Alt Title

Mengembalikan Peran Pesantren sebagai Pelopor Kebangkitan Islam

Mengembalikan Peran Pesantren sebagai Pelopor Kebangkitan Islam



Islam membutuhkan peran para santri, asatidz, dan kyai sebagaimana dahulu Indonesia merdeka melalui darah perjuangan mereka

Maka segala upaya yang mengarah kepada pendistorsian peran santri dan ulama harus diwaspadai


____________________________


Penulis Sandra Ansoriah, A.Md

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Hari Santri Nasional yang jatuh setiap tanggal 22 Oktober selalu dinanti oleh para santri maupun civitas pesantren. Penetapan hari Santri Nasional tahun ini adalah yang kesepuluh setelah diresmikan oleh Presiden Joko Widodo melalui Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 22 Tahun 2015.


Tema yang diusung oleh Kementerian Agama untuk hari Santri Nasional tahun ini adalah “Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia” dengan logo “Pita Cakrawala” yang digambarkan dengan enam pita berwarna yang merupakan representasi enam kekuatan santri yang meliputi iman, ilmu, amal, akhlak, persatuan, dan perjuangan.


Rangkaian peringatan Hari Santri Nasional tahun ini sudah mulai digelar sejak ithlaq pada hari Senin, 22 September 2022 di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Berbagai macam gelaran acara dilaksanakan. Seperti acara, Halaqah Astalokha yang dilaksanakan di delapan titik strategis nasional, acara MQK (Musabaqah Qiraatil Kutub) tingkat Internasional yang diikuti oleh 10 negara, Expo Kemandirian Santri, muhasabah, zikir bersama, dan sebagainya.


Berdasarkan pernyataan Staff Khusus Menteri Agama Bidang Kebijakan Publik, Media atau Hubungan Masyarakat, dan Pengembangan SDM, Ismail Cawidu, seluruh rangkaian peringatan hari Santri Nasional 2025 ini disiapkan untuk menggambarkan tiga peran utama santri masa kini, yaitu sebagai duta budaya, agen perubahan sosial, dan motor kemandirian ekonomi. Menurutnya, berbagai acara yang disiapkan pun untuk menunjukkan bahwa santri Indonesia siap tampil sebagai duta Islam moderat (Islam Wasathiyyah) di panggung internasional. (uindatokarama.ac.id)


Distorsi Peran Santri


Penetapan tema dan rangkaian acara yang digelar pada peringatan Hari Santri Nasional 2025 ini seolah memberikan harapan besar bagi kemajuan bangsa. Namun, tema dan tujuan acara tersebut mesti kita cermati lebih dalam lagi melalui kacamata syariat.


Lahirnya pesantren pada dasarnya memang merupakan salah satu manisfestasi kemajuan sebuah peradaban. Namun, adanya upaya menjadikan santri dan pesantren sebagai motor kemandirian ekonomi, terlebih sebagai duta Islam moderat, menunjukkan bahwa rangkaian acara yang digelar tidak terlepas dari upaya kapitalisasi dan sekularisasi di dunia pesantren yang jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Islam.


Pendistorsian peran santri dan pesantren ini tentu sangat berbahaya bagi kemajuan dan esensi pesantren itu sendiri. Upaya ini dapat melemahkan semangat juang para santri dalam ilmu maupun perjuangan mengembalikan peradaban Islam.


Pelopor Kebangkitan Islam


Pesantren sebagai lembaga keagamaan seharusnya berperan sebagai pelopor utama sebuah peradaban. Dari pesantren lahir para ulama yang memiliki pola pikir dan pola sikap yang islami yang berperan besar dalam perjuangan Islam.


Pola pikir dilihat dari mumpuninya para santri dalam hal pemahaman Islam yang kental dengan dunia turats maupun ilmu keduniawian yang lain. Adapun pola sikap, lahir dari keluruhan adab dan akhlak yang selalu dipupuk dan dijunjung tinggi oleh para kyai maupun asatizah di pesantren.


Pola pikir dan pola sikap itu akan menjadikan seseorang menjadi hamba yang bertaqwa, yang hanya takut kepada Allah Swt.. Sebagaimana firman Allah Swt., dalam surah Fathir: "Dan demikian (pula) di antara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa, dan hewan-hewan ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Maha Pengampun." (TQS. Fathir: 28)


Kata ulama dalam ayat tersebut maksudnya merupakan orang yang memiliki ilmu. Dalam hal ini santri, asatiz, dan para kyai adalah termasuk di dalamnya. Selain itu, kedua potensi yang dimiliki oleh para santri dan ulama tersebut, yakni pola pikir dan pola sikap itu harus dijadikan sebagai penguat perjuangan Islam.


Islam membutuhkan peran para santri, asatiz, dan kyai sebagaimana dahulu Indonesia merdeka melalui darah perjuangan mereka. Maka segala upaya yang mengarah kepada pendistorsian peran santri dan ulama harus diwaspadai. Umat membutuhkan para pejuang dakwah yang mumpuni akalnya, kuat imannya, tulus dan ikhlas hatinya, serta totalitas dalam memperjuangkan Islam dan kaum muslim. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]