Alt Title

Rakyat Dikejar Pajak Pajak Perusahaan Tambang Dibiarkan

Rakyat Dikejar Pajak Pajak Perusahaan Tambang Dibiarkan



Kesalahan paradigma sistem ekonomi kapitalisme yang bertumpu pada pajak dan utang

sebagai sumber utama pendapatan negara

_____________


Penulis Cahaya Chems 

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Literasi


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI- Membahas persoalan pajak tidak pernah selesai, terutama dilihat dari sisi aspek membebani rakyat. Beban pajak kini makin mencekik rakyat dan telah mencapai klimaksnya. Ironisnya, justru pajak-pajak yang harus dibayarkan ke negara oleh perusahaan tambang luput dari perhatian negara, bahkan tidak tersentuh.


Sebagaimana terjadi pada puluhan perusahaan tambang di Sulawesi Utara yang belum menyetorkan pajak ke negara. Terkesan negara tidak mengejar para oknum pengusaha tersebut, negara telah tebang pilih. Ke perusahaan lembek sementara terhadap rakyat dikejar sampai dapat. (sorotsultra.com, 05-09-2025)


Inilah realitas yang terjadi pada negeri ini. Pemerintah lebih bersemangat menarik pajak receh dari rakyat. Sementara kepada para pengusaha besar luput dari perhatian. Tak jarang kerap kali perusahaan diterapkan kebijakan dibebaskan dari pajak berupa tax amnesty atau tax holiday. Pemerintah berdalih untuk memudahkan investor dan menumbuhkan ekonomi padahal semuanya hanya lagu lama yang selalu diputar ulang, tetapi hasilnya tidak sampai menyentuh kesejahteraan dan kepentingan rakyat.


Di Sulawesi Utara pun mengalami hal yang sama. Keengganan para oknum perusahaan tambang dalam pembayaran pajak dan menundanya. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah terkesan abai. Bahkan, memberikan teguran dan peringatan pun tidak.


Kita tahu Sulawesi dikenal sebagai pulau yang menyimpan cadangan nikel terbesar di dunia. Berdasarkan data Badan Geologi AS tahun 2023 setidaknya, Indonesia telah menghasilkan 1,8 juta metrik ton nikel atau dengan kata lain 50 persen kebutuhan nikel dunia disuplai oleh Indonesia. Nikel tersebut tersebar di wilayah Indonesia Timur seperti Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Morowali, dan Maluku Utara. (Harita Nichel, 04-02-2025)


Negeri kepulauan dengan kandungan hasil alam yang melimpah, menjadikan siapa pun pasti tertarik untuk menikmatinya. Ketertarikan pada sumber daya alam yang satu ini telah membuat nafsu keserakahan para perusahaan tambang. Mereka terus mengeksploitasi secara berlebihan. Bahkan, terus mencari keuntungan tanpa memperhatikan keseimbangan alam.


Ketika eksploitasi dikuasai perusahaan, kekayaan alam di Sulawesi Utara ini tidak memberikan kesejahteraan bagi rakyat Sultra. Faktanya, daerah Sultra telah banyak dikeruk sumber kekayaaan alamnya. Namun, rakyatnya hanya menerima dampak negatif saja. Seperti kerusakan ekosistem, polusi udara, hingga rawan kebanjiran. Karenanya tidak salah jika dikatakan para pengusaha tambang hanya datang mengeruk sumber kekayaan alam di Bumi Anoa, tetapi nihil kontribusi. Alhasil dari kenyataan itu, yang ada hanya membawa duka bagi masyarakat sekitar. Sementara pemilik perusahaan tambang panen cuan.


Bukan Soal Izin, tetapi Soal Siapa yang Mengelola 


Persoalan perusahaan tambang yang belum membayar pajak kepada negara ternyata problem yang muncul bukan sebatas itu saja. Ada persoalan yang penting, yakni siapa mereka yang mengelola dan mengantongi izin penambangan.


Telah menjadi rahasia umum tambang yang memiliki izin tidak menjadi jaminan bahwa tidak menimbulkan kerusakan. Baik kerusakan lingkungan ataupun kerugian material lainnya. Baik berizin maupun tidak berizin, aktivitas dari pertambangan kerap kali menimbulkan dampak lingkungan yang serius. 


Di sisi lain, mekanisme pengolahannya pun justru diserahkan kepada korporasi swasta bukan oleh pemerintah. Alhasil, keuntungan yang diperoleh tentu bukan murni diperuntukkan oleh kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat, tetapi masuk ke kantong pengusaha.


Sebenarnya jika paradigma mekanisme pengaturan pengelolaan sumber daya alam (SDA) dikelola negara dengan sebaik-baikny niscaya daerah tak perlu ada memelas wajah, meminta jatah agar diberikan pendapatan dari aktivitas para perusahaan tambang sebab negara sendiri menjadi tuan rumah mengolah SDA. Alhasil, dapat dinikmati langsung oleh rakyatnya di seluruh daerah.


Selain itu, negara tidak perlu susah payah menarik aneka pajak dari rakyat sebab dari hasil pengelolaan hasil tambang saja sudah cukup menjadi pemasukan bagi negara. Apalagi kita ketahui Indonesia adalah negeri dengan cadangan nikel terbesar di dunia. 


Namun sayangnya, pengelolaan hasil alam di negeri ini sebagian besarnya malah dikelola dan diberikan kepada pihak swasta. Negara hanya sebatas regulator bukan pemain utama. Imbasnya, rakyat pemilik hakiki atas sumber daya alam itu justru kehilangan hak menikmati sehingga aktivitas pertambangan tak cukup sekadar mengantongi izin legal atau tidak legal, melainkan siapa yang mengolah tambang itu menjadi penentu. 


Keberadaan sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan hari ini justru memberikan peluang sumber daya alam diserahkan kepada korporasi swasta. Negara tidak lagi berperan sebagai pengelola dan pelindung kepentingan rakyat. 


Inilah wajah asli ekonomi kapitalisme. Sebuah sistem yang menjadikan alam sebagai komoditas untuk keuntungan segelintir pihak. Keuntungan menjadi alat ukur utama. Sementara itu, ia abai terhadap kerusakan lingkungan dan penderitaan masyarakat.


Di sinilah bentuk kekeliruannya. Negara yang semestinya menjadi pengelola justru menjadi pemberi izin kepada pertambangan swasta.  Karena itu, kesalahan tata kelola pertambangan terletak pada regulasi negara yang memberikan lampu hijau pada korporasi swasta untuk mengelolanya.


Sudah pasti paradigma pengolahannya berbasis keuntungan bukan berorientasi pada pelayanan rakyar sehingga hasil alam yang melimpah ruah yang sejatinya milik rakyat menjadi tidak dinikmati rakyat. Inilah definisi ‘hidup sengsara di atas lumbung sumber daya alam yang melimpah’.


Karena itu, jika pengelolaan tambang di negeri ini dikelola secara benar berdasarkan pandangan syar’i, maka negeri ini akan benar-benar mendapatkan kemaslahatan dan menjadi pemilik hakiki. Rakyat menikmati hasil alam yang sejatinya milik mereka sebab paradigma sistem ekonomi Islam hadir sebagai alternatif yang berorientasi pada keadilan, keseimbangan, dan kesejahteraan umat.


Paradigma Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Islam


Islam dengan kesempurnaan syariatnya tidak hanya mengatur urusan ibadah semata. Namun, memiliki konsep hidup termasuk mengatur masalah kesejahteraan rakyat diberbagai bidang.  Di bidang ekonomi, Islam memiliki konsep yang baku bagaimana mengatur kepemilikan dan memanfaatkan sumber daya alam.


Di antara rambu-rambu aturan tersebut:


Pertama, penerapan sistem ekonomi Islam. Dengan prinsip distribusi kekayaan dan pemerataan ekonomi. Maka roda ekonomi dapat berjalan di tengah-tengah umat. Pemenuhan jaminan kehidupan seperti kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Kesehatan dan pendidikan adalah pelayanan negara yang diberikan cuma-cuma kepada rakyatnya.


Kedua, pengelolaan sumber daya alam. Dalam sistem ekonomi Islam negara memegang peran sentral sebagai pengatur dan pelaksana kebijakan ekonomi yang bertujuan menciptakan kesejahteraan merata bagi seluruh rakyat. Salah satu contohnya adalah pengembangan sektor industri yang dikelola dalam koridor prinsip-prinsip syariat. Islam melarang kepemilikan dan pengelolaan aset-aset strategis seperti minyak, gas, air, dan hutan diserahkan kepada individu atau korporasi. Apalagi sampai mengeksploitasi sumber daya alam dengan cara diprivatisasi.


Sebaliknya, Islam menempatkan sumber daya strategis seperti tambang sebagai milik umum. An-Nabhani (2004) dalam An-Nizham al-Iqtishadi fil al-Islam menegaskan bahwa negara berkewajiban mengelola dan mendistribusikan hasil dari sumber daya tersebut demi kemaslahatan umat. Prinsip kepemilikan umum ini bertujuan mencegah eksploitasi serta menjamin distribusi kekayaan yang lebih adil dan merata.


Ketiga, tidak mengenal konsep pajak. Dalam Islam, pajak bukanlah sumber pemasukan utama bagi negara. Karena itu, rakyat akan terbebani dengan aneka pungutan pajak. Sebagaimana negeri ini yang menjadikan pajak sebagai urat nadi pemasukan keuangan negara. Pajak baru diberlakukan ketika kas keuangan negara benar-benar kosong dan sifatnya darurat. Itu pun mekanismenya hanya ditarik dari orang-orang kaya saja dari kaum lelaki. Begitu terpenuhi maka negara menghentikan penarikan pajak.


Demikianlah cara Islam mengelola kekayaaan sumber daya alam. Ketika sistem ekonomi Islam diadopsi oleh negera maka otomatis sebagai alternatif jalan keluar dari buruknya sistem ekonomi. Niscaya kesejahteraan rakyat akan benar-benar terjamin. Wallahualam bissawab. [EA/MKC]