Perceraian Marak, Generasi Kian Rentan
OpiniSelama keluarga diposisikan sebagai urusan pribadi
dan negara tidak menghadirkan sistem yang menjaga, angka perceraian akan terus naik
_____________________
Penulis Perawati
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Keluarga Tak Lagi Kokoh, Apa yang Salah?
Fenomena perceraian terus menunjukkan tren mengkhawatirkan di berbagai daerah di Indonesia. Di saat angka pernikahan menurun, jumlah gugatan cerai justru melonjak. Dalam laporan (Suara.com, 12 Oktober 2025), angka perceraian tinggi ditemukan baik pada pasangan usia muda maupun pada yang telah menikah puluhan tahun. Fenomena yang kini dikenal sebagai grey divorce.
Tren ini tak hanya muncul di kalangan masyarakat umum. Para tokoh publik dan selebritas kerap menjadi sorotan karena keputusan cerainya yang kemudian di bingkai sebagai bagian dari “healing” atau kebebasan memilih jalan hidup baru. Normalisasi semacam ini membuat ikatan pernikahan seolah tak lagi sakral, dan perceraian dianggap bagian dari proses pencarian kebahagiaan individu.
Padahal setiap perceraian tak pernah benar-benar berdampak pada dua orang saja. Anak-anak menjadi korban yang tak bersuara. Keluarga besar ikut terpecah. Masyarakat kehilangan fondasi penting: ketahanan keluarga yang utuh.
Sekularisme dan Kapitalisme Melemahkan Fondasi Keluarga
Tak sedikit yang menyebut faktor ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan, atau minimnya kesiapan mental sebagai penyebab perceraian. Namun, semua itu sebenarnya berpangkal pada satu hal: cara pandang hidup yang keliru, yakni cara pandang yang sekuler dan kapitalistik.
1. Pernikahan Tidak Lagi Dipahami Sebagai Amanah
Dalam masyarakat yang sekuler, pernikahan dipandang sebagai sarana pemenuhan kebutuhan pribadi, bukan amanah dari Allah. Ketika ekspektasi tidak terpenuhi, perceraian dianggap wajar bahkan dibenarkan secara sosial.
2. Sistem Pendidikan Gagal Menyiapkan Generasi Bermental Kuat
Kurikulum hari ini lebih fokus pada capaian akademik dan karier, tteapi lemah dalam menanamkan nilai kesabaran, tanggung jawab, serta kesiapan membina rumah tangga. Tidak heran jika banyak pasangan muda memilih bercerai karena perbedaan pendapat kecil yang berulang.
3. Tekanan Ekonomi dari Sistem Kapitalis
Sistem ekonomi hari ini menuntut kedua pasangan bekerja keras demi memenuhi standar hidup modern. Kelelahan, tekanan finansial, dan gaya hidup konsumtif memicu konflik. Sementara negara abai menjamin kesejahteraan dasar keluarga.
4. Gaya Hidup Bebas dan Budaya Individualistik
Kapitalisme mempromosikan kebebasan sebagai nilai utama. Termasuk dalam memilih pasangan, mengakhiri pernikahan, atau menjalani hidup sendiri. Ikatan keluarga dianggap bisa ditinggalkan demi kebahagiaan individu, meski berdampak pada anak dan tatanan sosial.
Islam: Membangun Keluarga dengan Fondasi Takwa dan Sistem yang Menjaga
Berbeda dengan pendekatan sekuler, Islam memandang keluarga sebagai institusi penting yang menjadi fondasi masyarakat. Untuk mencegah perceraian dan membangun ketahanan keluarga, Islam menghadirkan sistem hidup yang terintegrasi dari pendidikan, pergaulan, hingga politik ekonomi.
1. Pendidikan Islam: Menanamkan Kesadaran Hidup dalam Tanggung Jawab
Dalam sistem Islam, pendidikan tidak sekadar untuk mengejar prestasi dunia, tetapi membentuk kepribadian Islam. Sejak remaja, generasi dididik untuk memahami makna pernikahan sebagai ibadah, bukan sekadar hubungan emosional atau fisik.
Sesuai sabda Rasulullah saw.: “Perempuan dinikahi karena empat hal… maka pilihlah karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa kesamaan nilai iman menjadi fondasi utama pernikahan dalam Islam.
2. Sistem Pergaulan Islam: Menjaga Batas dan Menumbuhkan Ketakwaan
Islam mengatur interaksi sosial secara jelas. Suami dan istri memiliki peran yang saling melengkapi, bukan bersaing. Anak-anak tumbuh dalam keluarga yang penuh keteladanan dan adab. Sistem ini mencegah perselingkuhan, kekerasan, dan pelarian emosional yang destruktif.
3. Sistem Ekonomi Islam: Menjamin Kebutuhan Dasar Keluarga
Islam tidak membiarkan rakyatnya berjuang sendirian dalam sistem pasar bebas. Negara Islam bertugas menjamin kebutuhan dasar: sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan. Dengan ini, keluarga tidak runtuh hanya karena masalah ekonomi. Sesuai sabda Rasulullah saw.: “Imam (khalifah) adalah pemelihara rakyat dan dia bertanggung jawab atas mereka.” (HR. Bukhari)
4. Islam Memungkinkan Perceraian, tetapi Tidak Memudahkannya
Perceraian dalam Islam adalah solusi terakhir, bukan keputusan impulsif. Islam mengajarkan penyelesaian lewat mediasi, musyawarah, dan upaya memperbaiki keadaan. Bahkan proses talak harus dilakukan dengan aturan yang menjaga kehormatan kedua pihak dan masa depan anak.
Saatnya Sistem yang Menjaga Keluarga, Bukan Membebani
Selama keluarga diposisikan sebagai urusan pribadi dan negara tidak menghadirkan sistem yang menjaga, angka perceraian akan terus naik. Pendidikan tidak cukup kalau hanya soal logika. Ekonomi tidak akan kuat kalau hanya bertumpu pada kerja keras tanpa jaminan. Keluarga tidak akan utuh jika sistem pergaulan membolehkan semua hal atas nama kebebasan.
Sudah saatnya kita mengembalikan peran Islam sebagai sistem kehidupan. Islam tidak hanya mengajarkan nilai-nilai keluarga, tetapi menghadirkan sistem yang menjaga, mendidik, dan menguatkan. Karena yang dirusak oleh sistem sekuler bukan hanya keluarga, tetapi juga generasi yang lahir darinya sebab membangun bangsa yang kuat dimulai dari keluarga yang kokoh. Keluarga tak akan kokoh jika berdiri di atas sistem yang rapuh. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]


