Alt Title

Hari Santri: Momentum Mengembalikan Santri sebagai Agen Perubahan

Hari Santri: Momentum Mengembalikan Santri sebagai Agen Perubahan


 

Hari Santri seharusnya dimaknai sebagai seruan untuk kembali kepada hakikat perjuangan santri

Mereka harus berdiri tegak sebagai fakih fiddin dan agen perubahan


_______________________


Penulis Nafisusilmi 

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Hari Santri Nasional diperingati setiap tanggal 22 Oktober sejak ditetapkan oleh pemerintah pada 2015. Hal ini menjadi simbol penghargaan terhadap kontribusi para santri dan ulama dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.


Tahun ini, peringatan Hari Santri kembali mendapat perhatian luas dari masyarakat. Di berbagai daerah, kegiatan digelar dengan penuh semarak, mulai dari upacara bendera, kirab santri, pembacaan kitab kuning, lomba pidato, hingga festival sinema santri.


Dalam sambutannya, Presiden Prabowo Subianto mengangkat tema "Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia". Ia menyampaikan pesan bahwa santri adalah penjaga moral bangsa dan pelopor kemajuan. 

 

Presiden juga mengingatkan kembali tentang Resolusi Jihad yang dicetuskan oleh KH. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945. Sebuah fatwa monumental yang menggerakkan ribuan santri dan ulama untuk berjihad mempertahankan kemerdekaan dari penjajahan Belanda. (Setneg.go.id, 24-10-2025)


Namun, di balik kemeriahan itu kita perlu merenungkan kembali. Apakah makna Hari Santri hari masih sejalan dengan semangat perjuangan para santri tempo dulu? Apakah santri masa kini masih berperan sebagai agen perubahan sejati yang lebih fakih fiddin dan pembela umat, atau sekadar menjadi simbol seremonial semata?


Seremoni yang Menyisakan Kekosongan Substansi


Tak dapat dimungkiri, peringatan Hari Santri makin meriah dari tahun ke tahun. Namun sayangnya, di tengah gegap gempita perayaan, substansi peran santri justru makin kabur. Peringatan yang seharusnya menjadi momentum penguatan jati diri santri sering kali hanya berhenti pada tataran seremoni.


Upacara dan lomba memang penting sebagai bentuk penghargaan terhadap sejarah. Namun, belum menyentuh makna mendalam dari identitas santri. Santri sejati bukan hanya mereka yang mengenakan sarung dan peci, atau fasih membaca kitab kuning, tetapi mereka yang memiliki kesadaran untuk mengemban amanah besar, yakni menjaga kemurnian agama, membela umat, dan menegakkan keadilan.


Santri hari ini lebih sering diarahkan untuk menjadi agen moderasi beragama atau pelopor menyebarkan jalan tengah nilai-nilai dalam agama. Istilah ini yang kerap diusung dalam berbagai program pemerintah. Moderasi beragama dalam praktiknya sering diartikan sebagai sikap yang tidak tegas dalam prinsip dan lebih menekankan kompromi terhadap nilai-nilai sekuler, yakni pemisahan agama dari kehidupan yang bertentangan dengan syariat Islam.


Selain itu, sebagian program pembinaan santri difokuskan pada pemberdayaan ekonomi. Meski baik secara sosial, tetapi terkadang menjauhkan pesantren dari visi aslinya sebagai lembaga pencetak ulama dan pejuang umat. Akibatnya, santri kehilangan arah perjuangan ideologisnya. Ia tidak lagi diarahkan untuk melawan bentuk penjajahan gaya baru, seperti dominasi ekonomi global, kerusakan moral, dan kapitalisme yang menindas umat.


Pujian atas peran santri dalam jihad melawan penjajah di masa lalu memang sering terdengar. Namun, pujian itu terasa bertentangan ketika dibandingkan dengan kebijakan-kebijakan masa kini yang justru membatasi peran kritis santri terhadap sistem sekuler. Perjuangan santri seolah dikurangi hanya menjadi simbol moralitas dan ekonomi, bukan perjuangan ideologis menegakkan Islam secara menyeluruh.


Santri yang Fakih Fiddin dan Agen Perubahan Hakiki


Dalam tradisi Islam, santri sejati adalah mereka yang fakih fiddin, yakni memahami agama secara mendalam. Tidak hanya di aspek ibadah, tetapi dalam hal sosial, politik, ekonomi, dan pemerintahan. 


Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassalam bersabda: "Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya, maka Dia akan memahamkannya dalam urusan agama." (HR. Bukhari dan Muslim)


Kefakihan dalam agama melahirkan kesadaran dan keberanian untuk menegakkan syariat Allah dalam seluruh aspek kehidupan. Santri yang fakih fiddin akan memahami bahwa Islam tidak hanya mengatur yang berhubungan dengan diri sendiri, hubungan manusia dengan Allah, tetapi hubungan antarsesama manusia dan alam. Ia sadar bahwa agama tidak boleh dipisahkan dari politik, ekonomi, dan sistem hukum Islam.


Sejarah telah membuktikan bagaimana para santri dan ulama memainkan peran penting dalam perubahan sosial dan politik. Mereka bukan hanya pengajar di pesantren, tetapi pemimpin perlawanan terhadap penjajahan. KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, KH. Zainul Arifin, KH. Wahid Hasyim, dan banyak ulama lainnya bukan sekadar guru, tetapi pejuang dan pemikir pembebasan umat.


Oleh karena itu, santri harus dikembalikan pada peran strategisnya sebagai agen perubahan peradaban Islam. Mereka harus menjadi pelopor dalam menegakkan keadilan, menolak segala bentuk kezaliman, dan memperjuangkan kehidupan yang diatur berdasarkan hukum Allah.


Santri bukan hanya penjaga moral bangsa, tetapi penegak ideologi Islam di tengah derasnya arus sekularisasi. Mereka harus siap berdiri di garda terdepan menghadapi penjajahan baru yang datang dalam bentuk sistem ekonomi ribawi, ketimpangan sosial, serta dominasi budaya barat yang menjerumuskan generasi muda ke jurang hedonisme atau kesenangan semata dan materialisme atau kesenangan dan kebahagiaan hanya didapat melalui benda atau harta.


Negara dan Tanggung Jawab Menghidupkan Pesantren


Negara memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan pesantren tidak kehilangan jati dirinya. Pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan alternatif, melainkan institusi strategis dalam membentuk karakter dan visi peradaban.


Negara seharusnya mendukung pesantren agar mampu melahirkan santri yang berilmu, berjiwa pemimpin, dan memiliki keberanian ideologis. Pesantren sejatinya adalah lembaga yang bebas dari tekanan apa pun. Karena orientasinya semata-mata adalah mengabdi kepada Allah dan memperjuangkan kemaslahatan umat.


Negara harus memastikan bahwa kebijakan pendidikan memberi ruang bagi nilai-nilai Islam untuk hidup dan berkembang. Santri harus didorong untuk berkontribusi dalam bidang keilmuan dan kepemimpinan tanpa harus meninggalkan identitas keagamaannya. Inilah bentuk tanggung jawab negara untuk mewujudkan pesantren yang kuat dan mandiri.


Santri dan Kebangkitan Peradaban Islam


Peringatan Hari Santri seharusnya bukan sekadar mengenang masa lalu, tetapi menjadi momentum kebangkitan peran santri di masa depan. Apalagi dunia hari ini menghadapi krisis multidimensi meliputi krisis moral, ekonomi, dan spiritual. 


Penerapan kapitalisme global telah menimbulkan ketimpangan sosial dan kerusakan lingkungan yang parah. Di tengah situasi ini, santri dengan keilmuan dan keteguhan iman memiliki potensi besar untuk menawarkan Islam sebagai solusi alternatif.


Peradaban Islam masa depan membutuhkan santri yang berpikir visioner dan berani menghadapi realitas global. Mereka harus mampu berdialog dengan dunia modern tanpa kehilangan identitas keislaman. Mereka harus membawa pesan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam, bukan hanya sebagai ibadah mahdah semata.


Hari Santri seharusnya dimaknai sebagai seruan untuk kembali kepada hakikat perjuangan santri. Mereka harus berdiri tegak sebagai fakih fiddin dan agen perubahan sejati yang berjuang menegakkan syariat dan membangun peradaban Islam yang adil dan mulia. Karena itu, negara, ulama, dan umat harus bersinergi untuk memastikan pesantren tetap menjadi benteng moral, pusat ilmu, dan garda terdepan kebangkitan umat. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]