Alt Title

Darurat KDRT dan Kekerasan Remaja: Fondasi Moral Dibutuhkan

Darurat KDRT dan Kekerasan Remaja: Fondasi Moral Dibutuhkan



Ketahuilah bahwa kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan remaja bukan sekadar masalah perilaku

tetapi sebuah gejala dari penyakit yang sistemik


________________________


Penulis Haifa Manar

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Fenomena kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan yang dilakukan remaja kini bukan lagi kasus terpisah. Keduanya adalah dua sisi dari koin yang sama: retaknya keluarga di bawah sistem sekuler-liberal sebab tidak ada yang tahu bahwa di balik tembok rumah yang tampak utuh acapkali tersembunyi jeritan yang tak terdengar. Jeritan seorang istri yang dipukul tanpa daya, anak yang menyaksikannya kemudian menahan trauma di sudut kamar, atau remaja yang kerap menyalurkan luka batinnya melalui kekerasan.


Dilansir dari Goodstats.id (14-09-2025), berdasarkan data dari Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) per September 2025. Jumlah kasus KDRT di Indonesia mencapai lebih dari 10.000 perkara. Itu pun belum termasuk kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak-anaknya.


Di Dairi, seorang ayah tega melakukan kekerasan seksual pada anaknya yang berusia 15 tahun hingga tiga puluh kali. Di Malang, seorang suami membakar istrinya sendiri dan menguburnya di kebun tebu. Sementara di sisi lain, para remaja yang seharusnya tumbuh dengan kasih sayang dan bimbingan justru beralih menjadi pelaku kekerasan. Dari kasus pembunuhan bocah SD, pengeroyokan sesama pelajar, hingga penganiayaan terhadap keluarganya sendiri.


Pada hakikatnya, kekerasan dalam rumah tangga tidak lahir dari ruang kosong. Ia berawal tumbuh dari akar yang dalam. Akar sekularisme yang menyingkirkan nilai-nilai agama dari kehidupan. Tatkala takwa tak lagi menjadi dasar keluarga, tatkala rumah dibangun di atas fondasi materialisme dan kebebasan tanpa batas, cinta dan kasih akhirnya kehilangan arah.


Rumah yang seharusnya menjadi tempat berlindung dan pulang. Kini berubah menjadi arena pertarungan ego. Di mana suami kehilangan peran sebagai pemimpin yang melindungi, istri kehilangan arah sebagai pendamping yang menenangkan, dan anak-anak kehilangan teladan untuk ditiru.


Sesungguhnya, sekularisme telah menjadikan manusia untuk hidup tanpa kesadaran akan tanggung jawab moral di hadapan Allah. Kehidupan dalam lingkup keluarga dikendalikan oleh standar duniawi: kesuksesan hanya diukur dari materi, kebahagiaan hanya ditakar dari kemewahan, cinta diganti dengan kepentingan duniawi dan dianggap sebagai komoditas belaka. 


Ketika tekanan ekonomi tersebut datang, atau masalah kecil memuncak. Tak ada lagi penopang spiritual yang mampu menahan amarah. Demikian, kekerasan menjadi pelarian, dan akhirnya berujung pada kehancuran.


Remaja yang Tumbuh Tanpa Arah


Dampak dari keluarga yang rapuh ternyata menjalar ke generasi-generasi berikutnya. Oleh sebab itu, remaja yang tumbuh tanpa teladan dan kasih sayang akan mencari pelampiasan di luar rumah. Mereka belajar dari media sosial yang seakan bebas dari nilai-nilai moral.


Apa pun bisa mereka jangkau hanya dengan benda tipis canggih bernama gawai. Dari sanalah, mereka meniru perilaku kekerasan yang ditampilkan dalam budaya pop, dan membentuk jati diri tanpa dibersamai dengan bimbingan moral.


Di samping itu, pendidikan dalam sistem sekuler-liberal menanamkan paham kebebasan tanpa batas. Seolah-olah manusia bisa berbuat sesuka hati mereka atas nama ekspresi diri. Nilai-nilai agama hanya dianggap urusan pribadi, bukan landasan moral bersama. Akibatnya, tumbuhlah generasi yang bebas tetapi kehilangan arah.


Mungkin mereka fisiknya kuat secara kasat mata. Namun, nyatanya rapuh secara jiwa. Inilah wajah buram generasi yang lahir dari keluarga tanpa nilai dasar Islam: merdeka dalam perilaku, tetapi terpenjara dalam kebingungan dan kebahagiaan yang semu.


Negara yang Abai Hukum yang Tak Menyentuh Akar


Pemerintah memang memiliki regulasi, seperti Undang-Undang PKDRT. Namun, aturan itu hanya berhenti pada tataran penindakan hukum. Ia menjerat pelaku, tetapi tidak menyentuh akar yang menumbuhkan kekerasan itu sendiri. Tidak ada juga kebijakan yang sungguh-sungguh memperkuat ketahanan keluarga sejak dari fondasi nilai.


Tidak ada sistem pendidikan yang menanamkan akhlak secara utuh. Tidak ada jaminan ekonomi yang membuat suami istri bisa hidup layak tanpa tekanan. Negara seakan hanya hadir setelah darah kemudian tumpah dan luka kian menganga bukan sebelum semua itu terjadi. Sementara sistem sekuler-liberal tetap dibiarkan beroperasi menggerogoti sendi-sendi keluarga dari dalam kemudian menghancurkannya secara diam-diam.


Islam: Jalan Menegakkan Kembali Fondasi Keluarga


Sehubungan dengan hal itu, Islam telah menawarkan solusi yang bukan sekadar tambalan. Akan tetapi, solusi yang benar-benar menyembuhkan. Sistem pendidikan Islam terbukti berhasil menumbuhkan manusia yang bertakwa dan pribadi yang sadar akan tanggung jawabnya sebagai hamba dan pemimpin.


Dalam keluarga, Islam mengajarkan keseimbangan peran: di mana suami sebagai berperan qawwam (pemimpin), pelindung dan penanggung jawab, serta istri sebagai pendamping dan pengatur rumah tangga. Hubungan mereka dibangun atas dasar rahmah, bukan dominasi; dijaga dengan kasih sayang, bukan kekuasaan yang mengekang.


Sebagaimana hal ini tercantum dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpin. Penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Setiap kepala keluarga adalah pemimpin anggota keluarganya dan dia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Dan istri pemimpin terhadap keluarga rumah suaminya dan juga anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap mereka, Dan budak seseorang juga pemimpin terhadap harta tuannya dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya. Ketahuilah, setiap kalian adalah bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.” (HR. Al-Bukhari No. 6605 dan Muslim No. 1829)


Sungguh demikian, negara dalam sistem Islam juga tidak abai. Ia berperan sebagai raa’in (pelindung) dan junnah (perisai) bagi rakyatnya. Negara wajib menjamin kesejahteraan agar keluarga tidak hidup dalam tekanan ekonomi yang bisa memicu kekerasan. Negara memastikan pendidikan berbasis akidah Islam menjadi pondasi utama. Sehingga anak-anak tumbuh dengan kepribadian yang kuat, beradab, dan berakhlakul karimah.


Selain itu, Islam memiliki sistem hukum yang menjerakan pelaku. Bukan semata-mata menghukum, tetapi juga mendidik masyarakat agar tidak lagi melanggar batas syariat, dan mencegah yang lain agar tidak sampai melanggar. Pada hakikatnya, hukum Islam menegakkan keadilan yang sejati sebab ia bersumber dari wahyu Allah bukan dari kompromi atau diskusi manusia.


Saatnya Kembali ke Fondasi Takwa


Ketahuilah bahwa kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan remaja bukan sekadar masalah perilaku. Tetapi, sebuah gejala dari penyakit yang sistemik sebab sistem sekuler-liberal telah mencabut akar moralitas dari kehidupan keluarga, kemudian menggantinya dengan kebebasan yang tidak memiliki arah dan materialisme yang menyesakkan.


Untuk itu, tidak ada terapi yang lebih mujarab daripada kembali kepada aturan Sang Pencipta. Hanya Islam yang mampu menata keluarga dari dasar akidah, menumbuhkan cinta yang berlandaskan ibadah, dan mencetak generasi yang bukan hanya cerdas, tetapi bertakwa. Karena rumah bukan sekadar tempat bernaung dari hujan dan panas, melainkan juga sebagai tempat di mana iman itu tumbuh, cinta yang perlahan bersemi, dan titik peradaban dimulai. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]