Alt Title

Ekonomi Islam Mewujudkan Kesejahteraan

Ekonomi Islam Mewujudkan Kesejahteraan



Dalam sistem ekonomi Islam, distribusi bukan sekadar hasil dari pertumbuhan

tetapi tujuan utama dalam setiap kebijakan ekonomi

____________________________


Penulis Linda Ariyanti

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Aktivis Dakwah


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Indonesia adalah negeri yang kaya akan sumber daya alamnya, tetapi kekayaan tersebut nyatanya belum bisa dirasakan oleh semua manusia. Masih banyak kisah pilu yang terjadi sebab ekonomi.


Salah satunya dialami oleh ibu muda di Kabupaten Bandung yang tega menghabisi nyawa kedua anaknya karena tidak ingin anaknya menderita. Tidak sampai di situ, ibu muda tersebut juga mengakhiri hidupnya sendiri. Dalam surat wasiatnya ia rela masuk neraka dari pada melihat kedua anaknya menderita. (bbc.com, 10-09-2025)


Kemiskinan masih menjadi PR besar bagi negeri ini, terutama bagi Menteri Keuangan Purbaya yang baru saja mengeluarkan kebijakan menarik uang dari BI sebesar Rp200 triliun. Uang tersebut akan disalurkan untuk kredit dunia usaha melalui perbankan guna memperbaiki pertumbuhan ekonomi dari 5,12 persen menjadi 8 persen.


Dengan kebijakan tersebut, roda perekonomian negeri ini diharapkan dapat berputar lebih baik. Namun, para ekonom menilai kebijakan tersebut tidak akan efektif menyelesaikan persoalan ekonomi hari ini karena menyalurkan uang ke bank tidak otomatis menyelesaikan persoalan ekonomi yang kompleks.


Kerapuhan Sistem Ekonomi Kapitalisme

 

Pascapandemi, pemulihan ekonomi di negeri ini masih belum benar-benar terjadi. Sejumlah indikator makro masih menunjukkan bahwa ekonomi di negeri ini sedang tidak baik-baik saja. Masyarakat adalah pihak yang paling merasakan kesulitan hidup, hingga hari ini daya beli masyarakat masih lemah, rupiah juga terus melemah di hadapan dolar AS, bahkan PHK massal terus terjadi di berbagai sektor terutama manufaktur dan start-up digital.


Struktur sosial masyarakat juga terdampak, sekitar 9 juta orang tidak lagi berada di kelas menengah melainkan masuk ke golongan rentan miskin. Bahkan menurut Bank Dunia, sekitar 60,3 persen penduduk Indonesia kini tergolong miskin atau rentan miskin. Artinya, mayoritas penduduk hidup dengan penghasilan yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak. 


Kondisi ini makin parah dengan adanya utang pemerintah yang jatuh tempo sebesar Rp800 triliun, dengan bunga utang yang harus dibayar lebih dari Rp500 triliun. Masyarakat juga terus dibebani pajak yang makin tinggi. Utang ribawi dan pajak adalah dua kesalahan fatal sistem ekonomi kapitalisme yang justru telah terbukti menyengsarakan rakyat di negeri ini, bahkan rakyat di seluruh belahan bumi.


Dalam sistem ekonomi kapitalisme, kesejahteraan diukur dan dihitung berdasarkan pertumbuhan ekonomi secara agregat (rata-rata). Jika suatu negeri memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi, maka rakyat dianggap mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak padahal pertumbuhan ekonomi dihitung berdasarkan jumlah keseluruhan nilai barang dan jasa yang dihasilkan dalam rentan waktu tertentu, bukan kondisi riil masyarakat secara perorangan.


Solusi Tuntas Persoalan Ekonomi

 

Dalam kitab An-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm (Sistem Ekonomi Islam) Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan bahwa persoalan utama ekonomi bukan terletak pada jumlah kekayaan yang tersedia (produksi), tetapi pada distribusinya. Islam telah menetapkan aturan yang tegas mengenai kepemilikan, pengelolaan kekayaan, dan peran negara dalam menjamin kesejahteraan rakyat.

 

Dalam Islam, kepemilikan dibagi menjadi tiga: milkiyyah fardhiyyah (kepemilikan individu), milkiyyah ‘âmmah (kepemilikan umum) dan milkiyyah ad-dawlah (kepemilikan negara). Dengan konsep ini, privatisasi sumber daya alam yang merupakan aset milik umum dapat dicegah.


Sumber daya alam seperti air, hutan, listrik, barang tambang, dll adalah milik umum yang pengelolaannya diserahkan kepada negara secara langsung, dan hasilnya untuk kepentingan rakyat. Rasulullah saw. bersabda: “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal: padang rumput, air dan api.” (HR. Abu Dawud, Ahmad dan Ibnu Majah)


Islam mengharamkan swasta/asing menguasai kekayaan milik umum. Kesejahteraan dalam Islam diukur dari terpenuhinya kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, keamanan) setiap individu rakyat, bukan dari total konsumsi nasional. Bahkan, distribusi kekayaan juga diatur dengan prinsip Islam.


Dalam sistem ekonomi Islam, distribusi bukan sekadar hasil dari pertumbuhan, tetapi tujuan utama dalam setiap kebijakan ekonomi. Islam dengan tegas melarang kekayaan hanya beredar di segelintir orang kaya saja. 


Allah Swt. berfirman: “Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian.” (TQS. Al-Hasyr [59]: 7)


Islam juga telah melarang praktik menimbun harta. Sebaliknya, Islam justru mendorong agar setiap harta berputar melalui berbagai jenis muamalah dan investasi riil. Islam juga mendorong kaum muslim untuk gemar melakukan infak/sedekah, hibah, dan wakaf serta mewajibkan zakat. 


Negara dalam adalah pihak yang paling bertanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan pokok rakyatnya berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan. Kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, dan papan dipenuhi secara tidak langsung dengan cara mewajibkan setiap laki-laki untuk bekerja. Maka negara harus menyediakan lapangan pekerjaan bagi setiap laki-laki. 


Kebutuhan pokok berupa pendidikan, kesehatan, dan keamanan dipenuhi langsung oleh negara. Seluruh pembiayaan tersebut berasal dari kas Baitulmal yang bersumber dari pos-pos pendapatan negara, terutama hasil dari optimalisasi pengelolaan kekayaan milik umum (SDA). Wallahualam bissawab.