Filisida Maternal Buah Pahit Sistem yang Gagal Melindungi
OpiniFilisida maternal bukan sekadar tragedi keluarga
melainkan cermin betapa sakitnya sistem kehidupan yang diterapkan hari ini
________________________
Penulis Fatimah Al Fihri
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Tragedi yang terjadi di tengah masyarakat akhir-akhir ini kembali menorehkan duka yang mendalam. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyoroti kasus seorang ibu di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, yang mengakhiri hidupnya setelah diduga meracuni dua anaknya.
Peristiwa tersebut dikategorikan sebagai filisida maternal, yakni tindakan seorang ibu membunuh anaknya sendiri. Tidak lama berselang, pada Agustus 2025 kasus serupa kembali terjadi di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Dua anak perempuan kakak beradik, masing-masing berusia enam dan tiga tahun, ditemukan tewas di Pantai Sigandu. Sang ibu, berinisial VM (31), ditemukan bersembunyi di dalam toilet portabel di sekitar lokasi kejadian (antaranews.com, 12-08-2025)
Kasus-kasus ini tentu tidak bisa dipandang sebagai insiden individual belaka. Filisida yang secara etimologis berarti pembunuhan anak oleh orang tua kandung adalah fenomena sosial yang kompleks. Masyarakat bertanya-tanya: bagaimana mungkin seorang ibu yang secara fitrah adalah sumber kasih sayang terbesar bagi anaknya, tega mengakhiri hidup buah hatinya sendiri?
Pertanyaan ini tidak bisa dijawab hanya dengan menunjuk jari pada hilangnya naluri keibuan atau gangguan jiwa sang ibu. Ada rangkaian panjang beban hidup, tekanan psikologis, hingga kerentanan sosial yang menjadi latar belakangnya.
Menyingkap Akar Masalah
Seorang ibu sesungguhnya adalah sosok yang diberi kemampuan luar biasa oleh Allah Swt. untuk menyayangi dan melindungi anak-anaknya. Naluri keibuannya adalah fitrah yang melekat kuat dalam jiwanya. Namun, ketika seorang ibu justru menjadi pelaku yang menghabisi nyawa anaknya, artinya ada tekanan besar yang membuat naluri itu terguncang.
Psikolog forensik menyebutkan filisida maternal sering terjadi ketika seorang ibu menghadapi beban hidup yang terlalu berat. Persoalan ekonomi, pertengkaran rumah tangga, kekerasan dalam keluarga, hingga depresi mendalam akibat keterasingan sosial dapat menjadi pemicu. (metrotvnews.com, 13-08-2025)
Sayangnya, masyarakat sering melihat kasus ini secara parsial seolah-olah hanya masalah mental pribadi atau keretakan rumah tangga padahal di balik itu ada sistem kehidupan yang gagal memberikan perlindungan dan dukungan bagi seorang ibu.
Realitas hari ini memperlihatkan betapa beratnya beban yang ditanggung perempuan. Banyak ibu dipaksa memikul dua peran sekaligus: bekerja di ranah publik untuk menopang ekonomi keluarga, sekaligus mengurus rumah tangga dan mendidik anak.
Tekanan biaya hidup yang kian melambung dari kebutuhan pokok, biaya pendidikan, hingga layanan kesehatan menjadikan ibu berada dalam posisi sangat rentan. Dalam kondisi demikian, depresi bisa datang kapan saja, dan tanpa dukungan sosial yang memadai, jalan pintas yang tragis bisa saja diambil.
Dengan kata lain, filisida maternal bukan sekadar tragedi keluarga, melainkan cermin betapa sakitnya sistem kehidupan yang diterapkan hari ini. Sistem yang menuntut produktivitas ekonomi tanpa memberi jaminan kesejahteraan, yang menyerahkan nasib keluarga pada kemampuan individu untuk bertahan hidup, serta yang gagal membangun benteng pengaman sosial bagi perempuan dan anak.
Cermin Sistem Kehidupan yang Gagal
Fenomena filisida maternal menyingkap satu hal penting, yaitu ketika sistem kehidupan rusak, individu yang hidup di dalamnya akan merasakan dampaknya. Dalam masyarakat kapitalistik, harga diri manusia diukur dari sejauh mana ia mampu menghasilkan uang. Standar kesuksesan hidup diukur dari capaian materi yang berhasil didapatkan.
Hal ini menjadikan perempuan yang seharusnya dimuliakan dalam perannya sebagai ibu, justru dipaksa keluar rumah demi menopang ekonomi keluarga. Akibatnya, banyak di antara mereka akhirnya kelelahan, kehilangan dukungan emosional, bahkan depresi. Jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, bukan lagi generasi emas yang menghampiri, melainkan krisis kerusakan generasi. Inilah konsekuensi yang wajar apabila peran ibu sebagai madrasah pertama tercerabut karena tuntutan ekonomi.
Di sisi lain, akses pendidikan dan kesehatan masih sangat mahal. Tidak semua keluarga mampu memberikan layanan terbaik bagi anak-anak mereka. Dalam tekanan semacam ini, seorang ibu bisa merasa putus asa, kehilangan harapan, dan bahkan kehilangan kepercayaan diri bahwa hidupnya masih layak dijalani.
Tragedi di Bandung dan Batang adalah alarm keras yang menunjukkan bahwa ada jurang yang besar dalam sistem sosial kita. Jika dibiarkan, kasus serupa bisa terus berulang, memakan korban ibu dan anak-anak tak berdosa.
Islam Menjamin Kehidupan Ibu
Berbeda dengan sistem sekuler hari ini, Islam memiliki konsep yang sangat jelas dalam memuliakan perempuan, terutama dalam kapasitasnya sebagai seorang ibu. Islam menempatkan ibu sebagai pihak yang berhak mendapatkan penghormatan dan perlindungan penuh. Rasulullah saw. menegaskan bahwa surga berada di bawah telapak kaki ibu sebuah ungkapan yang menunjukkan betapa agung dan mulianya peran seorang ibu dalam Islam.
Dalam sistem Islam, seorang ibu tidak dibebani kewajiban mencari nafkah. Nafkah sepenuhnya menjadi tanggung jawab suami. Jika tidak ada suami, kewajiban itu beralih kepada ayah, saudara laki-laki, atau wali lainnya. Dengan demikian, seorang ibu dapat fokus menjalankan perannya dalam mendidik dan merawat anak tanpa terbebani masalah ekonomi.
Islam juga memberi keringanan bagi perempuan dalam hal ibadah ketika hamil atau menyusui. Mereka boleh tidak berpuasa di bulan Ramadan demi menjaga kesehatan diri dan bayinya. Semua ini menunjukkan perhatian Islam terhadap kondisi fisik dan mental ibu.
Di level negara, penguasa wajib memastikan agar para laki-laki mampu bekerja dan menafkahi keluarganya. Negara juga wajib menyediakan pendidikan dan kesehatan gratis sebagai hak dasar seluruh rakyat. Dengan sistem seperti ini, ibu tidak lagi dihantui kekhawatiran soal biaya hidup sehingga dapat menyalurkan naluri keibuannya secara sempurna.
Kasus filisida maternal yang terjadi di Bandung dan Batang bukanlah sekadar kisah duka keluarga, tetapi cermin dari sistem kehidupan yang sedang sakit. Ibu yang mestinya menjadi simbol kasih sayang justru berubah menjadi sosok yang tega menghabisi anaknya sendiri. Hal ini terjadi bukan karena naluri keibuannya hilang, melainkan karena ia hidup dalam sistem yang tidak pernah benar-benar menjamin kesejahteraan, ketenangan, dan kebahagiaannya.
Islam menawarkan jalan keluar yang nyata. Dengan sistem kehidupan yang adil dan penuh perlindungan, seorang ibu tidak akan lagi terjebak dalam keputusasaan. Sebaliknya, ia akan merasa dimuliakan, dilindungi, dan diberdayakan sesuai dengan fitrah yang Allah tetapkan baginya.
Hanya dengan kembalinya sistem Islam, tragedi-tragedi pilu seperti filisida maternal dapat dicegah. Bukan sekadar mengobati luka individu, tetapi menyembuhkan penyakit sistemik yang menjadi akar persoalan. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]


