Beras Oplosan Potret Buruknya Sistem Kapitalis
OpiniKasus beras oplosan contoh yang kasus yang kasat mata
Lemahnya pengawasan negara terhadap distribusi bahan pangan
_________________________
Penulis W. Wardani
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Beras oplosan yang beberapa waktu silam diberitakan, ternyata juga ditemukan di Kalsel. Hasil dari investigasi Deperindag Kalsel ditemukan tiga merk beras kemasan yang dijual di ritel tidak sesuai antara label dan isinya.
Beras oplosan tidak hanya ditemukan di pasar modern tetapi juga di pasar tradisional. Tak hanya temuan beras oplosan, ada pula beras dengan label premium kurang dari jumlah takaran.
Dalam skala nasional, hasil investigasi Kementan dan Satgas Pangan Polri mengungkapkan setidaknya ada 212 merek beras yang terbukti tidak memenuhi standar mutu, baik dari sisi berat kemasan, komposisi, hingga labelnya. Menurut Kementerian Pertanian akibat dari praktik ini, kerugian yang ditanggung masyarakat mencapai Rp99,35 triliun per tahun. Selain merugikan masyarakat, beras oplosan ini juga merugikan negara. Pasalnya beras untuk program stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP) yang mestinya dijual murah, malah dioplos dijadikan beras premium. Kepolisian telah memeriksa 16 produsen yang diduga terlibat dalam kasus ini. (Kumparan.com, 02-09-2025)
Permasalahan terkait dengan beras sebenarnya tidak hanya kali ini terjadi, tetapi sudah berulang kali padahal beras merupakan makanan pokok masyarakat kita. Yang mana ketersediaannya seharusnya dijamin oleh negara. Semestinya negara menjadikan masalah beras ini sebagai masalah yang serius.
Negara harus memastikan mulai dari masalah produksi, penyimpanan, distribusinya harus dibawah kendalinya. Negara harus menjamin bahwa warganya bisa mengakses beras dengan mudah dan harga terjangkau serta mutu yang berkualitas. Namun sungguh sayang, hal ini belum bisa diwujudkan di negeri ini.
Kasus beras oplosan contoh yang kasus yang kasat mata lemahnya pengawasan negara terhadap distribusi bahan pangan. Negara seolah tidak berkutik di hadapan pengusaha. Beras oplosan bisa dikatakan merupakan bentuk kecurangan yang dilakukan oleh pengusaha. Yang namanya pengusaha tentu orientasinya adalah keuntungan semata. Atmosfir sekuler kapitalis yang abai terhadap agama menstimulus pengusaha yang minim akhlak untuk melakukan kecurangan. Ditengarai praktek kecurangan tidak dilakukan kali ini saja, tetapi sudah bertahun-tahun.
Ini karena penerapan paradigma kapitalisme dalam pengurusan rakyat. Dalam paradigma ini peran negara diserahkan kepada korporat. Korporat yang sebenarnya menguasai pangan di negeri ini. Mereka memainkan stok untuk menciptakan kelangkaan, lalu menaikkan harga. Mereka membeli dari petani dengan harga rendah, mengoplos, lalu menjual ke pasar dengan margin besar.
Negara hanya berfungsi sebagai regulator. Penguasaan negara terhadap pasokan pangan tidak lebih dari 10%, sehingga tidak punya posisi tawar terhadap korporat. Sungguh dalam sistem yang lahir dari paradigme sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan ini, negara tidak bisa memerankan fungsinya sebagai pengurus rakyat dengan optimal.
Berbeda secara diametral dengan paradigma kapitalisme, Islam mempunyai perspektif yang sahih. Islam mengharuskan penguasa atau pejabat untuk bersikap amanah dan bertanggung jawab dalam menjaga tegaknya keadilan. Apalagi penguasa adalah rain atau pelayan bagi rakyat dan pelindung rakyatnya. Dalam Islam, tegaknya aturan didukung oleh tiga hal yaitu ketakwaan individu, kontrol masyarakat, dan tegaknya aturan oleh negara yang akan terwujud dengan sistem sanksi yang tegas dan menjerakan.
Politik ekonomi negara Islam mempunyai tujuan untuk menjamin pemenuhan kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, dan perumahan bagi seluruh rakyat, sembari memberikan kesempatan bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier.
Salah satu pendekatan untuk mencapai tujuan ini adalah dengan memastikan bahwa kebutuhan pokok masyarakat dapat terjangkau, baik melalui mekanisme pasar maupun melalui pemberian bantuan. Agar kebutuhan tersebut dapat tersedia dan terjangkau, terdapat berbagai pendekatan yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan ini, termasuk mendorong produksi, mengatur pasar agar beroperasi secara efisien dan tetap syariah, serta memberikan bantuan di luar kerangka pasar.
Dari sisi produksi, Islam menekankan pentingnya produksi barang kebutuhan pokok secara efisien guna memastikan ketersediaan yang memadai dan harga yang terjangkau. Pemerintah dapat memberikan insentif dan kebijakan yang mendukung produksi dan distribusi yang efisien. Sebagai contoh, di negara Islam biaya produksi menjadi lebih efisien karena tidak ada biaya sewa lahan pertanian yang menurut pendapat yang raajih dilarang dalam syariat.
Tanah juga dijaga produktivitasnya dengan larangan atas pemiliknya menelantarkan tanah pertanian selama lebih dari tiga tahun. Negara juga bertanggung jawab dalam mendistribusikan tanah kepada mereka yang membutuhkan dan mampu menggarap tanah. Biaya modal untuk produksi, seperti benih, pupuk, serta sarana dan prasarana pertanian, dapat diperoleh dari Baitulmal jika petani mengalami kesulitan. Negara juga memberikan dukungan dan dorongan kepada petani untuk mengadopsi input pertanian terbaik serta teknologi terkini agar hasil pertanian dapat ditingkatkan produktivitasnya secara lebih efisien.
Dari sisi distribusi, negara Islam memiliki struktur pemerintahan yang bertanggung jawab untuk menegakkan keadilan dan melindungi hak publik, yang diwakili oleh lembaga qaadhi muhtasib atau hisbah. Dalam kitab Ajhizah Daulah al-Khilafah tugas utama lembaga ini adalah mengawasi kegiatan publik, termasuk para pedagang dan pekerja. Tujuannya untuk memastikan bahwa mereka mematuhi hukum-hukum Islam dan mencegah praktik penipuan dalam perdagangan, dan pekerjaan mereka. Mereka juga bertugas memberikan sanksi terhadap pelanggaran, seperti penggunaan timbangan atau takaran yang merugikan masyarakat.
Dalam Islam, terdapat larangan penimbunan barang pokok. Hal ini karena dapat menyebabkan kenaikan harga yang tidak wajar. Penimbunan barang dapat mengganggu keseimbangan pasokan dan permintaan. Akibatnya, harga menjadi tidak terjangkau bagi masyarakat. Menurut Ibnu Taimiyah, penimbunan barang yang dibutuhkan oleh masyarakat merupakan bentuk kezaliman yang dilarang dalam Islam. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi saw. yang menyatakan, “Tidak ada yang menimbun kecuali orang yang bersalah.” (HR. Muslim)
Islam melarang pemerintah untuk mematok harga barang dan jasa yang diperdagangkan oleh para pedagang. Dengan demikian, harga ditentukan oleh mekanisme pasar yang sehat tanpa intervensi pembatasan harga, baik batas bawah untuk menjaga agar tidak jatuh sehingga merugikan produsen, maupun batas atas untuk melindungi konsumen dari harga yang terlalu mahal.
Larangan ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Anas ra., Dia berkata: Harga melonjak pada masa Rasulullah saw. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak menetapkan harga?” Beliau menjawab, “Sungguh Allahlah Yang Maha Menahan dan Memberi rezeki, Yang Maha Pemberi harga. Aku berharap bertemu dengan Allah dalam keadaan tidak seorang pun menuntut aku tentang kezaliman dalam darah dan harta." (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Islam juga melarang penipuan dalam perdagangan. Contoh penipuan dalam perdagangan pangan, sebagaimana yang ditemui oleh Nabi saw., adalah ketika pedagang menyembunyikan cacat dan menipu barang dagangan sehingga barang yang dijual terlihat lebih baik dari yang sebenarnya. Oleh karena itu penipuan, pengkhianatan dan penyembunyian cacat dalam produksi dan perdagangan harus dicegah
Demikianlah beberapa aturan Islam dan praktik-praktik yang pernah diterapkan di Daulah Islam untuk memastikan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Tujuannya bukan semata untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, namun juga untuk mencapai rida Allah Swt. melalui penerapan Islam dengan benar dan menyeluruh. Wallahualam bissawab. [GSM/MKC]


