Tunjangan Fantastis DPR: Kemewahan di Atas Derita Rakyat
OpiniSistem demokrasi kapitalis
melahirkan kebijakan yang menyakiti rakyat
___________________________
Penulis Fatimah Al Fihri
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINl- Masyarakat Indonesia kembali dikejutkan dengan kabar bahwa anggota DPR bisa mengantongi penghasilan lebih dari Rp100 juta per bulan. Jumlah ini berasal dari gaji pokok sekitar Rp16 juta ditambah aneka tunjangan bernilai besar, mulai dari tunjangan rumah, komunikasi, hingga fasilitas lain yang kerap luput dari sorotan publik. (BeritaSatu.com, 12-02-2025)
Lebih mengejutkan lagi, selain tunjangan rumah yang mencapai Rp50 juta, anggota DPR juga masih menerima tunjangan bensin Rp7 juta serta tunjangan beras Rp12 juta per bulan. (Tempo.com, 15-02-2025)
Sungguh ironis, di saat masyarakat harus antre membeli beras murah, para wakil rakyat justru mendapat tunjangan beras sebagai fasilitas rutin. Tak heran, banyak pihak menilai gaji dan tunjangan fantastis tersebut “melukai hati rakyat” dan sama sekali tidak sepadan dengan kinerja DPR yang justru sering mengecewakan. (BBC.com, 14-02-2025)
Sementara buruh hidup dengan upah Rp3–4 juta per bulan, petani menjerit karena biaya pupuk mahal dan pedagang kecil tercekik dengan mahalnya biaya hidup, para legislator bisa hidup dalam kenyamanan serba terjamin.
Kesenjangan yang Menyengsarakan
Fakta ini menunjukkan satu hal, yakni kesenjangan antara rakyat dan wakil rakyat yang begitu mencolok. Di atas kertas, DPR adalah lembaga perwakilan yang seharusnya menjadi penyambung lidah rakyat. Namun dalam praktiknya, kursi itu lebih mirip gerbang menuju kemewahan.
Fenomena ini bukan kebetulan, melainkan buah dari sistem demokrasi kapitalisme itu sendiri. Dalam sistem ini, kesenjangan adalah keniscayaan. Politik transaksional sulit dihindari karena materi dijadikan tujuan utama. Seorang caleg mengeluarkan biaya miliaran untuk kampanye, membeli citra, bahkan “membeli” suara. Semua itu dianggap wajar karena politik dipahami sebagai investasi. Setelah duduk di kursi parlemen, logis jika orientasinya adalah mengembalikan modal dan mencari keuntungan lebih.
Apalagi mereka punya kewenangan untuk menentukan anggaran bagi dirinya sendiri. Bagaimana mungkin rakyat bisa berharap adil, jika yang berwenang mengatur justru para penerima fasilitas itu sendiri? Ini jelas conflict of interest. Tak ada mekanisme pengontrol yang benar-benar melindungi kepentingan rakyat. Dalam sistem demokrasi rakyat hanya dibutuhkan suaranya saat pemilu, lalu dilupakan ketika kekuasaan sudah digenggam.
Dengan demikian, kesenjangan antara rakyat dan wakil rakyat bukanlah anomali politik, melainkan sesuatu yang melekat dalam demokrasi kapitalisme. Selama sistem ini dipertahankan, rakyat akan selalu dizalimi oleh elite yang menguasai kursi kekuasaan.
Jabatan yang Hilang Makna
Lebih parah lagi, kursi parlemen telah direduksi menjadi alat memperkaya diri. Bukannya menjalankan amanah, wakil rakyat justru sibuk memperjuangkan kenyamanan hidupnya. Empati pada rakyat makin menipis.
Bayangkan, bagaimana seorang legislator bisa memahami beratnya hidup rakyat kecil jika setiap bulan ia menerima tunjangan rumah Rp50 juta, bensin Rp7 juta, dan beras Rp12 juta? Harga beras yang melonjak mungkin hanya angka statistik baginya, sementara bagi rakyat jelata itu adalah derita nyata. Inilah yang dimaksud dengan hilangnya empati karena hidup mereka sudah terlalu jauh dari realitas rakyat yang diwakili.
Dalam jangka panjang, pola ini melahirkan “kelas politik” yang terpisah dari rakyat. Mereka hidup di dunia berbeda, dengan gaya hidup berbeda, dan kepentingan yang sering tidak lagi menyentuh kebutuhan dasar rakyat. Kursi wakil rakyat pun kehilangan makna sejatinya, bukan lagi amanah, melainkan fasilitas.
Paradigma Islam yang Berbeda
Islam menawarkan paradigma berbeda. Dalam Islam, asas kehidupan adalah akidah Islam, bukan sekularisme atau akal manusia yang syarat kepentingan. Dengan asas ini, seorang wakil umat bukanlah pembuat undang-undang atau pemilik fasilitas, melainkan penyambung aspirasi rakyat dan pengawas jalannya pemerintahan agar sesuai dengan syariat.
Maka, tidak ada ruang bagi wakil umat untuk menentukan gaji atau tunjangannya sendiri. Pengelolaan harta publik diatur ketat dalam syariat. Dana negara diprioritaskan untuk kemaslahatan umat, pendidikan, kesehatan, keamanan, dan kebutuhan pokok rakyat. Jabatan dalam Islam bukanlah jalan menuju kemewahan, melainkan jalan menuju tanggung jawab besar di hadapan Allah.
Jabatan Adalah Pertanggungjawaban di Hadapan
Setiap jabatan dalam Islam adalah amanah yang kelak akan dihisab di akhirat. Rasulullah ﷺ bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.”
Hadis ini menegaskan bahwa jabatan bukan sekadar posisi politik, tetapi beban moral dan spiritual.
Dengan kesadaran ini, seorang wakil umat tidak mungkin menggunakan jabatan untuk memperkaya diri. Ia tahu bahwa setiap rupiah yang diambil tanpa hak, setiap fasilitas yang tidak sesuai kebutuhan, akan menjadi beban di hari perhitungan. Hanya iman dan takwa yang menjaga agar mereka selalu terikat pada syariat, bukan pada nafsu duniawi.
Kepribadian Islam: Kunci Wakil Umat
Islam juga menekankan kepribadian Islam pada setiap individu, termasuk pejabat. Pola pikir dan pola sikap mereka harus dibentuk oleh iman dan syariat. Dengan begitu, mereka akan menjalankan tugas dengan semangat fastabiqul khairat berlomba-lomba dalam kebaikan.
Sejarah mencatat, Umar bin Khattab sebagai khalifah hidup dengan kesederhanaannya. Membuktikan bahwa pejabat dalam sistem lslam adalah sebagai raa'in/ pengurus. Beliau sering berkeliling untuk melihat kondisi kehidupan rakyatnya secara langsung. Ketika seorang gubernur hidup mewah, Umar segera memecatnya karena dinilai tidak layak memimpin. Inilah teladan yang lahir dari keimanan dan kepribadian Islam, jabatan bukan sarana memperkaya diri, tetapi sarana melayani rakyat dengan penuh tanggung jawab.
Solusi yang Hakiki
Kericuhan terkait tunjangan DPR sejatinya hanyalah salah satu permasalahan yang lahir dari sistem demokrasi kapitalis. Kesenjangan struktural, politik transaksional, dan hilangnya empati pejabat pada rakyat. Selama sistem ini dipertahankan, kasus serupa akan terus berulang dengan wajah yang berbeda.
Islam memberikan jalan keluar yang hakiki. Dengan asas akidah, syariat sebagai pedoman, dan keimanan sebagai benteng moral, jabatan kembali pada fitrahnya, yakni amanah. Wakil umat dalam Islam tidak akan hidup di atas penderitaan rakyat, karena ia sadar semua kebijakan dan fasilitas yang digunakannya akan dihisab oleh Allah.
Inilah solusi yang nyata, mengubah paradigma kepemimpinan dari demokrasi kapitalis yang melahirkan kesenjangan, menuju sistem Islam yang menjadikan jabatan sebagai amanah untuk menegakkan keadilan dan melayani umat. Wallahualam bissawab. [Luth/MKC]