Alt Title

Gawat, Kekerasan Seksual terhadap Anak Makin Mengganas!

Gawat, Kekerasan Seksual terhadap Anak Makin Mengganas!

Kekerasan seksual terhadap anak jelas tidak boleh dibiarkan. Harus ada tindakan untuk memutus rantai kejahatan yang merajalela, yaitu dengan mengganti sistem sekuler dengan menerapkan syariat Islam secara kafah

Sistem Islam yang berasaskan akidah Islam sehingga keimanan menjadi landasan dalam penyelesaian setiap masalah

______________________________


Penulis Siska Juliana 

Kontributor Media Kuntum Cahaya 



KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA Nahar meminta kepada pihak yang berwenang untuk mengusut tuntas kasus kekerasan seksual terhadap anak berinisial R (15 tahun) di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Jumlah pelaku mencapai 11 orang. Selanjutnya, meminta pemerintah daerah untuk mendampingi korban sesuai kebutuhan. 


Salma Masri, selaku pendamping korban mengatakan kondisi kesehatan anak terus memburuk dikarenakan alat reproduksinya mengalami infeksi akut, ditambah lagi rahimnya terancam diangkat. Psikis korban hingga saat ini masih sangat terguncang. Untuk itu, pemeriksaan lebih lanjut mengenai kronologi yang menimpa korban belum bisa dilakukan. (bbc[com]com, 31-05-2023)


Kapolda Sulawesi Tengah, Irjen Agus Nugroho mengungkapkan bahwa kasus ini bukan pemerkosaan melainkan persetubuhan. Di dalam KUHP, pemerkosaan adalah tindakan atau ancaman kekerasan yang memaksa korban untuk bersetubuh di luar hubungan perkawinan. Kapolda meyakini dalam kasus ini, tidak ada unsur kekerasan atau ancaman pada korban. Pelaku melancarkan rencananya dengan bujuk rayu, tipu daya, dan iming-iming akan memberikan sejumlah uang atau barang kepada korban.

 

Kasus kekerasan ini terjadi sejak April 2022 hingga Januari 2023 dan dilakukan oleh 11 pelaku di waktu dan tempat yang berbeda-beda. Mirisnya, beberapa pelaku merupakan sosok yang seharusnya melindungi dan mengayomi masyarakat. Salah satu pelaku anggota Brimob menduduki jabatan perwira polisi (HST), kepala desa (HR), dan seorang ASN guru (ARH). 


Pendapat ini dibantah oleh aktivis mengingat korban masih berusia anak, meskipun ada kesepakatan tetap termasuk dalam pemerkosaan. Adanya perbedaan definisi dapat berpengaruh terhadap besarnya tuntutan hukuman pada pelaku. Ini merupakan bukti kegagalan sistem hukum di Indonesia. 


Kasus ini merupakan kasus kekerasan terhadap anak yang terberat selama tahun 2023 karena dampak yang ditimbulkan pada korban dan banyaknya pelaku. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menyatakan Indonesia darurat kekerasan seksual terhadap anak. Pada tahun 2022 mencapai 9.588 kasus, meningkat drastis dari tahun sebelumnya (4.126 kasus). 


Jika diteliti lebih lanjut, ada beberapa faktor yang menyebabkan kekerasan seksual terhadap anak semakin parah. Pertama adalah sanksi yang tidak memberikan efek jera bagi pelaku. Berdasarkan Undang-Undang (UU) No 35/2014 tentang Perlindungan Anak, ancaman hukuman bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun, denda paling banyak Rp5 miliar. Dengan demikian, tidak ada hukuman mati bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak, yang ada hanyalah hukuman penjara. Pada faktanya, hukuman pun bisa lebih ringan jika tidak dikawal oleh publik. Hanya dengan pemberian "uang damai" maka kasus bisa hilang tanpa diselesaikan secara hukum. Oleh karena itu, tidak akan memberikan efek jera bagi pelaku. Bahkan kejahatan serupa bisa saja terulang karena tidak takut terhadap ancaman hukumannya. 


Faktor kedua adalah buruknya pengaturan media massa. Konten pornografi dan pornoaksi berseliweran di dunia maya. Tanpa dicari pun, konten porno seringkali muncul tiba-tiba. Dari anak-anak hingga dewasa mudah mengakses konten ini melalui ponselnya. 


Faktor ketiga adalah rusaknya sistem pendidikan. Kurikulum pendidikan yang memisahkan agama dari kehidupan (sekuler) telah mencetak generasi yang jauh dari ajaran agamanya. Ketika bersikap tidak didasarkan pada halal-haram, tidak berpikir akan mendapat dosa atau pahala. Mereka menganggap kebebasan adalah hal yang utama. Jadi, terwujudlah kehidupan masyarakat liberal yang memunculkan berbagai tindakan kejahatan. 


Situasi ini jelas tidak boleh dibiarkan. Harus ada tindakan untuk memutus rantai kejahatan yang merajalela, yaitu dengan mengganti sistem sekuler dengan menerapkan syariat Islam secara kafah. Sistem Islam yang berasaskan akidah Islam sehingga keimanan menjadi landasan dalam penyelesaian setiap masalah. Sistem pendidikan Islam mencetak pribadi yang bertakwa, selalu mengharap keridaan Allah dan takut akan siksaan-Nya. Sistem pergaulan Islam juga memisahkan antara kehidupan laki-laki dan perempuan kecuali keperluan yang diperbolehkan oleh syarak. Tidak akan ada aktivitas khalwat (berduaan tanpa ada mahram) dan ikhtilat (campur baur antara laki-laki dan perempuan). Interaksi khusus antara laki-laki dan perempuan hanya dalam ikatan pernikahan. 


Sistem media massa dalam Islam mencegah adanya konten pornografi-pornoaksi sehingga tidak muncul rangsangan yang bisa mendorong kepada kekerasan seksual. Sistem ekonomi Islam memberikan kesejahteraan bagi seluruh umat. Negara menyediakan lapangan pekerjaan untuk laki-laki agar bisa menafkahi keluarganya. Perempuan tidak perlu bekerja keras untuk menghidupi diri sendiri dan keluarganya karena sebagai pihak yang dinafkahi, sehingga terhindar dari bahaya. 


Sistem hukum dalam Islam berfungsi sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Negara akan memberi sanksi tegas kepada pelaku pelecehan seksual. Jika pelecehan seksual yang terjadi sampai terkategori zina, maka hukumannya adalah 100 kali dera bagi pelaku yang belum menikah dan hukuman rajam bagi pelaku yang sudah menikah. Dalam QS. An-Nur ayat 2, Allah Swt. berfirman, "Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.". Inilah hukuman bagi pelaku zina yang belum menikah. 


Pada kasus perkosaan atau rudapaksa (ightisabh) dijatuhi sanksi tersendiri. Imam Ibnu Abdil Barr dalam kitab Al-Istidzkar menyatakan, "Sesungguhnya hakim atau qadhi dapat menjatuhkan hukuman kepada pemerkosa dan menetapkan takzir kepadanya dengan suatu hukuman atau sanksi yang dapat membuat jera untuknya dan orang-orang yang semisalnya."


Hukuman takzir ini dilakukan sebelum penerapan sanksi rajam. Dijelaskan dalam kitab Nizhamul Uqubat, bahwa ada 15 macam takzir di antaranya adalah dera dan pengasingan. 


Dengan demikian, kekerasan seksual terhadap anak bisa dicegah dan diberantas hingga ke akarnya ketika Islam diterapkan secara kafah di bawah naungan Khilafah. []