Alt Title

BLT dan Program Magang Nasional Mampukah Menyolusi Kemiskinan dan Pengangguran?

BLT dan Program Magang Nasional Mampukah Menyolusi Kemiskinan dan Pengangguran?



Bantuan seperti BLT dan program magang bukan solusi mendasar seseorang

untuk mendapatkan hak hidup yang layak dan terpenuhinya kebutuhan mereka dan keluarganya

_________________________


Penulis Sinta Lestari 

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Literasi


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Kabarnya, Menko Perekonomian mengumumkan bahwa pemerintah telah menambah bantuan stimulus ekonomi berupa BLT sebesar Rp30 triliun untuk 35.046.783 KPM (Keluarga Penerima Manfaat) pada bulan Oktober, November, dan Desember 2025.


Tidak hanya itu, pemerintah juga akan mengadakan peluncuran program pemagangan nasional untuk 6000 calon pemagang di 1.300 posisi yang akan diajukan. Program ini dimulai pada 15 Oktober-Desember 2025. Program ini menarget lulusan Diploma (D1-D3) dan lulusan S1 yang lulusan maksimum 1 tahun terakhir. (Antara.com, 17-10-2025)


Solusi Tambal Sulam Ala Kapitalis


Menurut Sekjen Kemenaker, program ini bertujuan untuk mengenalkan dunia kerja, mampu meningkatkan kompetensi pemagang terkait bidang keilmuannya, dan memberikan pengalaman kerja bagi pemagang sehingga memiliki peluang untuk bekerja. (Pernyataan Sekjen Kemenaker Cris Kuntadi, dalam Siaran Pers Biro Humas di Jakarta, Minggu (5-10-2025)


Menariknya peserta magang yang lulus program tersebut akan memperoleh fasilitas uang saku (setara dengan upah minimum) yang dibayarkan pemerintah. Tidak hanya itu peserta magang pun akan mendapatkan jaminan dari pemerintah diantaranya, Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JM).


Terbukti program ini telah diikuti lebih dari 400 perusahaan dengan harapan bisa memberikan peluang usaha bagi rakyat yang berstatus berpendidikan tinggi. Juga bagian dari upaya pemerintah untuk mengantisipasi terjadinya pengangguran.


Namun, alih-alih membuka lapangan pekerjaan dengan memaksimalkan lulusan perguruan tinggi untuk masuk dalam industri dunia kerja. Solusi ini justru tidak menyentuh akar permasalahan sesungguhnya dari apa yang ditimbulkan sistem kapitalisme hari ini. Program ini hanya sekedar solusi praktis yang tidak menyentuh akar permasalahan kemiskinan dan pengangguran di Indonesia.


Stimulus ekonomi seperti bantuan pemerintah berupa BLT dan magang nasional merupakan bagian dari program percepatan (quick wins) yang itu sarat akan kepentingan dan asas manfaat di dalamnya. Kita bisa melihat seperti fenomena job hugging  yang terjadi dikalangan pekerja bukan sebab kurangnya bantuan pemerintah.


Namun, lebih pada kebijakan politik yang mempengaruhi sistem kerja dan penyediaan lapangan pekerjaan yang tidak mampu memberikan upah yang layak untuk para pekerja. Bantuan seperti BLT dan program magang bukan solusi mendasar seseorang untuk mendapatkan hak hidup yang layak dan terpenuhinya kebutuhan mereka dan keluarganya. 


Jadi, problem mendasarnya adalah kemiskinan dan pengangguran yang secara ekonomi kita mengalami yang namanya penguasaan di sektor-sektor rill industri dan perekonomian yang bebas tanpa batas di tangan para oligarki dan memiliki modal yang banyak menguasai sumber daya kita. Sedang negara hadir hanya sebatas sales penyedia pekerja yang memberikan upah minim sesuai dengan kebebasan para pemilik modal yang mengatur mekanisme sistem upah dan pasar.


Jelas ini merupakan budaya ala kapitalisme di mana tabiat dari sistem ini mengeruk manfaat sebanyak-banyaknya demi kepentingan segelintir orang. Tanpa mau memahami kondisi pekerja apalagi berupaya memberikan kesejahteraan secara merata bagi pekerja.


Hal ini mungkin saja wajar bagi para pengusaha yang hanya mementingkan keuntungan, dan tak wajar jika sikap pemerintah abai dan cenderung memuluskan kepentingan pribadi pemilik modal dengan meregulasi pekerja. Bukan sebagai penjamin lapangan pekerjaan. Solusi pemerintah hari ini hanya bersifat pragmatis-praktis. 


Solusi Kemiskinan dan Pengangguran 


Problematika kemiskinan dan penganggaran membutuhkan paradigma politik dan sistem berasakan syariat Islam. Upaya yang ditempuh bukan hanya sekadar solusi praktis dan percepatan. Namun, mampu menghadirkan rasa adil dan berprikemanusiaan.


Sebagai manusia yang memiliki hajat hidup dan kebutuhan pemerintah tidak bisa mengambil langkah-langkah pragmatis. Semua pertimbangan terhadap hak-hak pekerja, mekanisme kerja, dan mekanisme upah haruslah terperinci sesuai dengan kelayakan hingga terkategori pekerja dipekerjakan dengan tujuan mensejahterakan. Bukan sekadar dimanfaatkan tenaga dan skillnya dengan memberi kebijakan politik, seperti upah ala kadarnya. 


Ini merupakan aspek politik, mengatur urusan umat dengan memosisikan negara sebagai raain (pelayan umat) di antara kewajibannya adalah menjamin kebutuhan dasar rakyatnya per individu. 


Dalam Islam, sistem upah tidak hanya dilakukan peninjauan terhadap satu orang pekerja. Namun, ditinjau dari berapa anggota keluarga yang hidup bersama pekerja. Upah dibayarkan atas kesepakatan antar pekerja dan perusahaan. Tidak memaksa atau menggunakan kebijakan politik untuk menyelamatkan kepentingan pribadi. 


Pemerintah hadir sebagai penjamin kebutuhan rakyatnya bukan sebagai regulator yang memfasilitasi pemilik modal dan diserahkan secara bebas  untuk mengelola sumber daya alam negerinya. Dalam Islam, sistem kepemilikan terbagi menjadi tiga.


Pertama, kepemilikan negara di mana negara berhak mengelola sumber daya alam dan dirasa manfaatnya untuk seluruh rakyatnya. Di sinilah peran negara sebagai distributor untuk memastikan bahwa apa yang negara kelola mampu dirasakan manfaatnya merata adil untuk kesejahteraan rakyatnya. Alhasil, terbentuk tata kelola kelayakan alam yang itu berdampak bukan hanya ke segelintir orang.


Namun mampu memberikan rasa adil, aman, sejahtera bagi rakyatnya. Roda perekonomian pun berjalan lancar tanpa ada penimbunan, berlomba lomba mencari pekerjaan, bahkan bagi seorang ibu fokus mendidik anak-anaknya, sebab sudah terpenuhi kebutuhan dasarnya tanpa harus bekerja banting tulang membantu ekonomi keluarga.


Kedua, kepemilikan umum, seperti jalan raya, jalan tol, pelabuhan fasilitas yang dibangun negara untuk memudahkan aktivitas dan jalur perdagangan ekonomi dalam negeri yang itu dibangun dengan cuma-cuma, tanpa rakyat harus membayar fasilitas tersebut. Kepemilikan umum tidak boleh dikuasai swasta atau segelintir orang. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits Rasulullah saw., "Manusia berserikat pada tiga hal, air, api dan padang rumput. Dari ketiganya tidak boleh dimonopoli." (HR. Abu Dawud dan Ahmad) 


Ketiga, kepemilikan individu. Aspek hak memiliki tempat tinggal, pekerjaan yang itu harus terpenuhi bagi masing-masing individu. Negara tidak bisa mengambilnya atau menariknya dari rakyatnya. Karena itu hak mutlak bagi tiap individu. Justru negara harus hadir untuk bersinergi mewujudkannya.


Dalam sistem ekonomi Islam, negara memaksimalkan fungsi lahan, seperti pertanian, peternakan dan industri untuk senantiasa dikelola, tidak ada tanah kosong yang tidak produktif dalam Islam, setiap sumber daya harus dikelola negara atau individu, agar terjaga produktifitas dan  kelestariannya. 


Inilah sistem ekonomi Islam yang menerapkan nilai-nilai kebaikan memecah akar permasalahan mendasar kemiskinan dan pengangguran. Bukan hanya bagi segelintir orang tapi merata dan bisa dirasakan keadilannya bagi seluruh elemen masyarakat. Wallahualam bissawab. [GSM/MKC]