Tunjangan DPR Fantastis: Wajah Buram Demokrasi Kapitalisme
OpiniUntuk bisa duduk di kursi legislatif, kandidat mesti mengeluarkan biaya besar
Wajar apabila sudah terpilih, ada dorongan kuat untuk 'balik modal' melalui fasilitas, proyek, dan tunjangan
____________________
Penulis Perawati
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI- Kemewahan Wakil Rakyat, Luka Kolektif Publik
Di tengah kondisi ekonomi rakyat yang makin melemah, berbeda fakta dengan para anggota DPR. Mereka memperoleh pendapatan di atas Rp100 juta per bulan. Tentu ini memunculkan kegaduhan publik. (BeritaSatu.com, 21-08-2025)
Adapun rincian fasilitasnya termasuk tunjangan bahan bakar senilai Rp7 juta dan tunjangan beras mencapai Rp12 juta setiap bulan. (Tempo.com, 20-08-2025)
Berbanding terbalik dengan kondisi rakyat. Banyak keluarga menengah yang terpaksa “makan tabungan” demi menutupi kebutuhan harian. Fenomena ini muncul karena pendapatan stagnan dan biaya hidup yang melonjak drastis. (CNBCIndonesia.com, 08-08-2025)
Kondisi yang sangat kontras dan menusuk hati. Di satu sisi, masyarakat berjibaku mencari cara untuk bertahan hidup. Di sisi lain, para wakil rakyat justru dimanjakan dengan fasilitas berlimpah. Keadilan sosial tidak tercipta, fondasi kebijakan publik runtuh, kesejahteraan rakyat makin jauh dari harapan.
Demokrasi Kapitalistik dan Produksi Ketimpangan
Fenomena tunjangan DPR tidak berdiri sendiri. Ia adalah cerminan dari watak asli demokrasi kapitalistik. Dalam sistem ini, jabatan politik bukan sekadar ruang pelayanan publik, melainkan juga instrumen akumulasi kekayaan. Untuk bisa duduk di kursi legislatif, kandidat mengeluarkan biaya besar. Wajar apabila sudah terpilih, ada dorongan kuat untuk 'balik modal' melalui fasilitas, proyek, dan tunjangan.
Parahnya, demokrasi memberi kewenangan kepada DPR untuk menentukan sendiri fasilitas mereka. Dalam praktiknya, mekanisme check and balance yang seharusnya melindungi kepentingan publik sering berubah menjadi formalitas belaka. Kesenjangan pun menjadi keniscayaan. Kebijakan yang dihasilkan cenderung memihak elite, bukan rakyat.
Inilah wajah nyata demokrasi kapitalistik: kekuasaan berada di tangan segelintir orang, sementara suara rakyat hanya jadi alat legitimasi. Kesejahteraan publik tersubordinasi di bawah kepentingan modal dan elite politik. Pada titik ini, masalah bukan lagi soal perilaku individu, melainkan cacat sistemik yang melekat pada fondasi demokrasi itu sendiri.
Jabatan Adalah Amanah, Bukan Privilege
Berbeda dengan demokrasi, Islam memandang kekuasaan sebagai amanah, bukan hak istimewa. Dalam sistem Islam kafah, anggota majelis umat (lembaga setara DPR) bukanlah pemilik kuasa mutlak, melainkan pengawas kebijakan. Fasilitas mereka diatur secukupnya dan tidak ditentukan sendiri, melainkan dibatasi oleh syariat.
Allah Swt. menegaskan: “Janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian harta orang lain dengan cara dosa…” (QS. Al-Baqarah: 188)
Ayat ini menunjukkan bahwa memanfaatkan jabatan untuk mengambil hak rakyat adalah bentuk kezaliman. Dalam Islam, fasilitas negara adalah amanah publik, bukan hak eksklusif pejabat.
Rasulullah saw. juga bersabda: “Pemimpin adalah pengurus dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Dengan pemahaman ini, seorang pejabat tidak boleh menjadikan jabatannya sebagai sarana memperkaya diri. Mereka justru dituntut untuk hidup sederhana, mendahulukan kepentingan umat, dan menghindari fasilitas berlebihan.
Menghadirkan Negara yang Melayani
Sistem Islam kafah menghadirkan tata kelola negara yang berbeda secara fundamental. Ada beberapa prinsip utama yang menjadi fondasi:
1. Akidah sebagai landasan kebijakan semua keputusan negara bersandar pada syariat, bukan kepentingan kelompok atau kesepakatan politik. Kemaslahatan umat menjadi orientasi utama, bukan keuntungan elite.
2. Fasilitas pejabat yang terukur. Anggota majelis umat hanya mendapatkan kompensasi secukupnya untuk kebutuhan hidup layak. Tidak ada konsep tunjangan mewah, karena jabatan adalah bentuk pelayanan, bukan privilege.
3. Transparansi pengelolaan Baitulmal. Setiap pemasukan negara — baik dari zakat, kharaj, jizyah, maupun sumber daya publik — dikelola sepenuhnya untuk kepentingan umat. Penyalahgunaan amanah langsung dikenai sanksi tegas berdasarkan hukum syariat.
4. Hisab akhirat sebagai pengikat moral. Kesadaran bahwa setiap keputusan akan dihisab di hadapan Allah membuat pejabat Islam lebih berhati-hati. Integritas lahir bukan dari pengawasan manusia, melainkan dari kesadaran iman.
5. Kesejahteraan rakyat sebagai prioritas. Islam mewajibkan negara menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyat, mulai dari pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, hingga keamanan. Dalam sistem ini, fenomena 'makan tabungan' tidak akan terjadi sebab negara memastikan standar hidup layak untuk seluruh warganya.
Perlu Perubahan Paradigma dan Sistem
Fenomena tunjangan DPR adalah cermin betapa dalamnya jurang antara elite dan rakyat. Selama sistem demokrasi kapitalistik menjadi fondasi, ketimpangan akan terus berulang. Perbaikan personal atau pergantian figur tak akan membawa hasil signifikan bila sistemnya cacat sejak dasar.
Islam kafah menawarkan jalan keluar yang sistemik. Negara yang berorientasi pelayanan, bukan keuntungan elite. Dengan mengembalikan seluruh urusan publik kepada aturan Allah Swt. keadilan sosial bukan lagi sekadar jargon, melainkan kenyataan.
Saatnya umat membuka mata, bahwa perubahan hakiki tidak bisa berhenti pada kritik. Kita perlu mengganti paradigma, meninggalkan sistem kapitalistik, dan menjemput kembali syariat Islam sebagai pedoman hidup. Hanya dengan itu, kita bisa menghadirkan negara yang benar-benar melayani rakyat, bukan menindasnya. Wallahualam bissawab. [EA/MKC]