Alt Title

Swasembada Beras Angan-angan atau Kenyataan?

Swasembada Beras Angan-angan atau Kenyataan?



Stabilisasi harga beras dengan bertumpu pada beras SPHP pun sebenarnya tidak efektif

karena persoalan harga beras bersifat sistemis

__________


Penulis Reka Putri Aslama

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI- Pada dua tahun terakhir pemerintah selalu mengimpor beras untuk meningkatkan Cadangan Beras Pemerintah (CBP). Namun, kali ini dengan tegas Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyatakan bahwa Indonesia tidak bakal impor beras hingga akhir 2025. Menurutnya, beras yang dimiliki saat ini kurang lebih 4 juta ton atau lebih tinggi dari tahun lalu yang mencapai 2 juta ton. (Kumparan.com, 06-09-2025)


Namun, di tengah stok beras yang berlimpah ini ada hal mengejutkan justru terjadi. Ternyata harga beras di 214 Kota/Kabupaten di Indonesia masih di atas Harga Eceran Tertinggi (HET). Lantas, apa yang dilakukan pemerintah untuk menekan harga yang melambung tinggi ini? 


Mengguyur Pasar dengan SPHP


Strategi pemerintah dalam menekan harga beras adalah dengan mengguyur pasar dengan beras SPHP. Menurut Mendagri (Menteri Dalam Negeri) Tito Karnavian, strategi ini akan efektif dalam menekan harga beras karena telah terbukti sebelumnya di 51 Kota/Kabupaten ada penurunan harga beras, meningkat menjadi 58 Kota/Kabupaten. Atas dasar ini Mendagri optimis strategi ini bisa menekan harga beras di 214 wilayah yang harga berasnya masih melambung tinggi. (Kumparan.com, 02-09-2025) 


Dalam rangka memperlancar distribusi, pemerintah menetapkan 7 saluran distribusi, yaitu para pengecer di pasar tradisional, koperasi, lembaga-lembaga pemerintah, bersinergi dengan TNI Polri, outlet pangan BUMN, outlet binaan Bulog, dan ritel modern. 


Fakta Pendistribusian Beras SPHP


Di lapangan, distribusi beras SPHP (Stabilisasi Pasokan Harga Pangan) nyatanya terjadi keterlambatan. Terdeteksi beberapa kendala, di antaranya mekanisme yang rumit. Dalam hal ini, pedagang wajib melaporkan penjualan dengan mengirim bukti pembelian melalui aplikasi klik SPHP. Di sisi yang lain, para pedagang belum semuanya mengerti digitalisasi. Kendala lainnya, kemasan beras tidak boleh dibuka dan hanya boleh dijual per 5 kilogram.


Faktanya, masyarakat tidak semua mampu membeli 5 kg, biasanya mereka membeli 1-2 kilogram beras. Walaupun harga beras SPHP ini tergolong murah, masyarakat masih kesulitan untuk membeli beras per 5 kilogram. Pada akhirnya pedagang memilih untuk tetap menjual beras medium dan premium yang bisa diecer, sekalipun harga lebih tinggi dari beras SPHP. Masyarakat pun terpaksa membeli beras yang bisa diecer sekalipun harga lebih mahal. (CNBC.com, 22-08-2025) 


Demikian pun dari sisi kualitas beras SPHP kerap kali dikeluhkan oleh masyarakat. Tak jarang masyarakat enggan membelinya meskipun harga relatif lebih murah. 


Angan-Angan Swasembada


Carut marutnya distribusi beras SPHP memperlambat upaya swasembada yang digalakkan pemerintah. Beras SPHP hanya menumpuk di gudang bulog, hingga gudang mengalami "obesitas" padahal penumpukan beras rawan membuat kualitas beras menurun. 


Stabilisasi harga beras dengan bertumpu pada beras SPHP pun sebenarnya tidak efektif karena persoalan harga beras bersifat sistemis, yakni terkait tata kelola perberasan nasional dari hulu hingga hilir. Terlebih adanya kesalahan tata kelola bulog yang membuat stok beras tertahan di gudang.


Praktik oligopoli oleh perusahaan-perusahaan besar dalam tata niaga beras yang berpengaruh kuat dalam mengerek harga beras menjadi tinggi. Mereka pemilik kendali atas harga beras sedangkan pemerintah seolah menjadi pahlawan yang hadir ketika harga beras tinggi. Dengan berupaya menekan harga beras dan menyiapkan stok beras aman. Namun, karena tata kelola yang buruk sehingga stok tetap melimpah sementara harga tidak berubah.


Semua itu merupakan hasil penerapan kapitalisme. Swasembada beras hanya akan menjadi angan-angan semata dalam sistem ini. Lalu, bagaimanakah Islam menuntaskan masalah perberasan ini? 


Solusi Islam

 

Pemimpin di dalam sistem Islam merupakan seseorang yang bertanggung jawab penuh terhadap rakyatnya.

 

Rasulullah saw. bersabda: 

الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ


“Imam (khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Bukhari)


Jelas dalam hadis tersebut Rasulullah mengatakan bahwa Imam/khalifah/pemimpin merupakan pengurus rakyat sehingga semua urusan rakyat menjadi tanggung jawabnya, termasuk dalam hal pangan.


Negara dalam sistem Islam akan memastikan ketersediaan pangan dalam hal ini beras. Negara akan membenahi jalur distribusi beras dari hulu hingga hilir sehingga beras bisa sampai ke tangan-tangan rakyat. Rakyat bisa mendapat beras dengan harga murah atau bahkan bisa saja digratiskan bagi masyarakat miskin. Hal itu karena kepemimpinan di dalam sistem Islam tidak mengambil keuntungan dari rakyat. Pelayanan penguasa murni untuk melayani rakyat dan anggaran pun akan selalu tersedia dari kas Baitulmal. 


Negara dalam sistem Islam juga akan memastikan agar tidak ada praktik yang haram dan merusak distribusi, seperti halnya praktik oligopoli. Dalam sistem Islam, swasembada beras dengan harga terjangkau akan nyata terwujud, bukan hanya sekadar angan-angan belaka. Tidakkah kita menginginkan hal tersebut?

 

Untuk itu, mari kita berupaya bahu membahu agar sistem Islam diterapkan dalam mengatur kehidupan. Hanya sistem Islam sajalah swasembada pangan akan terwujud. Wallahualam bissawab. [EA/MKC]