Alt Title

Fatherless Melanda, Islam Solusi Nyata

Fatherless Melanda, Islam Solusi Nyata

 



Islam sebagai ideologi yang sahih memiliki konsep menyeluruh

untuk melejitkan peran ayah dalam keluarga

______________________________



Penulis Dewi Jafar Sidik 

Tim Media Kuntum Cahaya


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Kehadiran ayah dalam pengasuhan anak sama pentingnya dengan kehadiran ibu. Keduanya menjadi pilar utama pembentukan karakter anak melalui kasih sayang, keteladanan moral dan spiritual, serta pendidikan. Sayangnya, kini banyak anak Indonesia yang tumbuh dalam kondisi fatherless, yaitu ketiadaan peran ayah dalam pengasuhan anak, baik secara fisik maupun psikologis.


Fenomena fatherless disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya tuntutan pekerjaan yang membuat ayah berjauhan dari anak. Data Tim Jurnalisme Data Harian Kompas menunjukkan sebanyak 15,9 juta anak Indonesia berpotensi fatherless, atau sekitar 20,1 persen dari total 79,4 juta anak di bawah 18 tahun (berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional, Maret 2024). (voi.id, 11-10-2025)


Akar Masalah


Fenomena fatherless bukan hanya persoalan individu, tetapi juga akibat dari sistem kehidupan yang bercorak kapitalisme-sekularisme. Sistem ini menempatkan urusan dunia dan ekonomi di atas nilai-nilai spiritual dan moral. Sehingga banyak ayah yang terseret dalam kesibukan mencari nafkah tanpa keseimbangan peran dalam keluarga.


Akibatnya, generasi saat ini menghadapi berbagai krisis sosial seperti perundungan, tawuran remaja, judi online, pergaulan bebas, hingga penyalahgunaan narkoba. Semua ini merupakan gejala rusaknya sistem pendidikan dan sosial yang gagal membentuk manusia berkepribadian kokoh dan mulia.


Kerusakan generasi tidak bisa lagi dianggap masalah teknis atau kesalahan individu semata. Ini adalah kerusakan sistemis, yang bersumber dari ideologi sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Sistem ini telah mengabaikan peran keluarga, terutama ayah, sebagai fondasi utama pembentukan generasi.


Sekularisme Menjauhkan Peran Ayah


Kapitalisme sekuler mendorong masyarakat untuk mengejar materi dan status ekonomi. Para ayah seringkali terjebak dalam rutinitas mencari uang, hingga kehilangan waktu dan energi untuk membina keluarga. Ketidakhadiran ayah akhirnya menjadi hal biasa, bahkan dianggap lumrah.


Fenomena “ayah gagal” pun muncul, lelaki yang gagal menjalankan perannya sebagai pemimpin dan pendidik keluarga. Banyak anak tumbuh tanpa figur ayah yang kuat sehingga mereka mudah terbawa arus ide-ide liberalisme dan sekularisme dalam kehidupannya.


Di sisi lain, kemampuan ayah dalam menafkahi dan membimbing keluarganya sangat bergantung pada peran negara. Negara seharusnya menjamin tersedianya lapangan pekerjaan yang layak dan upah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Negara juga harus memberikan perlindungan bagi keluarga yang kehilangan kepala rumah tangganya. 


Namun demikian dalam sistem kapitalis, negara justru menanggalkan tanggung jawab sebagai pengurus rakyat. Pemenuhan kebutuhan pokok seperti pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan dibebankan kepada individu dan keluarga secara mandiri.


Keluarga sebagai Fondasi Generasi


Keluarga adalah lembaga terkecil dalam masyarakat dan merupakan awal pembentukan generasi. Ketahanan keluarga menentukan ketahanan bangsa. Keluarga dikatakan tangguh bila ayah sebagai kepala keluarga mampu memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani anggota keluarganya. 


Memang benar, ibu adalah kunci ketahanan keluarga. Namun, pintu menuju ketahanan itu berada di tangan ayah. Sejarah Islam membuktikan banyak tokoh besar seperti Shalahuddin al-Ayyubi dan Muhammad Al-Fatih lahir dari asuhan ayah dan ibu hebat yang mendidik mereka dengan nilai-nilai Islam.


Al-Qur’an pun menampilkan sosok ayah teladan dalam kisah Luqman al-Hakim, sebagaimana firman Allah Swt.: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya di waktu ia memberi pelajaran kepadanya, ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah kezaliman yang besar." (QS Luqman [31]: 13)


Ayat ini menggambarkan betapa pentingnya peran ayah dalam pendidikan akidah dan moral anak.


Islam Melejitkan Peran Ayah


Islam sebagai ideologi yang sahih memiliki konsep menyeluruh untuk melejitkan peran ayah dalam keluarga. Allah Swt. berfirman:


“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin (qawwam) bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS An-Nisa [4]: 34)


Ayat ini menunjukkan bahwa laki-laki memiliki tanggung jawab kepemimpinan dalam keluarga. Mereka wajib mendidik, melindungi, dan menafkahi keluarganya. Islam menyiapkan setiap laki-laki agar matang secara spiritual, moral, dan ekonomi untuk menjadi suami dan ayah yang bertanggung jawab.


Namun, peran ayah ini tidak akan optimal tanpa dukungan sistem yang tepat. Negara dalam Islam memiliki kewajiban menjamin peran ayah dapat dijalankan dengan baik. Negara menyediakan pendidikan berbasis akidah, menjamin kesejahteraan ekonomi, dan menciptakan lingkungan sosial yang menjaga peran keluarga.


Selain itu, negara juga memperkuat peran ibu sebagai pendamping utama dalam mendidik generasi. Dengan sinergi antara ayah, ibu, dan negara, ketahanan keluarga dan ketangguhan generasi dapat terbentuk dengan optimal.


Negara sebagai Penopang Ekonomi Keluarga


Dalam sistem Islam, negara memiliki tanggung jawab untuk menjaga akidah umat dan melindungi generasi dari pengaruh pemikiran asing. Pembinaan akidah dilakukan melalui sistem pendidikan Islam yang bertujuan melahirkan manusia beriman, bertakwa, dan berkepribadian Islam.


Dalam bidang ekonomi, negara mengelola sumber daya alam dengan sistem ekonomi Islam yang menolak riba, ketimpangan dan monopoli. Negara menjadi pelayan umat, menjamin kesejahteraan dan membuka lapangan kerja yang luas, khususnya bagi laki-laki sebagai kepala keluarga.


Negara juga bertugas memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar rakyat, tanpa membebankan sepenuhnya kepada individu. Dengan demikian, ayah tidak perlu bekerja berlebihan hingga mengabaikan keluarganya. Keluarga akan memiliki ekonomi yang kuat dan mandiri, karena negara menciptakan sistem yang adil dan produktif.


Sistem Perwalian dalam Islam


Islam juga memiliki sistem perwalian untuk menjaga anak-anak yang kehilangan orang tua atau tidak mendapat pengasuhan yang layak. Wali ditunjuk berdasarkan kriteria keadilan dan tanggung jawab, baik dari keluarga atau yang ditunjuk melalui wasiat.


Tugas wali bukan sekadar mengurus harta, tetapi juga memastikan anak mendapatkan pengasuhan yang baik, pendidikan yang benar, serta pemeliharaan jasmani dan rohani. Dengan sistem ini, tidak ada anak yang akan merasa kehilangan figur ayah, karena negara dan masyarakat Islam turut bertanggung jawab atas kesejahteraan mereka.


Kesimpulan


Fenomena fatherless merupakan gambaran dari lemahnya sistem kehidupan sekuler yang meminggirkan nilai-nilai Islam dari kehidupan keluarga dan masyarakat. Kapitalisme telah menciptakan manusia yang sibuk mengejar materi, sementara anak-anak kehilangan figur teladan.


Islam menawarkan solusi menyeluruh. Dalam sistem Islam, negara berperan aktif menegakkan nilai-nilai akidah, memastikan kesejahteraan ekonomi, memperkuat institusi keluarga, dan menjamin tumbuh kembang anak secara utuh. Ayah didudukkan sebagai pemimpin dan pendidik utama, ibu sebagai pendamping yang mulia, dan negara sebagai pelindung keduanya.


Dengan penerapan sistem Islam secara kafah, setiap anak akan mendapatkan kasih sayang, teladan, dan pengasuhan yang seimbang. Tidak ada lagi generasi yang kehilangan figur ayah, baik secara fisik maupun psikologis. Generasi Islam akan tumbuh menjadi pribadi kuat, berakhlak mulia, dan siap memimpin peradaban. Wallahualam bissawab.