Meneladani Metode Perubahan Politik ala Rasulullah saw.
OpiniDengan meneladani metode dakwah dan perubahan ala Rasulullah saw., yaitu menempuh tharîqah nabawiyyah
menegakkan Islam kafah dan membangun kembali sistem pemerintahan Islam
___________________________
Penulis Ambu Marni
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Peringatan maulid Nabi Muhammad saw. merupakan kesempatan untuk menggali hikmah agung dari kelahiran Rasulullah saw.. Salah satu hikmah terbesar yang jarang disorot adalah kelahiran beliau menandai awal perubahan besar dalam peradaban manusia dari masyarakat jahiliyah menuju masyarakat Islam yang mulia.
Saat Rasulullah saw. lahir, terpancar cahaya hingga menerangi istana Romawi di Syam, pilar istana Kisra di Madain retak dan sepuluh menaranya runtuh, api persembahan Persia padam dan danau serta sawah mengering, tetapi Wadi Samawah tiba-tiba mengalirkan air. Fenomena ini adalah isyarat politik bahwa kelahiran Nabi Muhammad saw. adalah ancaman langsung bagi imperium Persia dan Romawi saat itu.
Di Pasar Dzil Majaz Nabi Muhammad saw. pernah berseru: "Hai manusia, ucapkanlah “Lâ ilâha illalLâh,” niscaya kalian beruntung." (HR. Ahmad)
Seruan itu bukan hanya dakwah tauhid, melainkan sebuah deklarasi visi politik bahwa perubahan sejati berawal dari pengakuan terhadap kedaulatan Allah Swt..
Lalu ketika menggali parit menjelang Perang Khandaq, Nabi saw. mendapat mukjizat melihat penaklukan Syam atau Romawi, Persia dan Yaman oleh kaum muslim saat memukul batu besar tiga kali (HR Ahmad dan an-Nasa’i).
Sejarah kemudian mencatat bahwa nubuwat itu menjadi nyata pada masa Kekhalifahan Umar bin al-Khathab ra di mana dua negara adidaya, yakni Persia dan Romawi benar-benar berhasil ditundukkan di bawah kekuasaan Islam.
Di era modern, banyak orang berharap perubahan politik melalui people power (gerakan massa) seperti sejarah Indonesia pasca-Reformasi 1998 saat Rezim Soeharto tumbang dan Orde Baru runtuh. Akan tetapi, apakah secara politik Indonesia benar-benar berubah? Ternyata tidak.
Korupsi makin mengganas, oligarki makin kukuh, sumber daya alam milik rakyat tetap ada dalam kendali swasta dan asing. Pajak makin mencekik. Utang negara dan bunganya makin tinggi. Rakyat tetap miskin. Pengangguran makin banyak. Elite politik makin bergelimang harta. Keadilan hukum makin sulit ditegakkan.
Mengapa demikian? Sebab yang jatuh hanya rezimnya, bukan sistem politiknya. Sistem politik demokrasi sekuler tetap dipertahankan padahal sistem inilah yang menjadi akar kerusakan yang membelit negeri ini. Dalam sistem demokrasi, kedaulatan (hak membuat hukum) ada di tangan manusia. Artinya, pembuatan hukum diserahkan pada hawa nafsu manusia.
Allah Swt. telah berfirman: Otoritas membuat hukum itu ada pada Allah (QS. Yusuf : 40). Bahkan Allah Swt. telah menegaskan: Siapa saja yang tidak berhukum dengan wahyu yang telah Allah turunkan, mereka itulah pelaku kezaliman (QS. Al-Maidah: 45). Kemudian Allah berseru, Apakah sistem hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi kaum yang yakin? (QS. Al-Maidah: 50).
Jelas sudah, demokrasi yang menempatkan kedaulatan (hak membuat hukum) di tangan manusia adalah sistem hukum jahiliah. Karena itu, pergantian rezim (penguasa) tanpa pergantian sistem politiknya ke arah sistem politik Islam, tidak akan pernah menghasilkan perubahan ke arah yang lebih baik.
Islam memiliki metode perubahan politik yang jelas dan tuntas. Rasulullah saw. tidak pernah menyerukan revolusi massa untuk menggulingkan rezim Quraisy. Beliau menempuh metode dakwah yang terarah melalui tiga tahap, yaitu: Pertama, Tasqîf (Pembinaan): Beliau membina para Sahabat dengan fikrah Islam agar keimanan mereka kokoh dan mereka siap berjuang untuk perubahan.
Kedua, Tafâ‘ul ma‘a al-Ummah (Interaksi dengan Masyarakat). Rasulullah saw. mendakwahkan Islam secara terang-terangan di tengah-tengah masyarakat sekaligus membongkar kebusukan sistem kufur hingga opini umum berpihak pada Islam. Ketiga, Thalab an-Nushrah (Menggalang Dukungan). Beliau menggalang dukungan dari ahlul quwwah (para pemilik kekuasaan) untuk menegakkan sistem politik dan pemerintahan Islam.
Ketiga tahapan ini beliau tempuh tanpa kekerasan sama sekali apalagi melalui people power (gerakan massa) yang menjurus pada anarkisme (kekerasan). Pada akhirnya, melalui tahapan thalab an-nushrah, beliau berhasil meraih kekuasaan (istilâm al-hukum) secara damai dari ahlul quwwah di Madinah yang didukung oleh mayoritas penduduknya. Saat itu, mereka menyerahkan kekuasaan mereka secara sukarela kepada beliau. Sejak itu, beliau segera memproklamirkan pendirian Daulah Islam untuk pertama kalinya.
Dengan metode ini, perubahan politik yang lahir bukan sekadar jatuhnya penguasa. Melainkan tumbangnya seluruh sistem jahiliyah, diganti dengan sistem Islam. Hasilnya adalah peradaban Islam yang bertahan berabad-abad lamanya.
Alhasil, jika umat Islam benar-benar ingin lepas dari siklus tirani dan ketidakadilan, jawabannya bukan demokrasi atau people power (gerakan massa). Melainkan dengan meneladani metode dakwah dan perubahan ala Rasulullah saw., yaitu menempuh tharîqah nabawiyyah, menegakkan Islam kafah dan membangun kembali sistem pemerintahan Islam. Itulah sistem Khil4fah ‘alâ minhâj an-Nubuwwah sebagai pelanjut Daulah Islam yang dirintis oleh Nabi Muhammad saw..
Para ulama telah bersepakat bahwa wajib atas kaum muslim untuk mengangkat seorang khalifah (menegakkan Khil4fah). Kewajiban ini berdasarkan syariat. Bukan berdasarkan akal (An-Nawawi, Syarh an-Nawawi ‘alaa Muslim, 12/205).
Alhasil, peringatan maulid Nabi saw. sudah seharusnya diarahkan untuk memotivasi umat agar sungguh-sungguh melakukan perubahan politik ke arah Islam sebagaimana yang sudah dicontohkan oleh Rasulullah saw.. Bukan dengan tetap mempertahankan sistem demokrasi sekuler seperti saat ini. Hanya dengan itu peringatan maulid Nabi saw. akan jauh lebih bermakna. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]
Sumber: Tabloid Kaffah no 409