Alt Title

Perang Sudan dan Kepentingan Imperialisme Amerika

Perang Sudan dan Kepentingan Imperialisme Amerika



Segala kekacauan yang menimpa Sudan akibat dari hilangnya kekuasaan Islam

Menjadikan negeri-negeri kaum muslim sebagai santapan keserakahan para pemimpin imperialis barat, khususnya Amerika


_________________________


Penulis Caca

Kontributor Kuntum Cahaya


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Timur Tengah wilayah kaya akan minyak dan sumber daya alam. Tak terkecuali benua Afrika, tepatnya Sudan. Negara di benua hitam yang menyimpan cadangan energi yang terbarukan, khususnya energi surya. Begitu pun, kekayaan yang tersimpan di perut bumi, seperti pertanian dan ekspor minyak yang menjadi sumber pendapatan utama negara. 


Dilihat dari letak geografisnya, Sudan mempunyai letak yang strategis mampu menopang perdagangan internasional. Sudan berada di Afrika Timur Laut menjadikan penghubung antara benua Afrika dan Timur Tengah. Memiliki garis pantai laut merah. Jalur ini merupakan salah satu jalur maritim tersibuk di dunia. Sudan memiliki posisi pertemuan di antara sungai Nil putih di Khartoum, dan sungai Nil biru yang kemudian membentuk sungai Nil.


Tentu dengan potensi sumber daya alam yang melimpah dan posisi yang strategis menjadikan Sudan sebagai incaran negara Barat. Begitu pun keadaan saat ini, konflik kudeta, dan perebutan kekuasaan, tidak bisa dilepaskan dari kepentingan Barat yang selalu ingin menjadikan negara boneka di bawah kendalinya. Tak sedikit, dampak dari konflik yang berkepanjangan di Sudan menimbulkan gelombang bencana kelaparan, pemerkosaan, dan krisis kemanusiaan yang makin luas. 


Komite Penyelamatan Internasional (IRC) menganalisis negara-negara mana yang paling mungkin mengalami krisis kemanusiaan baru atau yang memburuk. Untuk tahun kedua berturut-turut, Sudan berada di puncak daftar karena keruntuhan negara itu makin cepat di tengah perang saudara yang brutal dan berdampak buruk pada warga sipil.


Sebelum perang meletus pada April 2023, Sudan telah mengalami krisis kemanusiaan parah yang menyebabkan 15,8 juta orang membutuhkan bantuan kemanusiaan. Perang selama dua tahun telah memperburuk kondisi ini, menyebabkan lebih dari 12 juta orang mengungsi dan 30,4 juta orang—lebih dari separuh populasi Sudan—membutuhkan bantuan kemanusiaan.


Sudan kini menjadi krisis pengungsian terbesar dan tercepat di dunia. Krisis ini juga merupakan krisis kemanusiaan terbesar yang pernah tercatat. (rescu.com, 24-07-2025)


Awal Mulai Konflik 


Dalam sejarahnya, Sudan merupakan negara yang tidak pernah sepi dari konflik internal yang syarat akan kepentingan dunia internasional, khususnya negara adidaya Amerika. Seperti keadaan saat ini, perang yang meletus pada 15 April 2025 masih berlangsung hingga saat ini. 


Hal ini diklaim sebagai perebutan kekuasaan militer. Perang yang melibatkan dua kekuatan militer, antara Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) yang merupakan angkatan militer negara di bawah kendali panglima militer Abdel Fatah Al Burhan. Melawan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) paramiliter yang dipimpin oleh Muhamed Hamdan atau yang lebih dikenal dengan "Hemedti". 


RSF merupakan kelompok yang terdiri dari kalangan sipil yang dipersenjatai oleh negara. Awal pembentukan untuk memberantas pemberontak yang melawan negara. RSF dipimpin oleh Hemedti yang awalnya merupakan tangan perpanjangan negara untuk mengatasi permasalahan pemberontak di Darfur.


Di mana negara tidak mampu mengakses wilayah tersebut untuk segara diatasi. RSF dibentuk untuk mampu melindungi kepentingan negara dari ancaman pemberontak. Akan tetapi, Jenderal Burhan dan Jenderal Dagalo tidak sependapat mengenai arah negara ini dan usulan langkah menuju pemerintahan sipil.


Politik Kepentingan Amerika 


Sejatinya, perang yang telah berlangsung beberapa tahun ke belakang tidak bisa dilepaskan dari intervensi Amerika yang ingin menguasai kekayaan alam dan posisi strategis Sudan. Kedua pemimpin militer yang dulu berteman merupakan partner dalam mencapai kepentingan politik. Sesungguhnya mereka adalah agen Amerika yang bertugas untuk menjadi tangan perpanjangan imperialis. Sebelumnya pemimpin Sudan adalah Omar Basyir yang dilengserkan oleh kudeta merupakan pemimpin yang sudah tidak layak dipertahankan Amerika. 


Alhasil, kedua jenderal yang sedang bertikai ini saling berebut kekuasaan. Siapa pun pemenangnya mereka adalah antek Amerika yang dipersiapkan untuk melanjutkan kepentingannya. Walaupun dalam perjalanannya saat ini dengan adanya kudeta kekuasaan, rakyat Sudan seolah-olah mengalami transisi ke pemerintah sipil yang lebih adil. Akhirnya, menimbulkan kekacauan yang luar biasa. 


Besar kemungkinannya apabila transisi hal ini terjadi, memungkinkan celah negara Eropa dan Inggris menancap pengaruhnya dan memberikan intervensi, menguasai sumber daya alam Sudan. Kekayaan Sudan yang sangat besar adalah lumbung pemasukan bagi negara-negara Eropa.


Tentu hal ini yang akan menggeser posisi Amerika di Sudan. Faktanya, siapa pun pemenangnya Amerika sudah mengondisikan pemimpin Sudan yang akan mengamankan kepentingannya. Walaupun rakyat Sudan menjadi taruhan, Amerika tidak pernah peduli dengan dampak yang telah ditimbulkan akibat dari hegemoni penjajahnya.


Berharap Kepada Islam 


Segala potensi Sudan adalah anugerah pemberian Allah Swt. yang diberikan kepada umat Islam untuk dikelola sesuai aturan Allah Swt.. Namun, segala potensi itu menjadi bencana apabila kita mengabaikan aturan-Nya.


Segala kekacauan yang menimpa Sudan akibat dari hilangnya kekuasaan Islam. Menjadikan negeri-negeri kaum muslim sebagai santapan keserakahan para pemimpin imperialis Barat, khususnya Amerika. Untuk itu tidak ada alasan lain, selain kita berharap kepada sistem Islam yang bersumber dari Allah Swt.. Sistem Islam melahirkan kepemimpinan yang benar, Islam melihat kekuasaan sebagai amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt..


Kekuasaan bukan sarana untuk memperkaya diri atau untuk menguasai sumber daya alam. Akan tetapi, untuk mengurusi urusan umat. Penguasa bukan orang yang akan menguasai sumber daya alam, tetapi negara dan khalifah sebagai eksekutor yang mengatur dan mengolah sumber daya alam untuk kepentingan umat. Haram hukumnya individu menguasai sumber-sumber kekayaan alam. 


Kekuasaan Islam ini tidak melanggengkan hubungan diplomatik dengan kafir penjajah, apalagi membangun kerja sama untuk melakukan eksploitasi sumber daya alam yang jelas-jelas haram hukumnya. Islam hanya membangun relasi berdasarkan kepentingan dakwah dan jihad. Negara Islam berdiri tegak atas kekuatan ideologi yang benar, mandiri tanpa intervensi negara lain. Untuk itu, sudah selayaknya kita memperjuangkan Islam kembali tegak di tengah-tengah dunia. Wallahualam bissawab.[Dara/MKC]