Alt Title

Krisis Tenaga Kerja Global, Kapitalisme Telah Gagal

Krisis Tenaga Kerja Global, Kapitalisme Telah Gagal




Minimnya lapangan pekerjaan menjadikan kesenjangan sosial makin dalam

karena harta hanya berputar pada kalangan orang kaya saja

________________________

Penulis Ledy Ummu Zaid

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPlNl- Dewasa ini, tak dapat dimungkiri mencari uang itu bukan perkara yang mudah. Mendapatkan pekerjaan yang ideal nyatanya menjadi hal yang sangat langka hari ini. Seperti yang kita ketahui, negara seolah tak peduli terhadap kesejahteraan rakyatnya, khususnya kepada para pencari kerja.


Krisis Tenaga Kerja Dialami Banyak Negara


Dilansir dari laman cnbc.com (06-09-2025), krisis tenaga kerja tengah dialami banyak negara. Sejumlah negara besar pun mengalami kenaikan angka pengangguran. Sebagai contoh, Amerika Serikat (AS) dengan ekonominya yang maju tetap saja tidak dapat menghindari krisis ketenagakerjaan. 


Menurut data, sekitar tahun 1990-an hingga 2010-an, tingkat pengangguran tidak banyak didominasi lulusan perguruan tinggi (PT). Namun, ketika dunia dilanda pandemi COVID-19, lulusan PT sempat mengungguli tingkat pengangguran di AS.


Saat ini, meski kemajuan teknologi seperti Artificial Intelligence (AI) tengah berkembang pesat, tetapi faktanya malah memperburuk krisis ketenagakerjaan ini. Bahkan, di negara besar lainnya seperti Cina, muncul fenomena pura-pura kerja, seperti yang dilansir dari laman beritasatu.com. Generasi muda rela membayar 30 yuan hingga 50 yuan untuk dapat menggunakan fasilitas seperti di kantor. 


Lantas, bagaimana realita ketenagakerjaan di Indonesia? Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran mengalami lonjakan besar saat pandemi COVID-19, yakni sebesar 981.203 orang pada tahun 2020.


Tak dapat dimungkiri, saat itu dunia kerja Indonesia hampir lumpuh. Persoalan seperti rekrutmen dihentikan sementara dan ribuan lulusan nekat bekerja seadanya demi menyambung hidup menjadi titik terendah dalam sistem ketenagakerjaan Indonesia.


Konon katanya, akar masalahnya jauh lebih rumit dari krisis akibat pandemi. Sejauh ini, lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) tampak lebih beruntung daripada lulusan PT. Hal ini dikarenakan industri dan sektor informal dapat menyerap lebih banyak tenaga kerja di bidang teknis. Ijazah tinggi pun tidak terlalu dibutuhkan.


Banyak pengamat ekonomi yang akhirnya mendesak agar PT mendesain ulang kurikulum pendidikannya. Besar harapan, keterampilan praktik dan teknologi serta kemitraan dengan industri dapat memberi jalan untuk para lulusan PT. Tak hanya itu, mahasiswa juga seharusnya dibekali ilmu kewirausahaan yang mumpuni.


Kapitalisme Gagal Menyerap Tenaga Kerja


Harus diingat, dunia masih menganut kapitalisme padahal itu terbukti tidak menyejahterahkan. Negara seolah hanya tunduk dengan para kapitalis, yakni pemilik modal, baik swasta maupun asing. Jadi, kebijakan yang dibuat acapkali hanya menguntungkan kalangan elite. Sedangkan, hidup rakyat makin terjepit.


Minimnya lapangan pekerjaan masih selalu menjadi momok menakutkan bagi lulusan sekolah maupun PT. Walhasil, banyak yang tidak bekerja alias menjadi pengangguran. Hal ini tentu menyebabkan daya beli menurun dan tingkat kemiskinan meningkat.


Di satu sisi, persoalan ketimpangan sosial juga kian menonjol. Menurut data Center of Economic and Law Studies (CELIOS), kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia setara dengan kekayaan 50 juta warga Indonesia. Penguasa dan pejabat seharusnya memberikan kesejahteraan, tetapi nyatanya rakyat selalu dimanfaatkan.


Hingga kini, upaya pemerintah dalam menciptakan lapangan pekerjaan melalui job fair dan kerja sama industri belum mampu menyerap tenaga kerja seluas-luasnya. Dunia industri pun juga ketar-ketir karena badai pemutusan hubungan kerja (PHK) mulai membayangi. 


Jika terjadi PHK besar-besaran, maka sudah seharusnya pemerintah siap siaga membuka lapangan pekerjaan lain. Sejauh ini, fakta lain yang mencengangkan. Sebagai contoh, banyak tenaga kerja asing (TKA) menyasar lapangan pekerjaan di industri dalam negeri. Sedangkan, warga lokal harus rela meninggalkan tanah air lantaran menjadi pekerja imigran Indonesia (PMI). 


Ketenagakerjaan dalam Islam


Sungguh ironi menyaksikan ketidakadilan akibat penerapan sistem kufur ala Barat, yakni kapitalisme sekuler. Ideologi ini meniscayakan kehidupan tidak boleh diatur oleh aturan agama. Dengan kata lain, muslim tidak leluasa memperhatikan perkara halal-haram karena negara tidak mendukung itu.


Berbeda dengan Islam yang mana hadir sebagai rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam). Islam akan selalu menomorsatukan akidah lslam dalam pengurusan rakyat. Seorang khalifah (pemimpin) tentu akan bertanggung jawab terhadap kehidupan dunia dan akhirat setiap individu rakyatnya.


Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,


“Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat. Dia akan diminta pertanggungjawaban tentang rakyatnya.” (HR. Bukhari Muslim)


Dengan demikian, dalam ekonomi Islam, kebutuhan hidup rakyat, seperti kesehatan, pendidikan, hukum, bantuan modal, dan industrialisasi hingga pemberian tanah juga menjadi tanggung jawab negara yang harus dipenuhi.


Kemudian, tidak ada pula kasus terkait harta yang tidak terdistribusi dengan baik. Dalam hal ini, daulah (negara) tidak akan membiarkan harta hanya beredar di kalangan orang kaya saja. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, ”... supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, ...” (TQS. Al-Hasyr: 7)


Dalam bidang ketenagakerjaan, daulah akan mencetak sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas melalui sistem pendidikan Islam. Mereka tidak hanya siap bekerja dan memiliki keahlian di bidangnya, tetapi juga wajib dibekali akidah lslam yang kuat. Oleh karenanya, mereka dapat bekerja dengan penuh ketekunan dan kejujuran dalam menjalankan amanahnya masing-masing.


Lebih lagi, daulah akan membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya melalui pengelolaan SDA milik umat. Ketika dikelola dengan baik, khususnya tidak diberikan kepada swasta dan asing, industri tentu dapat menyerap banyak tenaga kerja. Terkait upah, Islam juga sangat menganjurkan majikan memberi upah sebelum keringat pekerja mengering.


Khatimah


Oleh karena itu, kaum muslim seharusnya merindukan penerapan syariat Islam secara kafah (menyeluruh) untuk mengatur kehidupan. Dengan hadirnya kepemimpinan Islam seperti pada zaman Khulafur Rasyidin, yakni Khil4fah lslamiah ‘ala minhajin nubuwwah, umat akan kembali pada peradaban yang gemilang. Tidak seperti hari ini, kemuliaan kaum muslim sebagai khairu ummah (umat terbaik) telah hilang. Tak ayal, persoalan ekonomi seperti krisis tenaga kerja global terjadi akibat kapitalisme telah gagal. Wallahualam bissawwab. [Luth/MKC]