia. Bahkan banyak yang datang dari luar negeri seperti Australia, Singapura, Malaysia, Jepang, Inggris, dan Denmark, untuk menghadiri Konferensi Khilafah Internasional (KKI).


Ada yang datang membawa mobil pribadi atau mobil sewaan. Sebagian datang dengan rombongan bis. Ada juga yang datang lewat jalur laut, untuk sampai ke tempat acara, mereka bisa berhari-hari di perjalanan. Maklum, kalau menggunakan pesawat, apatah daya, cuannya terlalu berat. Tidak hanya orang dewasa yang hadir, anak-anak bahkan bayi yang masih berada di gendongan ibunya turut hadir, seakan mereka tidak mau ketinggalan untuk merayakan momen yang mungkin hanya sekali seumur hidup. 


Sungguh, luar biasa perjuangan mereka. Rona bahagia terpancar dari wajah-wajahnya. Tidak sedikitpun terpancar kelelahan setelah menempuh perjalanan yang panjang. Semua yang hadir punya tujuan yang sama, ukhuwah dan panggilan jiwa tentang sebuah idealisme yang ingin diwujudkan.


Dada Umar bergetar hebat. Tak terasa bulir bening membasahi pipinya. Perjuangan sejak pukul 02.00 dini hari akhirnya tiba di tempat yang dituju. Umar merasa bangga dan bersyukur bisa berada di antara saudara-saudaranya yang  punya cita-cita yang sama. Acara sehari ini akan diisi dengan orasi yang akan disampaikan oleh para tokoh dan ustaz.


Selama acara, para peserta banjir air mata. Teriakan takbir dan lambaian Ar-Rayah dan Al-Liwa bagai lambaian malaikat. GBK dan bangku-bangku stadion menjadi saksi abadi yang akan dicatat dengan tinta emas peradaban. Inti dari orasi yang disampaikan adalah perlunya mengangkat seorang pemimpin yang akan menerapkan hukum Islam secara kafah dalam naungan khilafah. Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh umat Islam. 


Gema takbir kembali berkumandang, ketika panitia menyuguhkan nasyid Shoutul Khilafah diiringi kibaran panji Rasulullah saw. 


Sambutlah Khilafah


Lama Sudah Kami Menanti

Kapankah Kau Tegak Kembali

Cukuplah Sudah Penantian Ini

Pastilah Kau Segera Kembali


Sambutlah Khilafah, Sambutlah Khilafah

Pelaksana Hukum Syariah

Sambutlah Khilafah, Sambutlah Khilafah

Tegaklah Kemuliaan Umat


Langkah Perjuangan Takkan Terhenti

Hingga Tegaknya Hukum Allah

Walau Tantangan Datang Tiada Henti

Takkan Surut Perjuangan Ini


Sambutlah Khilafah, Sambutlah Khilafah

Pelaksana Hukum Syariah

Sambutlah Khilafah,  Sambutlah Khilafah

Tegaklah Kemuliaan Umat


Wahai Sahabat Seluruh Umat

Berjuang Penuh Semangat

Masa Penantian Akan Berakhir

Lanjutkan Kehidupan Islam


Hampir lima tahun peristiwa itu sudah berlalu. Tetapi, Umar masih merasakan letupan-letupan jiwa yang membakar semangatnya. 


Tepukan halus di pundaknya, telah membuyarkan lamunannya.


"Asyik banget, lagi merenungi apa?" kata Hamzah, sahabat kecilnya dulu.


"Ah, kamu mengagetkan saja," jawab Umar.


"Aku lagi berselancar ke masa lalu, ketika aku ikut konferensi."


"Sayang, aku waktu itu belum mengenal dan bersentuhan dengan dakwah ini," kata Hamzah


"Enggak apa-apa. Kamu kan sekarang sudah menjadi bagian dari perjuangan ini."


Hamzah hanya terdiam, tetapi isyarat tubuhnya menunjukkan kesepakatan terhadap apa yang diucapkan sahabatnya.


"Gimana, orang tuamu masih melarang kamu untuk ngaji?"


"Ya, begitulah. Doakan saja, semoga hatinya dilembutkan. Hanya Allah yang bisa membolak-balikkan hati hambanya."


Umar memang tidak seberuntung Hamzah yang orang tuanya mengizinkan dan bahkan ikut gabung bersama Hamzah. Semua atas kehendak Allah Swt..


Umar tahu, sampai hari ini orang tuanya masih memusuhi aktivitasnya. Apalagi setelah mengetahui lebih jauh, kelompok dakwah yang dimasukinya adalah kelompok yang selama ini dibenci oleh penguasa. Padahal, sudah berkali-kali Umar mengajak keduanya untuk ngobrol dari hati ke hati. Tetapi, ujung-ujungnya selalu debat kusir.


Ahmad dan Irma adalah tokoh yang disegani di Desa Sukalilah, Kecamatan Cibatu, Garut. Tempat tinggal Umar selama ini. Bukan hanya tokoh agama, beliau juga seorang agnia yang terpandang. Jabatan ketua DKM yang disandangnya, menambah komplit ketokohannya. Wajar, ketika anaknya aktif di kelompok dakwah yang tidak lazim di desanya, Ahmad merasa khawatir orang-orang membicarakannya.


Sikap orang tuanya yang keras, tidak menyurutkan tekad Umar. Suatu malam ketika ia pulang kajian bersama gurunya, tiba-tiba .... "Dari mana kamu?"


"He he, Abah belum tidur. Habis ngaji di rumah Ustaz," jawab Umar tenang.


"Kamu masih bersikeras ngaji di kelompok radikal itu?"


Umar lalu duduk di depan abahnya. Ia menerangkan tentang pengajian yang diikutinya, bahwa tidak pernah di dalam kajiannya mengajarkan sesuatu yang radikal, seperti yang disematkan orang-orang.


"Abah, Umar di sana diajarkan bagaimana menjadi muslim yang hakiki. Katanya, seorang muslim itu harus punya arah, punya tujuan. Tidak seperti layangan yang diterbangkan angin. Angin ke kanan ikut ke kanan, begitupun sebaliknya. Masuk ke dalam Islam itu harus kafah, tidak boleh setengah-setengah. Apakah, menurut Abah yang Umar lakukan ini salah? Apakah Abah ingin Umar seperti Teh Nurul, yang kerjanya keluyuran, main bebas dengan lelaki, pulang larut malam?"


Kata-kata Umar membuat Ahmad terdiam seribu bahasa. Raut wajahnya berubah sendu, kerutan di wajahnya semakin jelas terlihat. Irma yang dari tadi ada di samping suaminya meneteskan air mata. Tak kuasa menahan kesedihan atas perilaku anak gadisnya.


"Hmmm, aku tidak adil memperlakukan mereka. Umar yang jelas-jelas anak yang saleh, hanya karena ngaji di kelompok yang katanya radikal, aku musuhi. Padahal, itu baru kata orang," gumam Irma.


"Sudah, sudah malam. Waktunya istirahat," kata Irma sambil ngeloyor pergi ke kamar.


Umar pun mengikuti ibunya masuk ke kamarnya. Ia menyimpan ransel dan merebahkan badan di tempat tidur. Buaian angin malam yang masuk lewat celah jendela, membuatnya terlelap. Di luar, bulan bersinar menerangi mayapada. [GSM]


-Bersambung-