Alt Title

Kohabitasi Berujung Multilasi Buah Penerapan Sekularisme

Kohabitasi Berujung Multilasi Buah Penerapan Sekularisme



Bagi sebagian besar dari mereka

pernikahan dianggap sebagai sebuah institusi kaku, penuh risiko, dan banyak aturan yang cenderung normatif dan membatasi jenjang karier

_________


Penulis Anastasia, S.Pd.

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI- Memang berat hidup di bawah sistem sekularisme. Sistem yang memisahkan manusia dari aturan Allah Swt.. Hal ini menyebabkan manusia hidup hanya sekadar memenuhi hawa nafsunya tanpa melihat halal dan haram. Begitu pun dengan sistem pergaulan remaja saat ini, mereka terjebak dengan aktivitas maksiat, yaitu pacaran dan seks bebas yang sudah merajalela di mana-mana. 


Namun, alih-alih memberikan kebahagiaan, pacaran justru menjerumuskan pelakunya ke dalam dosa besar. Tidak sedikit dari hubungan yang tidak halal ini berujung tindak kriminal. Seperti kasus yang telah menghebohkan dalam beberapa pekan ke belakang, pacaran berujung mutilasi. 


Cinta yang terjalin selama lima tahun antara Alvi Maulana (24) dan Tiara Angelina Saraswati (25) berakhir dengan tragedi memilukan. Tiara meregang nyawa di tangan pacarnya sendiri. Tidak hanya dibunuh, tubuh Tiara diperlakukan secara tidak manusiawi dengan dimutilasi menjadi ratusan potongan. Kasus ini tak hanya mengguncang publik, tetapi juga menguak fakta bahwa mereka adalah sepasang kekasih yang telah memutuskan hidup serumah tanpa adanya ikatan pernikahan. (detikjatim.com, 09-09-2025)


Racun Sekularisme


Tren living together alias hidup bersama tanpa ikatan pernikahan sebenarnya berakar dari Barat yang memandang bahwa salah satu jalan mencapai kebahagiaan adalah dengan memenuhi segala hasratnya tanpa melihat apakah hal tersebut dosa atau tidak. Pemenuhan naluri seksualitas dipandang sebagai pemenuhan alamiah tanpa harus diikat oleh pernikahan.

 

Kita memahami betul bahwa masyarakat yang hidup di tengah-tengah penerapan sistem sekularisme adalah masyarakat yang bebas tanpa mengenal aturan Allah Swt.. Namun sayangnya, virus pemikiran ini telah masuk ke negeri-negeri umat Islam, salah satunya Indonesia. Kampanye pemikiran ini dipromosikan melalui tontonan, musik, hiburan yang sejatinya merupakan racun dari diterapkan sistem kebebasan ini. Akhirnya, pemikiran umat Islam yang telah banyak mengalami pergeseran nilai-nilai agama yang sudah makin terkikis di masyarakat. 


Pernikahan dalam sistem sekularisme dianggap sebagai sesuatu yang merepotkan dan merugikan. Kehadiran anak dianggap sebagai beban finansial yang harus ditanggung oleh orang tua. Begitu pun apabila terjadi perceraian orang tua akan dihadapkan dengan prosedur yang merepotkan. Akhirnya, pandangan generasi muda tentang pernikahan kini mulai bergeser. Bagi sebagian besar dari mereka, pernikahan dianggap sebagai sebuah institusi kaku, penuh risiko dengan banyak aturan yang cenderung normatif dan membatasi jenjang karier. 


Hal senada disampaikan oleh peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Yulinda Nurul Aini yang menyoroti fenomena ini lewat risetnya di salah satu kota besar di Indonesia. Menurut Yulinda ada tiga alasan utama memilih untuk tinggal bersama tanpa menikah, di antaranya beban finansial, rumitnya proses perceraian, dan penerimaan sosial di lingkungan sekitar. (CNBC.com, 03-07-2025)


Untuk itulah hidup satu atap tanpa ikatan pernikahan adalah angin segar bagi mereka yang tidak mau terikat dengan repotnya aturan agama. Hal ini dipandang lumrah sebagai bentuk hubungan yang lebih "alami" dan autentik sehingga dianggap sebagai wujud cinta sejati yang bebas dari tekanan formalitas.


Begitulah sekularisme telah memberikan standar kebahagiaan yang semu padahal itu merupakan dosa besar yang berujung penderitaan. Tentu kita memahami dampak besar yang dihasilkan dari budaya kohabitasi. Di mana anak yang dihasilkan dari ikatan di luar pernikahan tidak dapat mendapatkan nasab, waris, dan hilangnya perwalian. 


Praktik budaya seperti ini memungkinkan seseorang tidak merasa memiliki ikatan sakral sehingga mudah untuk membangun hubungan bebas dengan orang lain. Dengan begitu pergaulan bebas menjadi gaya hidup, melahirkan aborsi, dan mengundang penyakit HIV.


Islam Benteng Pertahanan 


Islam adalah agama yang sempurna, melahirkan aturan yang mampu menghantarkan kepada kemuliaan. Islam mewajibkan setiap pemeluknya untuk tunduk pada aturannya karena sejatinya hukum asal perbuatan manusia terikat  kepada Allah Swt..


Maka dari itu, penerapan Islam harus mencakup seluruh aspek kehidupan, yaitu penerapan secara kafah dalam bingkai negara. Kondisi yang kondusif akan menghasilkan setiap individu dan masyarakat taat dan memiliki kepribadian Islam. Hal demikian akan menjadi benteng pertahanan dari segala aktivitas yang mampu menjerumuskan manusia ke dalam dosa besar.


Melalui sistem pergaulan, Islam memisahkan laki-laki dan perempuan kecuali jika adanya hajat syar'i di dalamnya. Untuk itu, aturan ini dengan tegas melarang praktik kohabitasi seperti firman Allah Swt., yang artinya: "Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra [17]: 32)


Islam pun memberikan sanksi yang tegas bagi siapa saja yang melanggar aturannya seperti dalam firman Allah Swt. yang artinya: "Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (melaksanakan) agama (hukum) Allah jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Hendaklah (pelaksanaan) hukuman atas mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang mukmin.” (QS. An-Nur [24]: 2)


Negara Islam juga akan senantiasa melindungi penduduknya dari segala jenis racun pemikiran yang bertentangan dengan akidah Islam sehingga umat Islam tidak akan terkontaminasi dengan budaya sekularisme. Wallahualam bissawab. [EA/MKC]