Alt Title

Zakat Bukan Pajak Membongkar Kekeliruan Kapitalisme

Zakat Bukan Pajak Membongkar Kekeliruan Kapitalisme



Dalam sistem Islam, pajak hanya dipungut sementara ketika kas negara (Baitulmal) kosong. 

Sementara zakat adalah pos tetap pemasukan negara yang telah diatur syariat


______________________


Penulis Ani Yunita

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Belakangan ini, masyarakat kembali dibuat gusar dengan kebijakan pemerintah yang semakin memperluas penarikan pajak. Mulai dari kenaikan PPN, PPh, lonjakan PBB yang bahkan bisa mencapai 1000 persen, hingga beban pajak bagi pedagang kecil. Semua ini muncul sebagai dampak dari Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 yang menargetkan pemasukan pajak sebesar Rp388 triliun.


Menurut laporan tempo.co (24-08-2025), RAPBN 2026 menargetkan penerimaan pajak naik 13,4 persen dari Rp2.076,9 triliun di tahun 2025 menjadi Rp2.357,7 triliun di 2026. Anggaran belanja negara sendiri dipatok Rp3.786,5 triliun, di mana sekitar Rp3.136,5 triliun (82,8 persen) akan dialokasikan untuk belanja pemerintah pusat. Adapun total penerimaan negara diperkirakan Rp3.147,7 triliun, dengan 85 persennya bersumber dari pajak.


Dari angka-angka tersebut jelas terlihat bahwa tulang punggung keuangan negara sepenuhnya bertumpu pada pajak rakyat. Sayangnya, pajak tidak hanya dikenakan pada kelompok kaya, tetapi membebani masyarakat miskin. Pertanyaan pun muncul, di mana hasil nyata dari pengelolaan sumber daya alam Indonesia yang begitu melimpah? Alih-alih meringankan beban rakyat, pemerintah justru menekan dengan pajak yang kian luas dan tinggi, sementara ekonomi masyarakat sedang sulit.


Sebagai alternatif, Center of Economic and Law Studies (Chelios) menawarkan opsi lain untuk menutupi target Rp388 triliun tanpa membebani rakyat kecil. Beberapa usulan antara lain pajak kekayaan bagi 50 orang terkaya Indonesia, pajak karbon, pajak produksi batu bara, pungutan sektor ekstraktif, pencabutan pajak kekayaan hayati, pajak digital, pajak warisan (sekitar Rp20 triliun), pajak atas kepemilikan rumah ketiga (sekitar Rp4,7 triliun), serta bea cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) yang diharapkan menekan potensi diabetes (cnnindonesia.com, 12-08-2025)


Namun, di tengah gelombang protes di berbagai kota akibat kebijakan kenaikan pajak ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani justru menimbulkan kontroversi baru. Dalam pidatonya di acara Sarasehan Nasional Ekonomi Syariah Refleksi Kemerdekaan RI 2025 (13-08-2025), ia menyamakan kewajiban membayar pajak dengan kewajiban zakat dan wakaf.


Dalam Islam, zakat dan pajak adalah dua hal yang berbeda, tidak bisa disamakan. Dalam sistem Islam, pajak hanya dipungut sementara ketika kas negara (Baitulmal) kosong. Itu pun hanya dari laki-laki muslim yang kaya, bukan dari yang miskin maupun non-Muslim dzimmi. Pajak juga ditarik hanya untuk kebutuhan mendesak, misalnya bencana besar atau layanan dasar publik yang krusial.


Sementara zakat adalah pos tetap pemasukan negara yang telah diatur syariat, baik persentase maupun batas nisabnya. Kaum miskin sama sekali tidak dibebani kewajiban zakat (kecuali zakat fitrah). Distribusinya pun terbatas hanya pada delapan asnaf sebagaimana ditegaskan Allah Subhanahu wa taala dalam QS. At-Taubah ayat 60 yang artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, para amil zakat, orang yang dilunakkan hatinya (muallaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” 


Dengan demikian, dana zakat tidak bisa dialihkan sesuka hati, apalagi untuk pembangunan infrastruktur negara. Berbeda dengan itu, dalam sistem kapitalisme, pajak dikenakan ke semua lini tanpa pandang bulu, bahkan rakyat miskin yang sudah kesulitan hidup sekalipun. Ironisnya, para pejabat kaya justru kerap mendapat keringanan hingga tax amnesty, sementara rakyat biasa dipaksa patuh membayar.


Pajak di negeri kapitalis dijadikan sumber utama kas negara dengan dalih pembangunan dan kesejahteraan. Akan tetapi, kenyataan di lapangan justru sebaliknya rakyat makin terimpit sebab kapitalisme membiarkan kekayaan alam dikuasai swasta dan asing, sehingga hasilnya lebih banyak dinikmati pemilik modal ketimbang rakyat. Tak heran kesenjangan sosial-ekonomi semakin lebar.


Dalam Islam, keuangan negara tidak bergantung pada pajak. Sumber utamanya berasal dari pengelolaan penuh terhadap sumber daya alam tambang, hutan, laut, minyak, gas, batu bara, dan lainnya yang wajib dikuasai negara. Keuntungan dari pengelolaan SDA itu langsung masuk kas negara dan digunakan untuk kepentingan rakyat, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.


Oleh karena itu, untuk benar-benar menjamin kesejahteraan rakyat, dibutuhkan penerapan sistem ekonomi Islam secara menyeluruh. Sistem ini menegaskan bahwa negara berkewajiban memenuhi kebutuhan pokok setiap individu, memberikan pendidikan dan layanan kesehatan gratis, serta melarang kebijakan yang menzalimi rakyat dengan beban pajak. Hanya dengan cara ini rakyat dapat merasakan keamanan, keadilan, dan kesejahteraan yang sesungguhnya. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]