Alt Title

Keluarga Gemar Flexing, Tahta Jabatan Terguling

Keluarga Gemar Flexing, Tahta Jabatan Terguling



Seorang Muslim dilarang untuk membelanjakan harta dalam perkara yang Allah haramkan. Sementara flexing merupakan bagian dari gaya hidup berfoya-foya juga terkandung unsur kesombongan di dalamnya


Padahal syariat memerintahkan untuk hidup sederhana dan tidak berlebih-lebihan


Penulis Irma Faryanti

Kontributor Kuntum Cahaya dan Member Akademi Menulis Kreatif 


KUNTUMCAHAYA.com-Flexing, kini menjadi sebuah fenomena yang menggejala. Sejak viralnya kasus penganiayaan yang dilakukan seorang anak pejabat Direktorat Pajak, istilah ini semakin muncul ke permukaan. Ternyata bukan putra Rafael Alun Trisambodo saja yang gemar memamerkan kekayaan sang ayah, karena akhir-akhir ini muncul beberapa perilaku serupa yang menjadi sorotan masyarakat.


Seperti yang dilakukan oleh istri dari Sekda Riau, S.F. Hariyanto yang saat ini tengah hangat dibicarakan, setelah mendapat kritikan tajam Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PAN, Guspardi Gaus. Ia menilai bahwa sikap hedon yang sengaja ditampakkan di media sosial oleh keluarga pejabat sangatlah tidak wajar dan melukai hati masyarakat. (Beritasatu[dot]com, Kamis, 23 Maret 2023)


Ia meminta Tito Karnavian selaku Mendagri yang juga berkedudukan sebagai pembina Aparatur Sipil Negara (ASN), untuk bekerja sama dengan KPK dan penegak hukum lainnya  memeriksa Sekda Riau tersebut dan memproses kekayaan pejabat yang dianggap tidak wajar. Guspardi merasa prihatin atas sikap pamer harta yang dilakukan oleh keluarga yang bersangkutan, dan meminta mereka menghindari hal itu demi rasa empati terhadap masyarakat miskin.


Menyusul viralnya perilaku sang istri yang memamerkan barang-barang mewahnya, S.F. Hariyanto sibuk memberikan klarifikasi bahwa apa yang dipamerkan istrinya Adrias adalah barang palsu alias KW. Ia mengaku mereka membelinya di Mangga Dua Jakarta. Sang pejabat tentu merasa kebakaran jenggot karena sebelumnya ia telah menyeru para pejabat Riau termasuk keluarganya sendiri, untuk hidup sederhana dan tidak bermewah-mewah.


Tidak hanya Sekda Riau, Pejabat Pembuat Komitmen Direktorat Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Muhammad Rizki Alamsyah pun tengah disorot media. Pasalnya sang istri sering melakukan flexing di akun media sosial yang dimilikinya. Mulai dari foto jalan-jalan ke luar negeri, mengendarai mobil mewah, hingga pamer barang-barang bermerk miliknya. Pihak Kemenhub pun sudah mengetahui hal tersebut, mereka mengaku bahwa Menteri Perhubungan sudah seringkali mengingatkan para karyawan untuk  selalu menjaga integritas, hidup sederhana dan tidak memamerkan gaya hidup di dunia maya.


Aksi pamer harta yang marak terjadi, memicu munculnya tuntutan masyarakat untuk mencari sumber kekayaan yang dimiliki para pejabat. Hal itu ditanggapi cepat oleh Kementerian Keuangan, dengan melakukan pemeriksaan pada 69 Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diduga memiliki harta di luar batas kewajaran. Namun sayangnya, Lembaga Administrasi Negara (LAN) menilai bahwa nilai kepatuhan para pejabat tersebut sangat tinggi dalam melaporkan kekayaan mereka. 


Sehingga wajar jika kemudian tindakan yang diambil untuk menyikapi perilaku flexing yang dilakukan oleh keluarga pejabat cukup dengan mencopot mereka dari jabatannya, bukan menelusuri dari mana harta itu berasal dan memprosesnya secara hukum. Hal itu diduga sebagai upaya menjaga citra penguasa, agar tampak cekatan dalam menyelesaikan permasalahan. Juga menegaskan akan sosok pejabat dalam sistem yang minim akhlak, bersenang-senang di atas penderitaan rakyat, mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya dengan memanfaatkan jabatan yang dimilikinya, entah dengan melakukan korupsi, suap, pencucian uang dan lain sebagainya.


Istilah flexing sendiri dalam Cambridge Dictionary  adalah sebuah tindakan menunjukkan sesuatu yang dimiliki atau diraih. Tapi, dengan cara yang dianggap tidak menyenangkan oleh pihak lain. Kata ini sering digunakan untuk menjelaskan orang yang suka menampakkan kelebihan dan kemampuannya di media sosial. Pamer kendaraan dan rumah mewah, barang-barang branded, hingga jalan-jalan ke luar negeri seolah menjadi hal wajar yang membudaya. Sebuah realita yang menyakitkan hati di tengah banyaknya warga miskin yang berjibaku bertahan hidup di tengah himpitan ekonomi kapitalis yang kian menyengsarakan.


Dalam sistem kapitalis, pemilik modal memiliki kedudukan yang diutamakan. Penegakan aturan diprioritaskan demi kepentingan para korporat tersebut, walau harus mengorbankan masyarakat, mereka didera himpitan hidup karena kesulitan dalam mengakses ekonomi. Sementara, budaya korupsi dan suap kian merajalela akibat terbukanya kesempatan serta semakin merosotnya moral.


Minimnya pengawasan negara dan longgarnya sanksi mengakibatkan kepemilikan kekayaan pejabat yang tidak wajar, semakin di luar batas nalar. Itulah yang terjadi ketika Kapitalisme yang dijadikan landasan dalam berpijak, dimana materi menjadi standar kebahagiaan. 


Lain halnya dengan Islam, kekayaan bukan sumber kebahagiaan yang hakiki. Di balik itu semua, syariat menempatkan ketaatan dan ketakwaan kepada Allah Swt. dan Rasulullah saw. di atas segalanya. Karena bahagia yang sesungguhnya adalah dengan meraih rida-Nya, yaitu dengan menjalankan segala yang diperintahkan dan menjauhi semua larangan. 


Islam juga mengatur pemanfaatan harta yang dimiliki oleh seseorang, melarang perbuatan israf (melampaui batas) dan tabzir (menghamburkan harta). Jadi seorang Muslim dilarang untuk membelanjakan harta dalam perkara yang Allah haramkan. Sementara flexing merupakan bagian dari gaya hidup berfoya-foya juga terkandung unsur kesombongan di dalamnya. Padahal syariat memerintahkan untuk hidup sederhana dan tidak berlebih-lebihan. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. dalam HR. Abu Dawud: "Sesungguhnya kesederhanaan itu adalah bagian dari iman."


Terjaganya keimanan masyarakat merupakan tanggung jawab negara. Terwujudnya sebuah pemerintahan yang bersih dari segala bentuk kemaksiatan seperti suap, korupsi, gaya hidup mewah dan berfoya-foya tentu menjadi dambaan. Namun, hanya dalam naungan sistem Islam semua itu akan terlaksana. Karena penguasa Muslim akan memberi perlindungan, dan menjaganya dari segala bentuk propaganda dan liberalisasi budaya.


Masyarakat akan lebih difokuskan untuk melakukan aktivitas yang berguna bagi kemaslahatan umat yang tentu sesuai dengan tuntunan syariat. Negara akan memberlakukan sanksi tegas bagi pelaku kemaksiatan untuk memberikan efek jera dari melakukan perbuatan serupa. Tentu semua itu hanya akan bisa terlaksana dalam naungan sebuah kepemimpinan Islam. Wallahu a'lam bi ash-shawwab.