Alt Title

Membubarkan DPR Bukan Solusi

Membubarkan DPR Bukan Solusi




Harusnya masyarakat sadar solusinya bukan membubarkan DPR

tetapi membubarkan kapitalisme dan berganti dengan sistem Islam rahmatan lil alamin


_______________________


Penulis Rahmatul Aini

Kontributor Media Kuntum Cahaya


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Demo di depan DPR makin memanas, bahkan kericuhan antar aparat dan masyarakat seperti sudah biasa terjadi. Terbaru kasus ojol terlindas mobil brimob sampai meninggal dunia. Videonya viral di media sosial, di tengah keramaian para demonstran sebuah mobil brimob jalan melewati kerumunan, pengemudi ojol terjatuh saat hendak berlari dan tepat di depan mobil brimob. Bukannya berhenti sejenak, tetapi tetap jalan dan parahnya melindas ojol sampai krisis dan akhirnya meninggal dunia. (cnnindonesia.com, 29-08-2025) 


Demonstrasi yang dilakukan bukan tanpa alasan sebab mereka merasa DPR tidak menjadi wakil rakyat. Mereka hanya dipilih selebihnya tak pernah memperhatikan kondisi masyarakat. Minimnya empati di tengah gelombang PHK juga kebutuhan hidup yang serba sulit, justru pemangku kebijakan hidup dalam kecukupan dan kemewahan yang elite. 


Tugas DPR membuat kebijakan untuk kepentingan rakyat bukan sebaliknya. Jabatan yang didapatkan adalah jalan mereka untuk memperkaya diri. Bayangkan saja untuk menetapkan besaran anggaran mereka yang menentukannya. Gaji dan tunjangan perbulan telah menembus seratus juta lebih setelah diberlakukannya tunjangan rumah senilai lima puluh juta perbulan. Hasilnya, inilah yang memancing amarah masyarakat karena dinilai tidak sejalan dengan kebijakan efensiensi anggaran negara. (cnbcindonesia.com, 23-08-2025)


Para DPR dan jajarannya tidak akan pernah paham kondisi rakyat jika mereka tidak disituasi yang sama. Sedangkan rakyat untuk membeli beras saja sulit, tetapi di saat yang sama tunjangan beras DPR mencapai dua belas juta per bulan. Sungguh angka yang fantastis bukan? 


Disfungsinya Peran DPR 


Masyarakat telah kehilangan kepercayaan mereka terhadap DPR. Seolah fungsinya telah mandul, kritikan rakyat kepada DPR justru direspons negatif. Salah satu anggota DPR, yakni Ahmad Syahroni mengatakan bahwa yang mau membubarkan DPR itu orang yang tolol dan bodoh.


Geramnya rakyat sebab melihat DPR yang tak berfungsi sebagaimana tupoksi semestinya. Bayangkan saja mereka kerja di ruang rapat, tetapi asyik berjoget, ada yang tertidur pulas di ruangan, bahkan main slot saat rapat, gaji mereka fantastis seolah kinerja mereka benar-benar demi kepentingan masyarakat.  


Kondisi ini justru berbanding terbalik dengan kinerja para guru-guru yang telah mendedikasikan kehidupan mereka. Mengabdi demi mencerdaskan anak negeri justru mendapatkan intensif tak seberapa. Ada banyak guru honorer yang harus menunggu jangka waktu tiga bulan baru dapat gaji, dan itu pun tak dapat memenuhi kebutuhan. 


Kesenjangan dalam kapitalisme adalah sebuah keniscayaan. Kepentingan materi adalah tujuan utama tak heran jika para penguasa semakin sejahtera hidup makmur, sedangkan rakyat diliputi kesengsaraan dan penderitaan. 


Kondisi pilu rakyat hari ini kian memilukan, bagaimana mungkin pasca perayaan 80 tahun kemerdekaan Indonesia masalah yang menghinggapi negeri ini makin pelik. Rakyat seolah diberi kado kejutan perihal naiknya PBB di sebagian wilayah, yang bersamaan dengan tunjangan DPR juga ikut naik. Belum lagi polemik keracunan MBG yang semakin mengkhawatirkan dan kasus kriminal lainnya. 


Kesenjangan antara penguasa dan rakyat begitu jauh sekali. Bayangkan saja para pejabat mampu membeli jam dengan harga 11 miliar tapi rakyat tak mampu untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Tak sedikit dari mereka harus memilih jalan bunuh diri bersama anggota keluarga yang lain karena utang dan impitan ekonomi.


Belum lagi dengan kasus bocah Raya yang keluar cacing di seluruh anggota tubuhnya. Untuk mendapatkan bantuan medis butuh biaya besar. Di saat yang bersamaan ada tokoh pejabat yang mampu membeli ironman dengan harga ratusan juta. Benar-benar kesenjangan yang pahit untuk dialami oleh penduduk pribumi. 


Rakyat dipaksa untuk memenuhi kemewahan hidup mereka padahal sama sekali mereka tak pernah mengurus rakyat dengan serius. Jika sudah begini harusnya kita beralih kepada sistem Islam yang tak akan memeras keringat rakyat dari pajak. Kecuali, dalam kondisi tertentu pajak bisa berlaku dan itu hanya bagi sebagian orang yang mampu saja bukan diratakan kepada seluruh rakyat seperti dalam sistem hari ini. 


Komparasi Pemimpin dalam Islam dan Kapitalisme 


Pemimpin dalam sistem demokrasi saat ini hanya mementingkan masalah pribadi maupun kepentingan para pemilik modal. Mereka membuat regulasi dalam rangka untuk memakmurkan hajat hidup mereka semata. Imbas dari kebijakan mereka ialah rakyat terus menerus menjadi korban.


Sebagai contoh, anggaran negara berkurang, rakyat justru banyak yang kehilangan pekerjaan karena PHK membludak disamping pemerintah terus-menerus mencekik rakyat lewat regulasi kenaikan PBB.    


Hukum yang berjalan dalam sistem demokrasi adalah buatan manusia sehingga solusi yang ditawarkan untuk menyelesaikan masalah tak dapat menyentuh akar persoalan justru sebaliknya masalah makin bertambah. Inilah bukti hukum buatan manusia itu terbatas dan tambal sulam bisa berubah-ubah, menyesuaikan dengan kepentingan politik.


Bahkan menjamur praktik politik kotor, korupsi, suap menyuap, lobi-lobi, maraknya makelar kasus yang bahkan mereka bisa kebal terhadap undang-undang dan tak bisa tersentuh hukum yang punya uang memegang kuasa. Mereka bahkan bisa membeli hukum untuk bebas dari jeratan peradilan.


Di sisi lain, mereka yang tak punya duit justru mudah terjerat pasal dan undang-undang. Hukum makin tajam menimpa rakyat miskin. Bukti bahwa hukum dalam sistem demokrasi kapitalistik makin tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia hanya slogan kosong yang tak memiliki arti dan nilai sama sekali. Kemerdekaan hanya dirasakan oleh para pemangku kebijakan. 


Harusnya masyarakat sadar solusinya bukan membubarkan DPR tapi membubarkan kapitalisme dan berganti dengan sistem Islam rahmatan lil alamin sebab selama kapitalisme mencokol dalam diri umat, selama itu pula kesengsaraan dan ketidakadilan ini akan terus meningkat. Umat butuh arah perjuangan hakiki, tugas para pengemban dakwah untuk memahamkan arah perjuangan. 


Namun berbeda dengan Islam, para pemimpin umat memandang bahwa jabatan yang mereka emban adalah sebagai amanah besar dan akan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah Swt.. Mereka menjalankan tugas sesuai dengan tupoksi yang berlaku dalam syara. Khalifah akan menjadi pelayan umat dan wakil umat akan menjadi penyampai aspirasi rakyat kepada khalifah.


Tak hanya itu, khalifah dan jajarannya tak anti kritik. Mereka selalu senantiasa memandang kritikan adalah sebuah perbuatan amar makruf. Karena, pemimpin juga manusia biasa pasti terdapat cacat dan salah. Sebaliknya kritikan umat adalah bentuk kasih sayang mereka terhadap pemimpin. 


Disfungsi peran tak akan pernah terjadi dalam sistem Islam. Pemerintahan berjalan sesuai dengan syariat yakni mengontrol dan melayani umat serta memastikan semua rakyat mendapatkan keadilan dan kesejahteraan. Bahkan mereka bekerja bukan untuk kepentingan pribadi melainkan semata-mata demi kepentingan umat.


Hukum yang berlaku bukan didasari dari nafsu manusia tapi legalisasi hukum dari wahyu Allah Swt. pemilik alam dan seisinya sehingga wujud pelaksanaan syariat Islam sempurna ketika mampu diterapkan dalam institusi negara Daulah Islamiah. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]