Solusi Dua Negara: Kabar Gembira atau Petaka?
OpiniResolusi dua negara terdengar manis, tetapi kenyataannya pahit
Ia hanya jebakan politik yang meninabobokan umat
_________________________
Penulis Mommy Hulya
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Majelis Umum PBB baru saja mengesahkan resolusi solusi dua negara untuk konflik Isra*l-P4lestina. Sidang pada 12 September 2025 menghasilkan 142 suara mendukung, 10 menolak — termasuk Isra*l dan Amerika Serikat — serta 12 abstain.
Reuters menyebut momen ini sebagai dorongan besar menuju pengakuan internasional atas solusi dua negara. Sekilas, keputusan ini tampak menjanjikan. Banyak yang berharap Palestina segera merdeka dan rakyat Gaza keluar dari penderitaan panjang. (Detik.com, 13-09-2025)
Namun, apakah benar demikian? Di balik resolusi itu ada syarat: H4mas diminta menyerahkan otoritas kepada P4lestina di bawah pengawasan internasional. Al Jazeera menulis bahwa Isra*l menolak resolusi tersebut.
Kita pun tahu PBB selama ini tidak pernah mampu menundukkan Isra*l. Berkali-kali hanya mengeluarkan kecaman, tanpa tindakan tegas. Lebih ironis lagi, dunia lebih sering mengungkit serangan H4mas 7 Oktober 2023, seolah melupakan bahwa itu adalah bentuk perlawanan terhadap penjajahan. Bukankah Isra*l yang sejak awal merampas tanah P4lestina?
Janji Palsu dan Resolusi yang Mandul
Sejarah membuktikan, hampir semua resolusi PBB soal P4lestina berakhir tanpa hasil. Resolusi 242 tahun 1967 dan Resolusi 338 tahun 1973 menyerukan penarikan Israel dari tanah jajahan. Kenyataannya? Hingga kini pendudukan tetap berlangsung. WAFA mencatat, resolusi hanya menjadi dokumen indah di atas kertas tanpa konsekuensi nyata.
Penyebab utamanya jelas: Amerika Serikat. Negara itu terlalu sering menggunakan hak veto untuk melindungi Isra*l. Jadi wajar bila publik meragukan efektivitas resolusi kali ini.
Lebih dari itu, solusi dua negara berpotensi membuat P4lestina makin terpecah. Wilayahnya akan terfragmentasi menjadi kantong-kantong kecil, terisolasi, seperti pulau-pulau tanpa jembatan. Apa gunanya sebuah negara jika udara, perbatasan, dan keamanannya tetap dikendalikan pihak lain? Itu bukan kemerdekaan, melainkan ilusi.
G4za: Luka yang Tak Pernah Sembuh
Sementara itu, penderitaan G4za masih jauh dari kata usai. Anadolu Agency melaporkan lebih dari 65 ribu jiwa syahid sejak agresi Isra*l dimulai pada 7 Oktober 2023, dengan 166 ribu orang lainnya luka-luka. Angka itu bukan sekadar statistik, melainkan wajah-wajah manusia: anak, ibu, ayah, orang tua. Lebih dari 360 orang meninggal karena kelaparan, termasuk 130 anak. Bayangkan, anak-anak mati bukan karena peluru, tetapi karena perut kosong.
WHO menegaskan G4za Utara telah memasuki fase kelaparan. Tragisnya, sekitar 2.300 warga P4lestina tewas saat berebut bantuan kemanusiaan. Dunia modern, abad ke-21, tetapi orang masih mati hanya karena ingin sekadar makan.
Allah ﷻ berfirman:
> وَمَا لَكُمْ لَا تُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ
“Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah, baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak...” (QS. An-Nisa: 75).
Ayat ini seakan berbicara langsung kepada kita. Apakah kita rela membiarkan mereka sendirian?
Jejak Sejarah Pembebasan P4lestina
P4lestina pernah bebas, bukan karena PBB, tetapi karena kepemimpinan Islam. Khalifah Umar bin Khattab membebaskan Al-Quds tanpa pertumpahan darah, bahkan menjamin keselamatan penduduknya. Ratusan tahun kemudian, Shalahuddin al-Ayyubi mengusir tentara Salib dengan keberanian dan kepemimpinan.
Mereka tidak menunggu resolusi. Mereka memimpin dengan iman. Rasulullah ﷺ bersabda:
> إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
“Sesungguhnya imam (khalifah) itu laksana perisai, di belakangnya kaum Muslimin berperang, dan dengan dirinya mereka berlindung.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menegaskan betapa pentingnya pemimpin yang melindungi umat.
Khil4fah: Bukan Mimpi tetapi Kenyataan
Dari sini jelas solusi dua negara hanyalah fatamorgana. P4lestina tidak akan merdeka bila masih tunduk pada skenario Barat. Hanya dengan kembali pada Islam kafah, umat memiliki kekuatan politik, militer, dan persatuan untuk benar-benar membebaskan tanah suci.
Khil4fah Islamiah selama lebih dari 13 abad pernah menjaga peradaban. Andalusia, Baghdad, hingga Al-Quds berada dalam naungan Islam. Warga non-muslim mendapatkan hak-haknya secara adil, sebagaimana dicatat banyak sejarawan Barat. Itu bukan utopia. Itu sejarah.
Maka, sampai kapan kita berharap pada PBB atau Amerika Serikat? Bukankah sejarah dan kenyataan sudah cukup menunjukkan kegagalannya?
Penutup
Resolusi dua negara terdengar manis, tapi kenyataannya pahit. Ia hanya jebakan politik yang meninabobokan umat. Fakta hari ini, ditambah sejarah panjang kegagalan resolusi, sudah cukup membuka mata kita.
P4lestina bukan sekadar sebidang tanah. Ia simbol kehormatan umat. Membebaskannya bukan isu regional, tetapi kewajiban kolektif.
Kini saatnya bangkit. Saatnya bersatu. Saatnya bergerak. Dengan Khil4fah, kemerdekaan sejati bukan sekadar harapan, melainkan janji yang bisa diwujudkan. Wallahualam bissawab. [GSM/MKC]


