Waspadai Penyelewengan Pendistribusian Zakat
AnalisisDalam Islam, zakat bukanlah instruksi moral apalagi dengan diberikan penghargaan-penghargaan
Zakat adalah kewajiban syariat yang diatur langsung oleh negara
_________________________
Penulis Haova Dewi
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Kembali Bupati Bandung HM Dadang Supriatna menerima penghargaan Baznas Award atas prestasinya sebagai kepala daerah yang mendukung gerakan Zakat, Infak dan Sedekah (ZIS). Setelah tahun lalu Kang DS juga menerima penghargaan serupa atas keberhasilannya yang mampu mendorong pengumpulan ZIS dimana manfaat dan gunanya sangat dirasakan di tengah-tengah warga. (Mercure Ancol Jakarta, Kamis, 28 Agustus 2025)
Tidak hanya kepada Kang DS saja, kepengurusan Baznas RI di akhir masa jabatannya memberikan juga ratusan penghargaan kepada para pemimpin daerah, Baznas Provinsi, Baznas kabupaten/kota dan perusahaan yang mendukung gerakan zakat.
Pada awal tahun 2024 Kang DS menginstruksikan kepada para ASN agar membayarkan zakatnya dari gaji dan tunjangan kinerja (tukin) secara bruto sebesar 2,5 persen apabila penghasilannya sudah mencapai nisab Rp6,8 juta per bulan. Sedangkan bagi ASN maupun P3K yang belum memenuhi nisab bisa dengan membayarkan infaknya.
Instruksi lain berkaitan dengan para pengusaha yang mendapatkan proyek didanai APBD Kabupaten Bandung juga diharapkan membayar zakat 2,5 persen dari keuntungan bersihnya.
Penghargaan yang sama juga diberikan oleh Baznas kepada mitra Baznas seperti lembaga serta pemerintah daerah, juga tokoh pendukung internasioana yaitu CEO PPZ Malaysia, tokoh ulama penggerak zakat dan cedikiawan muslim yang dipandang telah berhasil dan mendukung serta mendorong pengumpulan ZIS. (KAB.BANDUNG, Potensinetwork.Com, 28-08-2025)
Pandangan Sistem Kapitalis dalam Pengelolaan Zakat
Dalam sistem kapitalis, kerangka yang dibangun adalah keuntungan berupa materi. Maka ketika ada potensi ekonomi pada sebagian syariat Islam berupa zakat, infak, sedekah tak perlu pikir panjang lagi mereka akan mengeruk keuntungan ekonomi dari potensi tersebut. Di dalam sistem kapitalis, zakat, infak dan sedekah menjadi salah satu instrumen yang sangat penting untuk laju kembangnya pembangunan, termasuk pemberdayaan ekonomi umat. Zakat, infak dan sekadar dipandang sebagai salah satu solusi bagi pengentasan kemiskinan.
Tentu saja hal tersebut merupakan bentuk lepas tangannya negara dalam menyejahterakan rakyatnya. Maka tidak mengherankan kalau pemerintah memberikan penghargaan demi penghargaan kepada elemen-elemen yang dinilai telah berhasil mempromisikan zakat, infak, dan sedekah.
Tidak ada makan siang gratis tentunya, penghargaan-penghargaan tersebut diberikan tentu saja karena bupati-bupati yang berwenang mau mengumpulkan dana dari masyarakat untuk membiayai berbagai program pembangunan. Padahal meski dikatakan zakat, tetapi ternyata tata cara pemungutan dan pendistribusiannya masih jauh dari ketentuan syariat. Contoh pada pasal 27 UU 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat. Di sana disebutkan bahwa zakat dapat digunakan untuk usaha produktif dalam penanganan fakir miskin dan peningkatan kualitas umat.
Atas dasar ketentuan tersebut maka muncullah zakat produktif, agar para mustahik berdaya untuk mengentaskan kemiskinannya. Tidak hanya itu saja, banyak program-progran yang digulirkan untuk pemberdayaan ekonomi melalui zakat produktif yang dilakukan kemenag bekerja sama dengan Baznas, di antaranya adalah kampung zakat di beberapa daerah terpilih yaitu daerah tertinggal, terdepan, terluar.
Dalam program tersebut masyarakat yang berpenghasilan rendah, mereka akan dibina dan kemudian diberdayakan dengan zakat, infak dan sedekah tersebut (ZIS). Pemberdayaan tersebut meliputi bidang ekonomi, Pendidikan, pembinaan keagamaan, kesehatan, dan sosial kemanusiaan. Alhasil tata kelola zakat sebagai dana produktif mampu mendatangkan nilai tambah bagi kesejahteraan masyarakat serta mampu mengentaskan kemiskinan di tengah-tengah masyarakat.
Bahaya Penyesatan Makna Pengelolaan Zakat dalan Sistem Kapitalis
Fatwa ulama dan cendikiawan muslim yang berpandangan moderat menjadi rujukan dalam pengelolaan zakat dalam sistem kapitalis. Para mustahik (sebagai penerima zakat) dipeluas maknanya dengan alasan menyesuaikan kontekstual saat ini. Contoh makna “fii sabilillah“, bukanlah jihad dengan makna berperang melawan musuh akan tetapi jihad adalah bermakna sungguh-sungguh untuk mencapai kebaikan. Maka boleh zakat diberikan kepada siswa yang bersungguh-sungguh belajar dan berprestasi dengan bentuk beasiswa, pembangunan sekolah, madrasah, UMKM, pembangunan masjid, dan fasilitas lainnya untuk kebaikan.
Hal tersebut tentunya bentuk penyesatan pemahaman terkait zakat dan apa-apa yang melingkupinya sehingga menjauhkan umat dari pemahaman Islam yang sahih tentang makna zakat.
Pengelolaan Zakat dalam Sistem Islam
Dalam Islam, zakat bukanlah instruksi moral apalagi dengan diberikan penghargaan-penghargaan. Zakat adalah kewajiban syariat yang diatur langsung oleh negara. Sejak masa Rasulullah saw., beliau sebagai kepala negara di madinah pun melakukan aktivitas pengaturan harta (termasuk zakat) di baitul mal, kemudian dilanjutkan oleh para khalifah setelah wafatnya beliau. Para Khalifah memungut zakat secara resmi dengan mengangkat amil zakat yang ditugaskan untuk memungutnya.
Zakat yang dipungut dari para muzzaki berdasarkan ketentuan syariat saja, baik jenis maupun besarannya. Karena zakat merupakan kewajiban bagi setiap individu muslim yang telah memiliki harta tertentu dan telah sampai pada nisabnya (batas harta yang wajib dikeluarkan zakatnya), serta haulnya (dimiliki selama satu tahun), maka ragam jenis harta yang wajib dikeluarkan zakatnya pun telah ditetapkan oleh syariat, seperti zakat ternak, zakat hasil pertanian, nuqud (mata uang) emas, dan perak, kemudian zakat harta perdagangan.
Tidak hanya mengatur pengumpulan zakat saja, Islam pun menetapkan bahwa negara bertanggung jawab penuh terhadap penyaluran zakat berdasarkan ketetapan syariat. Negara Khil4fah mengatur teknis penyaluran zakat serta memastikan agar tidak keluar dari ketentuan syariat yaitu orang-orang yang berhak menerima zakat hanya pada delapan golongan saja.
Allah Subhanahu wa taala berfirman,
“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah [9]: 60)
Ayat yang mulia ini telah membatasi dan mengkhususkan pos-pos (pengeluaran) zakat hanya pada delapan golongan saja, oleh karena itu, zakat tidak boleh dipergunakan untuk mendirikan masjid, membangun rumah sakit, sekolah, jembatan, atau sarana-sarana umum lainnya dan kepentingan negara maupun umat yang lainnya. Itu karena zakat khusus hanya milik delapan golongan tersebut saja yaitu, 1) Fukara (orang-orang fakir), 2) Masakin (orang-orang miskin), 3) Amilin , 4) Mualaf, 5) Riqab,6) Gharimin, 7) fii sabilillah 8) Ibnu sabil.
Amil zakat akan mengumpulkan harta zakat kemudian menyimpannya di Baitulmal lalu mendistribusikan zakat tersebut kepada delapan golongan secara keseluruhan atau salah satu dari delapan golongan tersebut sesuai dengan arah dan kebijakan khalifah dalam rangka untuk kemaslahatan mereka.
Dalam sistem Khil4fah, negara bertanggung jawab secara penuh untuk mewujudkan kesejahterakan rakyatnya, dengan mekanisme pendanaan yang telah ditetapkan oleh syariat. Selain zakat ada mekanisme lain yang ditetapkan oleh syariat untuk mengentaskan kemiskinan, yaitu pengelolaan sumber daya alam oleh negara secara mandiri tanpa melibatkan investor asing, apalagi menyerahkan pengelolaannya kepada mereka seperti yang dilakukan oleh negara dalam sistem kapitalis sekarang ini.
Dari semua itu nampak jelas bahwa Khil4fah Islam benar-benar mengelola zakat dengan paradigma pelayanan yang sempurna kepada rakyatnya, sehingga pelaksanaan zakat sebagai ibadah maliyah ini, dapat mereka tunaikan secara baik sesuai dengan tuntunan syariat islam. Wallahualam bissawab. [GSM/MKC]


