Alt Title

Melibas Tuntas Fenomena Fatherless Generation

Melibas Tuntas Fenomena Fatherless Generation



Mengembalikan peran ayah sebagai pendidik anak akan mampu menuntaskan fenomena fatherless

Hal ini hanya bisa berjalan ketika sistem IsIam kafah diterapkan oleh negara Khil4fah

________________

 

Penulis Santi Susanti

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI- Akhir-akhir ini fenomena fatherless kian marak di Indonesia. Ketiadaan peran ayah, baik secara biologis maupun psikis sangat berdampak pada anak-anak. Pemicunya adalah tekanan ekonomi yang membuat para ayah abai dalam pengasuhan. 


Menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2024, ada 15,9 juta anak atau 20,1% dari total 79,4 juta anak dengan usia kurang 18 tahun berpotensi mengalami fatherless. Sebanyak 4,4 juta anak tidak tinggal dengan ayah, dan ada 11,5 juta anak yang tinggal bersama ayah dengan jam kerja lebih dari 12 jam per hari sehingga waktu ayah lebih banyak diluar rumah. (Kompas.id, 10-10-2025) 


Adapun penyebab utama dari generasi fatherless adalah perceraian. Pada sisi lainnya adalah ayah bekerja di luar kota, ayah melakukan KDRT, dan fakta buruknya hubungan ayah dengan anak. Inilah yang menyebabkan anak tidak mempunyai kedekatan dengan ayah dan kurangnya komunikasi. 


Masyarakat dan para psikologi pun mulai merespons atas tingginya fenomena generasi fatherless. Banyak yang mulai mengkhawatirkan generasi fatherless makin lama akan bertambah. Memang tidak dimungkiri dalam sistem kapitalis saat ini, para ayah disibukkan dengan beban mencari nafkah untuk kebutuhan keluarga. Di mana kebutuhan nafkah ini makin lama semakin besar. Alhasil menyerahkan semua pengasuhan anak-anak kepada sosok ibu saja. 


Psikolog di Toraja, Sulawesi Selatan, Lindarda S Panggalo menyatakan bahwa anak yang tumbuh tanpa peran figur ayah akan tumbuh menjadi anak yang kurang percaya diri dan rentan menjadi korban kekerasan. (Kompas.id, 10-10-2025) 


Selain akibat kesibukan ayah dalam mencari nafkah, generasi fatherless juga lahir akibat dari serangkaian kebijakan, regulasi multi sektor, dan pengaruh sistemis. Di mana sistem kapitalisme telah mengesampingkan peran ayah dalam pendidikan dan pengasuhan anak. 


Mirisnya lagi, kebijakan dan penyebab fatherless justru berasal dari pemerintah. Padahal seyogyanya pemerintah adalah institusi yang seharusnya memberikan solusi bagi seluruh persoalan masyarakat. Akibat menerapkan sistem kapitalisme pada seluruh aspek, termasuk aspek ekonomi telah memaksa para ayah untuk bekerja lebih keras lagi. Bahkan harus mengambil pekerjaan tambahan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Pilihan ini berakibat waktu ayah tergerus untuk bekerja, tidak cukup waktu untuk anak, dan mengakibatkan  hilangnya fungsi qawwam dalam diri ayah.


Peran Penting Ayah dalam Pendidikan Anak


Dalam Islam ayah adalah kepala rumah tangga, pemimpin sekaligus pengurus rumah tangga. Sudah seharusnya ayah memiliki perwalian (wilayah) atas rumah tangga. 


Ayah memiliki perwalian atas anak-anaknya. Baik bagi anak yang masih kecil maupun yang sudah besar. Baik anak itu laki-laki maupun perempuan, terutama yang belum balig. Baik yang berkaitan dengan jiwa maupun harta. 


Tugas ayah tidak hanya dalam memberikan nafkah berupa sandang, papan, dan papan.Akan tetapi, ada tugas lain yang tidak kalah penting, yakni memberikan kasih sayang dan pendidikan untuk anak-anaknya. Kesibukan ayah dalam mencari nafkah tidak boleh memalingkan ayah dari tugas penting dalam mendidik anak. 


Peran ayah dalam pendidikan anak sama pentingnya dengan peran ibu. Bahkan Al-Qur'an menggambarkan peran penting ayah pada QS. Luqman ayat 17, (Luqman berkata): "Wahai anakku! Dirikanlah salat, suruhlah (manusia) berbuat yang makruf, dan cegahlah dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting."


Ayah berperan penting dalam penanaman tauhid, pembiasaan dalam ibadah, memberikan nasihat takwa,  pergaulan yang makruf, dan menjadi teladan dalam kepemimpinan. Untuk bisa menjalankan peran ayah ini, membutuhkan persiapan ilmu dan dukungan sistematis, salah satunya adalah dukungan dari negara. 


Negara harus menyediakan layanan publik secara murah atau bahkan gratis agar para ayah tidak stres memikirkan biaya pendidikan, kesehatan, energi, dan transportasi. Pikiran ayah tidak dibebani untuk membayar biaya maupun pungutan ini dan itu karena sudah ada jaminan dari negara. 


Ketika negara hadir dalam urusan publik, maka para ayah akan leluasa menjalankan perannya dalam pemberian nafkah. Hal ini ditopang dengan penerapan sistem ekonomi Islam yang akan melakukan pengelolaan SDA oleh negara. Dengan pengelolaan SDA ini dijamin akan mampu menyejahterakan rakyat dan rakyat bisa menikmati hasilnya. Negara Islam akan menjamin lapangan pekerjaan bagi para ayah sehingga mereka mampu memberikan nafkah secara makruf. Sistem Islam (Khil4fah) juga akan memberi santunan terhadap para ayah yang lemah, yang tidak mampu bekerja. 


Islam memang mewajibkan para ayah bekerja untuk menafkahi keluarga. Namun dalam sistem Islam, ayah tidak diforsir tenaganya demi mengejar materi. Di sisi lain, sistem pendidikan Islam telah membekali keluarga muslim dalam memahami konsep qanaah sehingga tidak menggebu-gebu mengejar dunia. 


Berbeda dengan sistem kapitalis, sistem Islam tidak menjadikan produksi sebagai ukuran kesejahteraan, pekerja tidak dieksploitasi untuk terus-menerus bekerja demi mengejar target produksi. Waktu untuk bekerja sudah tertakar berdasarkan pada konsep keadilan oleh pemberi kerja. Alhasil, para ayah memiliki banyak waktu untuk berkumpul bersama keluarga. 


Selain itu, negara Khilafah akan membangun infrastruktur yang berkualitas dan terencana. Pembangunan yang sesuai konsep tata kota islami sehingga memudahkan rakyat untuk menuju lokasi pekerjaan. Para ayah tidak akan kehabisan waktu di jalan hanya karena macet, jalan rusak, atau jauhnya lokasi kerja. 


Sistem Islam bertanggung jawab untuk menyiapkan para calon ayah. Setiap laki-laki akan dipahamkan dalam agama. Melalui lembaga pendidikan dengan kurikulum yang islami. Pendidikan ini ada yang formal maupun nonformal. Sarana pembelajaran bisa jadi di masjid-masjid oleh para ulama yang mampu dijangkau oleh seluruh rakyat, terkhusus para laki-laki. 


Materi yang diajarkan tidak hanya tentang parenting saja, tetapi lengkap seluruh aspek mendasar. Mulai dari akidah hingga persoalan fikih praktis, akhlak, dan adab. Semuanya diselenggarakan secara kontinue dan gratis. Sebagai bentuk tanggung jawab negara kepada rakyat. Semua biaya pendidikan ini ditanggung Baitulmal. 


Dengan demikian, upaya mengembalikan peran ayah sebagai pendidik anak akan menuntaskan fenomena fatherless. Hal ini hanya bisa berjalan ketika sistem IsIam kafah diterapkan oleh negara Khil4fah. Inilah solusi tuntas untuk menyelesaikan fenomena fatherless. Wallahualam bissawab. [EA/MKC]