Islam Solusi Tuntas Fatherless
OpiniAyah berperan penting dalam peranan tauhid, pembiasaan ibadah, menasihati untuk takwa
pergaulan secara makruf dan menjadi teladan dalam kepemimpinan
____________________________
Penulis Iis Rukoyah
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Aktivis Muslimah
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI- Saat ini, fenomena fatherless sedang banyak diperbincangkan di ruang-ruang digital anak muda. Fatherless dapat diartikan ketiadaan sosok ayah secara fisik maupun emosional.
Secara fisik, fatherless berarti sang ayah tidak tinggal bersama anaknya. Bisa disebabkan oleh kematian, perceraian atau pekerjaan ayah yang jauh dari rumah. Sedangkan secara emosional, fatherless yaitu anak tidak memiliki hubungan yang dekat dengan ayahnya. Anak yang mengalami masalah fatherless berisiko terkena depresi, kecemasan, dan masalah harga diri.
Pada saat ini, jutaan anak Indonesia mengalami fatherless yang tinggi, bahkan mengkhawatirkan. Dilansir Kompas.com, (10-10-2025), berdasarkan olah data tim jurnalis dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SuSeNAs) Maret 2024, ada 25,9 juta anak atau setara dengan 20,1 persen dari total 79,4 juta anak yang berusia kurang dari 18 tahun yang berpotensi mengalami fatherless. Sebanyak 4,4 juta anak tidak tinggal bersama ayah. Adapun 11,5 juta anak memiliki ayah yang sibuk bekerja atau separuh harinya lebih banyak bekerja di luar rumah.
Generasi fatherless tidaklah lahir dari ruang hampa, tetapi lahir dari sistem kapitalis sekuler. Dari deretan kebijakan dan peraturan yang secara sistematis mengesampingkan peran ayah dalam pendidikan dan pengasuhan. Hal ini menyebabkan rentetan masalah yang tak bisa dihindari, yakni perceraian, ayah bekerja di luar kota, ayah melakukan KDRT, dan hubungan yang buruk (ayah hadir secara fisik, tetapi tidak ada kedekatan dan komunikasi dengan anak).
Keluarga Disfungsi
Dikutip Kompas.id, Selasa (15-08-2025), tercetus dari sebuah pesta perkawinan bernama komunitas Satu Meja Makan yang terbentuk pada April 2025. Komunitas pendukung tanpa figur ayah tersebut dimotori oleh pengalaman personal, profesional dan psikologi, yakni Irish Amalia dan Fadhilah Eryananda yang selama ini banyak menangani kasus keluarga disfungsi.
Menurut Fadhilah, keluarga disfungsi adalah keluarga yang tidak berfungsi sebagaimana layaknya keluarga. Keluarga tidak hanya memenuhi kebutuhan fisik, sandang, pangan, papan, memberikan rasa aman, kebutuhan emosional, dan psikologi anak. Jadi, menurut Fadhilah jika satu peran dan fungsi keluarga tidak terjadi, maka keluarga itu menjadi keluarga disfungsi dan fatherless menjadi salah satunya.
Penyebab dari fatherless, di antaranya:
1. Tingginya perceraian berpengaruh besar pada maraknya fatherless. Tahun 2024, Badan Peradilan Agama (Badelag) Mahkamah Agung mencatat ada 446.359 perceraian. Meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 408.347 kasus.
2. Faktor ekonomi merupakan salah satu penyebab terbesar perceraian. Kondisi ekonomi yang sulit membuat para ayah kesulitan memenuhi kebutuhan keluarga, walau sudah bekerja keras.
3. Sempitnya lapangan pekerjaan, sedangkan tuntutan kebutuhan hidup makin berat. Akibatnya, ayah lama meninggalkan keluarga dan merantau ke tempat kerja yang jauh. Hal ini berdampak pada minimnya komunikasi dengan anak.
4. Diterapkannya sistem kapitalis kehidupan menjadikan sebagian orang tua lebih mementingkan mengejar materi (harta dan jabatan) daripada meluangkan waktu untuk pengasuhan dan pendidikan anak.
5. Seiring dengan kehidupan yang sekuler, umat Islam semakin jauh dari pemahaman agama. Tidak banyak orang tua yang memahami peran penting ayah sebagai pemimpin dalam pengasuhan dan pendidikan anak. Pengasuhan anak diserahkan pada ibu semata. Krisis teladan kepemimpinan akhirnya terjadi.
Solusi Fatherless Butuh Sistem yang Sistematis
Allah Swt. menciptakan laki-laki sebagai pemimpin, penanggung jawab bagi keluarganya termasuk anak-anaknya. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam Al-Qur'an surah An-Nisa (4): 34 yang artinya,
"Kaum laki-aki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) juga kaum mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka (perempuan).
Berdasarkan ayat di atas, ayah bertanggung jawab terhadap keluarga, termasuk dalam urusan pendidikan. Bahkan pendidikan merupakan aspek yang harus diperhatikan oleh ayah. Rasulullah saw. bersabda: "Tiada suatu pemberian yang lebih utama dari orang tua kepada anaknya selain (pendidikan) adab yang baik." (HR. Al-Hakim no. 7679)
Syaikh Taqiyudin an-Nabhani menjelaskan dalam kitab Nidzam Al-Ijtima fi Al-Islam bab perwalian ayah, "bahwa ayah adalah kepala rumah tangga, pemimpin sekaligus pengurus, sudah seharusnya ia memiliki perwalian (wilayah) atas rumah tangga. Ayah adalah wali bagi anak-anaknya, baik masa kecil maupun yang sudah besar tetapi belum balig. Baik bagi anak laki - laki atau pun perempuan. Baik perwalian yang terkait dengan jiwa maupun harta.
Peran ayah dalam pendidikan anak sama pentingnya dengan peran ibu. Al-Qur'an menggambarkan peran penting ayah dalam pendidikan anak pada QS. Lukman ayat 17 yang artinya, (Lukman berkata) "Wahai anakku dirikanlah shalat, suruhlah (manusia) berbuat yang ma'ruf dan cegahlah dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting."
Ayah berperan penting dalam peranan tauhid, pembiasaan ibadah, menasihati untuk takwa, pergaulan secara makruf, dan menjadi teladan dalam kepemimpinan. Namun, untuk bisa menjalankan peran ini ayah butuh persiapan ilmu dan dukungan yang sistematis.
Dalam Islam, peran ayah dalam keluarga sangat menentukan bagaimana masa depan anak. Dalam hal ini, negara akan mensupport peran ayah dengan memberikan lapangan kerja serta upah yang layak dan jaminan kehidupan sehingga ayah bisa memiliki waktu yang cukup bersama anak.
Untuk menggapai hal di atas kita butuh sistem yang benar-benar bisa mewujudkannya. Tiada lain dan tiada bukan hanyalah dengan menerapkan Islam secara kafah dalam bingkai Khil4fah. Wallahualam bissawab. [EA/MKC]


