Ketika Sistem Patriarki dan Kapitalis Melahirkan Generasi Fatherless
OpiniFenomena fatherless bersumber pada sistem ekonomi dan sosial yang tidak ramah keluarga
Sistem kapitalis yang berorientasi pada akumulasi profit telah menciptakan kultur kerja yang eksploitatif
____________
Penulis Eva Fatmah Hasan, S.P.d. I
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Aktivis Muslimah
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI- Fenomena "fatherless" kian menjadi isu sosial yang mendesak di Indonesia. Fenomena fatherless tidak melulu tentang ketidakhadiran ayah secara fisik, tetapi lebih kepada kekosongan peran, bimbingan, dan kehangatan seorang figur ayah dalam kehidupan sehari-hari.
Banyak anak yang merasa seakan-akan tidak memiliki ayah, meskipun sang ayah tinggal dalam satu atap yang sama. Krisis ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan peran dalam keluarga, yang akarnya harus ditelusuri pada sistem sosial dan ekonomi yang berlaku, bukan sekadar masalah individu.
Data berbicara dengan cukup jelas. Berdasarkan analisis tim Jurnalisme Data Harian Kompas, 15,9 juta anak di Indonesia berpotensi tumbuh tanpa pengasuhan ayah atau Fatherless. Angka ini setara dengan 20,1 persen dari total 79,4 juta anak berusia kurang dari 18 tahun. Temuan ini merujuk pada olahan data Mikro Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik Maret 2024.
Dari 15,9 juta itu, 4,4 juta anak tinggal di keluarga tanpa ayah. Sementara itu, 11,5 juta anak lain tinggal bersama ayah dengan jam kerja lebih dari 60 jam per minggu atau lebih dari 12 jam per hari. Artinya, seorang ayah lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah daripada bertemu anak di rumah. (Kompas.com, 8 Oktober 2025)
Apa Dampak dari Fatherless Ini?
Ketidakhadiran sosok ayah akan menimbulkan kekosongan emosional yang disebut father hunger, atau kerinduan anak terhadap kehadiran dan kasih sayang dari figur seorang ayah. Hal ini bisa menimbulkan dampak serius bagi perkembangan sosial, psikologis, dan akademik anak.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Blankenhorn (1995) dan Amato & Gilbreth (1999) menunjukkan bahwa anak-anak tanpa kehadiran ayah yang terlibat berisiko mengalami harga diri rendah, gangguan kecemasan, depresi, dan kesulitan membangun hubungan sosial yang sehat. Mereka juga cenderung memiliki prestasi akademik yang buruk, lebih sering absen dari sekolah, dan memiliki risiko lebih tinggi untuk putus sekolah (UNICEF, 2007). Tidak hanya itu, anak fatherless juga rentan terhadap keterlibatan dalam kenakalan remaja, perilaku seksual berisiko, hingga tindakan kriminal (Psychology Today, 2021)
Jika ditelisik lebih dalam, akar dari fenomena ini bersumber pada sistem ekonomi dan sosial yang tidak ramah keluarga. Sistem kapitalis yang berorientasi pada akumulasi profit telah menciptakan kultur kerja yang eksploitatif.
Para ayah dipaksa untuk bekerja lembur, menghadapi tekanan target yang tinggi, dan menghabiskan waktu berjam-jam di jalanan untuk menempuh perjalanan panjang ke kantor. Dalam sistem ini, kesuksesan seorang laki-laki sering kali diukur semata dari kemampuannya mencari nafkah material sehingga mereka terjebak dalam siklus "kerja, pulang lelah, tidur, dan kerja lagi."
Di sisi lain, sistem patriarki turut andil dalam memperparah keadaan. Patriarki menempatkan ayah sebagai "pencari nafkah tunggal" yang tugas utamanya adalah menyediakan sandang, pangan, dan papan. Sementara peran pengasuhan dan pendidikan anak sepenuhnya dibebankan kepada ibu.
Pembagian peran yang kaku ini membuat kehadiran ayah di rumah seolah hanya bersifat komplementer, bukan suatu keharusan. Akibatnya, terciptalah jarak emosional antara ayah dan anak karena sang ayah tidak terlibat secara mendalam dalam proses tumbuh kembang dan dunia sehari-hari anak-anaknya.
Pemahaman ini juga bisa diakibatkan dari warisan orangtua sebelumnya, bahwa tugas ayah adalah pencari nafkah. Jika pun terlibat pengasuhan, mereka akan masuk di ranah penegak disiplin saja. Hasilnya komunikasi yang tercipta tidak luwes, tidak masuk pada jiwa anak, dan cenderung terasa galak oleh para anak. Tak jarang ketika pulang kerja, mereka menyapa anaknya dengan ala kadarnya, seperti “Sudah mengerjakan PR belum?” “Sudah salat belum?” Padahal anak butuh lebih dari sekadar pertanyaan-pertanyaan itu.
Bagaimana Islam Menyolusinya?
Islam sebagai agama yang sempurna menawarkan solusi mendasar untuk memutus mata rantai fatherless ini. Islam mendefinisikan peran ayah tidak sekadar sebagai "wallet" (dompet), tetapi sebagai "qawwam" – pemimpin, pelindung, dan penjaga bagi keluarganya. Sebagaimana firman Allah Swt.: "Laki-laki (suami) adalah pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan satu sama lain dan karena mereka menafkahkan sebagian dari harta mereka." (QS. An-Nisa: 34)
Makna "qawwam" di sini sangat luas, mencakup tanggung jawab material, spiritual, pendidikan, dan perlindungan yang semuanya membutuhkan kehadiran fisik dan emosional.
Rasulullah saw. juga telah memberikan teladan terbaik (uswah hasanah) sebagai seorang ayah. Beliau selalu menyempatkan waktu untuk bermain dengan anak-anak, menunjukkan kasih sayang secara fisik, dan terlibat langsung dalam pengasuhan. Sabda beliau, "Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku." (HR. Tirmidzi)
Hadis di atas menegaskan bahwa kebaikan seorang laki-laki diukur juga dari kualitas interaksinya di dalam rumah. Nafkah memang penting, tetapi ia bukanlah satu-satunya tolok ukur. Keterlibatan aktif dalam mendidik anak, mendengarkan cerita mereka, dan menjadi sosok yang penyayang adalah kewajiban yang setara.
Pada zaman khulafaur rasyidin meski istilah fatherless belum hadir, tetapi para pemimpin saat itu memberikan kebijakan utama terletak pada jaminan ekonomi dan keadilan sosial. Seperti Khalifah Umar bin Khattab melalui Baitulmal memberikan tunjangan tetap kepada setiap warga, termasuk anak-anak. Dengan terpenuhinya kebutuhan pokok oleh negara, beban finansial para ayah tidak lagi mengimpit. Mereka tidak dipaksa untuk menghabiskan seluruh waktunya mencari nafkah sehingga memiliki ruang lebih besar untuk hadir secara fisik dan emosional di tengah keluarga.
Selain itu, para khalifah juga menjadi teladan langsung dan menegakkan hukum keluarga Islam yang protektif. Mereka sendiri, seperti Ali bin Abi Thalib menunjukkan keseimbangan antara urusan negara dan keterlibatan sebagai ayah dalam pengasuhan anak.
Secara sistem, hukum Islam yang ditegakkan melindungi hak-hak anak untuk mendapat nafkah dan pengasuhan, serta melarang praktik-praktik yang dapat melahirkan anak tanpa ayah yang jelas. Dengan demikian, stabilitas keluarga terjaga dan peran ayah sebagai qawwam (pelindung dan penjaga) dapat diwujudkan secara utuh.
Oleh karena itu, mengatasi krisis fatherless memerlukan perubahan paradigma yang komprehensif. Setiap ayah harus menyadari bahwa tanggung jawabnya melampaui sekadar menyediakan uang belanja. Keluarga muslim perlu membangun budaya di mana peran pengasuhan adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya ibu. Di tingkat masyarakat dan negara, perlu ada advokasi untuk kebijakan kerja yang pro-keluarga, seperti jam kerja yang manusiawi dan hak cuti ayah yang memadai.
Dengan kembali kepada tuntunan Islam, kita dapat mengembalikan ayah pada posisi sejatinya: sebagai pilar keluarga yang tidak hanya hadir secara fisik, tetapi juga hadir sepenuhnya dengan hati, waktu, dan cinta untuk anak-anaknya. Wallahualam bissawab. [EA/MKC]


