Gedung Pendidikan Ambruk Jaminan Fasilitas Pendidikan yang Buruk
OpiniBeban tanggung jawab atas fasilitas pendidikan ditimpakan kepada rakyat
bukan ditanggung oleh negara
_________________________
Penulis Nafisusilmi
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Tragedi memilukan kembali mengguncang dunia pendidikan Indonesia. Gedung empat lantai Pondok Pesantren Al-Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur, ambruk saat para santri tengah melaksanakan salat Asar. Dalam hitungan detik, dinding dan beton runtuh, menimpa para santri yang sedang beribadah dengan khusyuk.
Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sekitar 160 korban, dengan 37 di antaranya meninggal dunia.(DetikNews.com, 5 -10- 2025)
Duka mendalam ini seakan menampar nurani kita bersama. Betapa rentannya fasilitas pendidikan di negeri ini.
Konstruksi Lemah Pengawasan Minim
Dugaan awal mengarah pada lemahnya struktur bangunan dan kurangnya pengawasan teknis. Namun, jika kita menelisik lebih jauh, permasalahan ini bukan semata soal teknis konstruksi, melainkan juga sistemik. Sebagaimana kita ketahui, banyak pondok pesantren di Indonesia dibangun secara swadaya.
Dana pembangunan berasal dari masyarakat yakni dari donatur, wali santri, atau lembaga sosial. Pemerintah bila pun hadir sering kali hanya dalam bentuk hibah terbatas atau bantuan formalitas semata. Akibatnya, kualitas bangunan bergantung pada kemampuan masyarakat, bukan pada standar keamanan dan mutu yang semestinya dijamin negara.
Di sinilah, akar persoalan mendasar. Beban tanggung jawab atas fasilitas pendidikan ditimpakan kepada rakyat, bukan ditanggung oleh negara. Peristiwa serupa sejatinya bukan hal baru. Beberapa tahun terakhir, berita mengenai atap sekolah negeri roboh atau bangunan ruang kelas ambruk sering kali menghiasi media. Semua menunjukkan satu pola yang sama lemahnya jaminan fasilitas pendidikan dan rendahnya prioritas terhadap keselamatan peserta didik.
Negara dan Amanah Pendidikan
Dalam perspektif Islam, pendidikan adalah salah satu pilar utama kehidupan beradab. Ia bukan sekadar proses transfer ilmu, melainkan amanah besar yang harus dijaga keberlanjutannya oleh negara. Rasulullah shalallahu alaihi wassalam bersabda: “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim.” (HR. Ibnu Majah no. 224)
Hadis ini menunjukkan bahwa menuntut ilmu adalah fardhu ‘ain bagi setiap muslim dalam urusan agama, dan fardhu kifayah untuk ilmu-ilmu kemasyarakatan seperti teknik, kedokteran, dan ekonomi. Karena kewajiban menuntut ilmu tidak akan sempurna tanpa adanya sarana yang memadai, negara wajib menyediakan dan menjamin fasilitas pendidikan yang aman serta layak.
Imam Al-Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sulthaniyyah menegaskan: “Termasuk tanggung jawab seorang imam (pemimpin) adalah mengangkat para pengajar dan menyediakan tempat belajar bagi rakyatnya.”
Artinya, penyediaan sarana pendidikan bukanlah tanggung jawab sukarela masyarakat, tetapi kewajiban negara. Pendidikan bukan barang dagangan, bukan pula proyek donasi, tetapi hak rakyat yang harus dijamin secara penuh.
Sistem Pembiayaan Pendidikan dalam Islam
Dalam sistem pemerintahan Islam, pembiayaan pendidikan diambil dari Baitulmal, kas negara yang dikelola untuk kemaslahatan umat. Sumber-sumbernya berasal dari harta kepemilikan umum, seperti tambang, energi, dan air; harta kepemilikan negara, seperti fai’, kharaj, jizyah, dan ganimah.
Dengan sistem keuangan ini, negara dapat menjamin pendidikan gratis, berkualitas, dan berkelanjutan tanpa membebani rakyat. Sejarah mencatat bahwa pada masa Khalifah Umar bin Khathab, negara menggaji guru-guru Al-Qur’an. Di masa Harun ar-Rasyid, berdirilah Bayt al-Hikmah di Baghdad (pusat riset, penerjemahan, dan pendidikan terbesar dunia Islam kala itu) yang seluruh operasionalnya dibiayai penuh oleh negara.
Bangunan-bangunan pendidikan di era tersebut bukan sekadar megah, tetapi juga tahan lama dan berstandar tinggi. Banyak peninggalan arsitektur Islam di Baghdad, Kairo, hingga Andalusia yang masih berdiri kokoh hingga kini menjadi bukti bahwa peradaban Islam dahulu menempatkan ilmu, keselamatan, dan mutu bangunan sebagai bagian dari ibadah dan tanggung jawab negara terhadap rakyatnya.
Etika Profesi dan Tanggung Jawab Teknisi
Islam juga menaruh perhatian besar pada profesi teknik dan konstruksi. Dalam istilah Arab klasik, dikenal istilah: Al-Banna: tukang bangunan atau pembangun, Al-Muhandis: insinyur atau ahli teknik, Al-Mi‘mar: arsitek atau perancang bangunan. Ketiganya memegang amanah besar dalam menjamin keselamatan dan kualitas bangunan.
Rasulullah shalallahu alaihi wassalam bersabda: “Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang apabila bekerja, ia menyempurnakannya (itqan).” (HR. Thabrani)
Hadis ini menjadi dasar etika profesional dalam Islam. Setiap pekerjaan, termasuk membangun gedung pendidikan, harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab, ketelitian, dan kejujuran. Mengabaikan aspek keselamatan berarti mengkhianati amanah dan bahkan dapat menimbulkan dosa besar jika mengakibatkan korban jiwa.
Karena itu, negara tak hanya wajib menyediakan dana, tetapi juga mengawasi para al-muhandis dan al-mi‘mar agar menegakkan standar keamanan sesuai syariat. Pengawasan bukanlah bentuk ketidakpercayaan, melainkan perwujudan dari prinsip Islam dalam menjaga jiwa (hifzh an-nafs) salah satu dari lima maqashid asy-syariah atau tujuan utama syariat Islam.
Pelajaran dari Peradaban Islam
Jika menengok sejarah, kita akan menemukan bukti betapa Islam memuliakan ilmu sekaligus menjamin keamanan fasilitas pendidikan.Pada masa peradaban Abbasiyah dan Andalusia, bangunan madrasah, perpustakaan, dan masjid dibangun dengan kualitas terbaik.
Arsitektur seperti Madrasah Al-Mustansiriyah di Baghdad (didirikan tahun 1233 M) hingga kini masih berdiri tegak, menjadi saksi bagaimana negara Islam kala itu memperlakukan pendidikan dengan keseriusan dan kemuliaan.
Bandingkan dengan kondisi saat ini: banyak gedung sekolah dan pesantren yang rapuh padahal sebagian proyek infrastruktur lain seperti gedung pemerintahan, jalan tol, atau stadion megah bisa dibangun dengan biaya besar dan pengawasan ketat. Di sinilah tampak ketimpangan prioritas, bahwa pendidikan belum sepenuhnya ditempatkan sebagai urat nadi pembangunan bangsa.
Saatnya Kembali pada Sistem yang Menjamin
Tragedi runtuhnya gedung pesantren ini seharusnya menjadi refleksi bersama, bukan sekadar untuk mencari siapa yang salah, tetapi untuk menata ulang paradigma kita terhadap tanggung jawab negara dalam pendidikan. Islam telah memberikan contoh nyata bagaimana sistem yang berlandaskan wahyu mampu menegakkan keadilan sosial, menjamin pendidikan berkualitas, dan melindungi keselamatan warganya.
Sudah saatnya kita bercermin pada warisan itu yakni menempatkan ilmu, keselamatan, dan kesejahteraan umat sebagai prioritas utama, bukan sekadar proyek sesaat. “Dan barang siapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 32)
Maka menjaga keselamatan fasilitas pendidikan bukan hanya tanggung jawab teknis, tetapi juga tanggung jawab negara. Negara hadir secara utuh, bukan sekadar pengamat, tetapi pelindung nyata bagi dunia pendidikan. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]


