Alt Title

Maraknya Fatherless Akibat Sistem Rusak

Maraknya Fatherless Akibat Sistem Rusak




Fenomena fatherless bukan seuatu yang terjadi secara alami

melainkan karena dukungan sistem kapitalis-sekuler yang diterapkan dalam tatanan masyarakat dan negara


___________________________


Penulis Imelda Inriani, S. P

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS -.Ramai menjadi perbincangan media di Indonesia terkait dengan fatherless, yakni fenomena ketidakhadiran peran ayah dalam pengasuhan, baik secara fisik maupun psikologis.


Menurut Analisis Tim Jurnalisme Data Harian Kompas, sebanyak 15,9 juta anak di Indonesia berpotensi tumbuh tanpa pengasuhan ayah atau fatherless. Angka ini setara dengan 20,1 persen dari total 79,4 juta anak berusia kurang darai 18 tahun. Dari 15,9 juta diketahui bahwa 4,4 juta  diantaranya tinggal di keluarga tanpa ayah.


11,5 juta diantaranya tinggal bersama ayah yang memiliki jam kerja lebih dari 60 jam per pekan atau lebih dari 12 jam per hari. Artinya, ayah lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah ketimbang bertemu anak di rumah. (Voi.id, 11-10-2025)


Berbagai hasil penelitian psikologi perkembangan menunjukkan bahwa kehadiran ayah memiliki dampak signifikan terhadap keseimbangan emosional, perkembangan sosial dan prestasi akademik anak. Alhasil, anak yang tumbuh tanpa kehadiran sosok ayah cenderung memiliki tingkat stres lebih tinggi, risiko kenakalan remaja, serta kesulitan dalam membangun kepercayaan diri dan identitas yang sehat.


Di Indonesia sendiri dampak fatherless makin terasa dampaknya akibat sistem pendidikan dan sosial yang belum mampu menyediakan ruang kompensasi bagi kekosongan tersebut. Sekolah lebih fokus pada aspek kognitif, sementara lembaga sosial belum banyak memperkuat peran keluarga sebagai lingkungan tumbuh kembang yang utuh. Akhirya, anak-anak tersebut akan mengisi ruang kekosongan itu dengan mencari figur pengganti di luar rumah seperti teman sebaya, media sosial, bahkan tokoh publik yang belum tentu dapat memberikan teladan positif. (Tagar.co 08-10-2025)


Fatherless Buah dari Sistem Rusak


Fenomena fatherless merupakan hal serius yang harus segera diselesaikan hingga akar permasalahannya yakni dengan mengembalikan kembali peran ayah yang sesungguhnya, yaitu sebagai qawwam dalam keluarga. Dalam hal ini mencari nafkah sekaligus menjadi teladan dalam pendidikan anak. Namun, pada realitas sekarang, tidak banyak anak yang merasakan peran ayah tersebut.


Penyebab yang paling mendasar adalah akibat dari penerapan sistem kapitalisme – sekuler di segala aspek. Pertama, kapitalisme dalam bidang ekonomi. Kondisi ini ayah dipaksa membanting tulang dan menguras tenaga hingga waktunya dihabiskan untuk mencari uang agar dapat memenuhi kebutuhan keluarganya. Bahkan, tidak sedikit ayah terpaksa mengabaikan perannya dalam membersamai tumbuh kembang anak karena tenaganya sudah habis digunakan untuk mencari nafkah di luar rumah. 


Kebijakan kapitalisme juga memaksa rakyat untuk menanggung beban kehidupannya masing-masing. Hal ini sangat selaras dengan prinsip ide ini yakni mengambil keuntungan untuk diri mereka, yakni para kapitalis. Kebijakan dibuat selaras dengan kepentingan mereka.


Sedangkan rakyat tidak mendapatkan manfaatnya sama sekali justru menyulitkan keadaan mereka misal pajak yang tinggi, layanan kesehatan, pendidikan yang sulit dijangkau, kebutuhan pokok yang mahal dan lain sebagainya. Sehingga rakyat, terutama para ayah terpaksa membanting tulang bahkan ada yang mengambil pekerjaan ganda untuk memenuhi kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan) dengan mengorbankan waktu bersama anak. 


Kedua, kapitalisasi pendidikan yang juga tidak lepas dari penyebab terjadinya fatherless. Di mana orientasi pendidikan saat ini hanya fokus pada pencapaian materi semata. Alhasil, produk yang dihasilkan oleh sistem pendidikan saat ini sudah jauh dari sebagaimana mestinya. 


Realitas saat ini adalah siswa dan siswi yang merupakan calon ayah maupun calon ibu tidak diberi bekal bagaimana ia nantinya ketika menyandang peran sebagai ayah atau ibu, apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab yang harus ditunaikan untuk keluarganya. Kebalikannya, saat ini dapat kita lihat bagaimana potret keluarga yang ada di sekitar kita. Tidak sedikit kasus KDRT dan perselingkuhan yang terjadi. Hal ini yang menjadikan bangunan keluarga menjadi rawan rapuh dan runtuh sehingga berujung fatherless.


Dalam sistem kapitalisme, fungsi ayah yang harusnya memberikan rasa aman dan nyaman bagi keluarganya terutama bagi anak dan istrinya lama kelamaan akan terkikis. Keluarga tidak ada rasa aman dan anak kehilangan figur ayah dalam kehidupannya.


Hal ini menunjukkan fenomena fatherless bukan sesuatu yang terjadi secara alami, melainkan karena dukungan sistem kapitalis-sekuler yang diterapkan dalam tatanan masyarakat dan negara. Oleh karena itu, untuk mengatasi fenomena fatherless harus diselesaikan mulai dari akarnya, yakni mencabut sistem ini di tengah-tengah masyarakat kemudian menerapkan Islam yang sempurna.


Islam Solusi Tuntas Atasi Fatherless


Dalam sistem Islam, Allah menciptakan laki-laki sebagai pemimpin dan penanggung jawab bagi keluarganya terutama istri dan anaknya. Allah berfirman : “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), juga karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka (kepada perempuan) (QS. An Nisa [4]: 34)


Sabda Rasulullah saw.: ‘’Dan laki-laki adalah pemimpin anggota keluarganya dan ia dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya,dan istri adalah pemimpin terhadap keluarga rumah suaminya dan juga anak-anaknya, dan ia dimintai pertanggungjawaban terhadap mereka." (HR. Bukhari)


Berdasarkan ayat dan hadis di atas ayah bertanggung jawab terhadap keluarganya, termasuk dalam pendidikan. Bahkan Rasulullah telah menekankan peran penting bagi ayah dalam pemberian pendidikan kepada anaknya melalui hadis: “Tiada suatu pemberian yang lebih utama dari orangtua kepada anaknya selain (pendidikan) adab yang baik.” (HR. Al Hakim No.7679)


Hal ini menunjukkan bahwa tugas ayah tidak hanya memberikan nafkah kepada keluarganya tetapi wajib untuk memberikan pendidikan. Ayah tidak boleh meninggalkan fungsinya memberikan pendidikan dengan dalih sibuk mencari nafkah. 


Dalam sistem Islam, seluruh ayah tentu dengan mudah menjalankan perannya dalam pemberian pendidikan anak. Karena dalam Islam aspek politik yang dijalankan semata-mata untuk meraih rida Allah dengan ketaatan secara total. Dengan demikian, kebijakan yang diterapkan akan berorientasi pada kemaslahatan rakyat.


Mulai dari pemberian layanan gratis sehingga para ayah tidak lagi memusingkan dan mengkhawatirkan terkait biaya pendidikan, kesehatan, transportasi lain sebagainya. Para pencari nafkah tidak akan dibebani dalam pembayaran ini dan itu seperti yang terjadi saat ini. 


Negara akan dengan mudah menyediakan lapangan pekerjaan bagi para ayah dengan pengelolaan sistem ekonomi islam yang diterapkan, misalnya pengelolaan SDA yang di mana tidak boleh dikelola oleh orang asing seperti saat ini. Negara akan mengelola SDA yang melimpah yang ada di dalam negeri dan manfaat sebesar-besarnya akan dikembalikan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk para pemilik modal seperti hari ini.


Dengan begitu, para ayah tidak menghabiskan waktunya hanya untuk mencari nafkah saja. Adanya penerapan sistem Islam dengan mudah ayah menjalankan perannya sebagai pemberi nafkah dan pemberi pendidikan bagi keluarganya.

 

Hal ini tidak terlepas dari peran negara yang mendukung dan bahkan mendorong para ayah untuk sukses menjalankan perannya tersebut. Tentu hal itu hanya bisa terwujud dengan penerapan Islam secara menyeluruh dalam tatanan negara dengan sistem Islam. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]