Pejabat Berfoya-foya, Rakyat Hidup Sengsara
OpiniDalam sistem demokrasi yang akan melahirkan karakteristik individualisme
mereka menjadi pejabat tujuannya untuk mendapatkan jabatan dan pundi-pundi kekayaan
______________________
Penulis Tini Sitorus
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Aksi demo ratusan massa di depan gedung DPRD Sumatera Utara ricuh. Massa aksi terlibat bentrok dengan pihak kepolisian karena merasa kesal dengan ketidakadilan di negeri ini sehingga membuat mereka menyampaikan aspirasinya, tetapi para pejabat seakan bungkam. Beberapa massa aksi tampak ditarik oleh polisi saat memanjat untuk memasuki gerbang DPRD Sumatera Utara. (detikSumut.com, 26-08-2025)
Di saat banyak rakyat Indonesia yang kelaparan, lowongan pekerjaan tidak ada, kemiskinan meningkat dan ekonomi sulit, tetapi tunjangan DPR makin naik. Anggota DPR justru menikmati penghasilan dan tunjangan yang luar biasa. Besarnya penghasilan anggota DPR sekitar Rp100-Rp230 juta per bulan.
Beda lagi dengan tunjangan lainnya, seperti tunjangan beras, tunjangan istri, tunjangan untuk dua anak, tunjangan kehormatan, tunjangan komunikasi, biaya perjalanan harian, uang pensiun dan masih banyak lagi. Paling mengherankan adalah pajak penghasilan para pejabat yang ditanggung oleh negara seperti menteri, wakil mentri, dan komisaris juga mendaparkan penghasilan yang luar biasa. Bahkan komisaris berpenghasilan miliaran rupiah per tahun.
Mereka para pejabat bersenang-senang dan berjoget-joget ria di gedung parlemen karena kenaikan gaji dan tunjangan yang besar. Anggota DPR mengatakan bahwa mereka saat kampanye memiliki dana yang cukup besar agar rakyat memilih mereka sebagai pejabat negeri. Modal yang harus dikeluarkan untuk berebut kursi DPR sangat tinggi.
Sistem demokrasi dianggap mahal karena membutuhkan banyak modal politik yang sangat besar hanya untuk mendapatkan kursi kekuasaan. Ketika mereka sudah menjabat sebagai pejabat negeri, mereka akan berusaha bagaimana cara modal yang mereka keluarkan untuk kampanye bisa kembali lagi dengan cara korupsi miliaran bahkan triliunan.
Di Indonesia, 82,4% lebih Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bersumber dari Penerimaan Perpajakan (pajak). Pajak menjadi tulang punggung pembiayaan Negara. APBN 2025 dirancang dengan target pendapatan negara Rp3.005,1 triliun dan belanja negara Rp3.621,3 triliun.
Selama Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan sedang memikirkan bagaimana APBN meningkat dengan menaikkan pajak yang akan dibebani oleh rakyat. Dengan APBN meningkat akan dialokasikan untuk membayar utang Negara, menaikkan gaji pejabat setinggi-tingginya, pembangunan yang asal-asalan dan tidak bermanfaat untuk umat.
Utang pokok pemerintahan Indonesia tercatat sebesar Rp9.105,09 triliun hingga April 2025, berdasarkan perhitungan kontan. Itu utang pokoknya saja, berbeda lagi dengan membayar bunga utang sekitar Rp599,4 triliun. Jangankan bayar utang pokok, bayar bunganya saja tidak sanggup.
Di saat keuangan defisit pemerintah malah menaikkan gaji DPR dan para menterinya. Seperti itulah gambaran pemerintah di sistem kapitalis. Tidak lagi memikirkan nasib rakyat yang sulit ekonominya tapi malah memeras rakyat dengan pajak yang tinggi.
Dengan besarnya pajak yang ditetapkan oleh pemerintah. Banyaknya perusahaan-perusahaan dan UMKM yang tutup karena perusahaan tidak sanggup bayar pajak yang mencekik. Alhasil, di Indonesia banyak sekali pengangguran yang berefek kemiskinan.
Sistem demokrasi kapitalis adalah sistem yang aturannya berasal dari manusia. Ketika mereka diamanahi sebagai pejabat negara, bukan untuk mengurus rakyat tetapi untuk mendapatkan kekuasaan dan pundi-pundi kekayaan. Para pejabat yang bersikap hedonis hanya mementingkan diri sendiri dengan tunjangan rumah, mobil mewah, tunjangan beras yang semua aktivitas mereka, seperti rapat di hotel dengan fasilitas mewah.
Semuanya menggunakan uang negara yang efeknya mempersulit rakyat, di saat Indonesia memiliki banyak utang, tetapi para pejabat malah berfoya-foya. Dalam sistem demokrasi yang akan melahirkan karakteristik individualisme, mereka menjadi pejabat tujuannya untuk mendapatkan jabatan dan pundi-pundi kekayaan.
Solusi dalam Islam
Dalam pandangan Islam, kekuasaan adalah amanah berat yang harus dipertanggungjawabkan di dunia dan di akhirat. Karena itu, kekuasaan tak layak untuk diperebutkan sebagaimana yang terjadi dalam sistem politik demokrasi. Mereka menyadari bahwa kehidupan ini akan dimintai pertanggungjawaban sehingga mereka sadar bahwa amanah mengurus umat adalah amanah yang besar dari Allah Swt..
Dalam Islam, tidak ada pajak. Kas negara dalam Islam bernama Baitulmal dengan sumber pendanaan utama adalah zakat, ghanimah, fai, dan sumber daya alam yang berlimpah yang akan dikelola oleh negara dan akan dikembalikan kepada rakyat. Harusnya kita menyadari bahwa sistem demokrasi ini adalah sistem yang rusak dan merusak sehingga kita harus kembali kepada sistem yang Rahmatan Lilalamin dengan cara menerapkan syariat-Nya secara kafah dalam seluruh aspek kehidupan.
Demikian sebagaimana yang Allah Swt. perintahkan: Allah berfiman dalam QS. Al-Baqarah ayat 208 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kalian mengikuti langah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kalian." Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]


