Pendudukan Zion*s di G4za Harus Diakhiri
OpiniSelama pendudukan ini dibiarkan, tidak akan pernah ada perdamaian yang sejati.
Perundingan demi perundingan telah dilakukan selama puluhan tahun, tetapi hasilnya nihil
_______________________
Penulis Tutik Haryanti
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Lebih dari tujuh dekade, rakyat P4lestina hidup di bawah bayang-bayang pendudukan Zion*s yang kejam. Tanah mereka dirampas, rumah mereka dihancurkan, anak-anak mereka dibunuh atau dipenjara, dan hak-hak dasar mereka diinjak-injak setiap hari. Dunia menyaksikan semua itu, tetapi keadilan tak kunjung datang.
Pendudukan Zion*s di G4za ini dibuktikan dengan adanya pernyataan dari Perdana Menteri Israel Netanyahu bahwa Isra*l akan mengambil alih sepenuhnya Jalur G4za. Namun, Israel tidak akan memimpin secara langsung, tetapi menyerahkan wilayah tersebut kepada kekuatan Arab. (CNNIndonesia.com, 08-08-2025)
Pendudukan Zion*s harus diakhiri karena ia merupakan bentuk penjajahan yang secara tegas dilarang baik oleh ajaran agama maupun hukum internasional.
Pendudukan Zion*s Bentuk Kezaliman
Pendudukan Zion*s adalah kezaliman sistemis, sebuah penindasan terorganisir terhadap bangsa yang sah di tanahnya sendiri. Tidak ada hukum agama yang dapat membenarkan pencaplokan tanah, pengusiran massal, dan pembunuhan warga sipil yang tak bersenjata. Dalam hal kemanusiaan, ini adalah bentuk kejahatan yang sama sekali tak dapat ditoleransi.
Bukan hanya agama yang melarang penjajahan. Hukum internasional pun tegas menolaknya. Piagam PBB, Pasal 1 ayat 2, menyebutkan tujuan utama Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah menghormati hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasib sendiri. Resolusi PBB Nomor 242 (1967) dan 338 (1973) secara eksplisit meminta Israel mundur dari wilayah yang diduduki setelah Perang Enam Hari.
Namun hingga kini, Isra*l tidak hanya mengabaikan resolusi tersebut. Akan tetapi, memperluas wilayah pendudukannya. Permukiman ilegal terus dibangun di Tepi Barat, tembok pemisah dibangun untuk memecah-belah wilayah P4lestina, dan blokade total diberlakukan atas Jalur G4za, mengubahnya menjadi penjara terbuka terbesar di dunia. Semua ini adalah pelanggaran terang-terangan terhadap Konvensi Jenewa IV yang melarang pemindahan paksa penduduk sipil di wilayah yang diduduki.
Pendudukan Adalah Akar Konflik
Sering kali narasi media arus utama berusaha membingkai masalah P4lestina sebagai "konflik dua pihak" yang setara. Ini adalah manipulasi bahasa yang berbahaya. Realitasnya, ini bukan konflik biasa, melainkan penjajahan sepihak oleh kekuatan militer terhadap bangsa yang lebih lemah. Selama pendudukan ini dibiarkan, tidak akan pernah ada perdamaian yang sejati.
Perundingan demi perundingan telah dilakukan selama puluhan tahun, tetapi hasilnya nihil. Mengapa? Karena akar masalahnya yaitu pendudukan tidak pernah diselesaikan. Upaya damai akan selalu gagal jika pihak penjajah tidak mau mengakui kesalahan dan mengakhiri penindasannya.
Kewajiban Moral Umat Manusia
Membela P4lestina bukan semata urusan umat Islam. Ini adalah kewajiban moral seluruh umat manusia. Ketika Nelson Mandela berkata, "Kebebasan kita tidak lengkap tanpa kebebasan P4lestina," ia menegaskan bahwa keadilan di satu tempat tidak ada artinya jika ketidakadilan di tempat lain dibiarkan.
Setiap orang yang mengaku memperjuangkan hak asasi manusia tidak bisa bersikap netral dalam kasus ini. Netralitas di tengah penindasan hanyalah keberpihakan kepada penindas. Sikap diam adalah bentuk restu terhadap penjajahan.
Kita harus sadar, bahwa perjuangan pembebasan P4lestina bukan sekadar isu politik luar negeri. Ia adalah ujian bagi nurani kita. Apakah kita akan terus membiarkan anak-anak dibunuh, rumah-rumah dihancurkan, dan kebebasan sebuah bangsa dirampas?
Tekanan Internasional
Mengakhiri pendudukan tidak bisa hanya mengandalkan perlawanan rakyat P4lestina semata. Tekanan internasional harus digencarkan, baik dalam bentuk diplomasi, boikot ekonomi, maupun sanksi politik terhadap Isra*l. Gerakan Boycott, Divestment, Sanctions (BDS) adalah salah satu contoh nyata strategi non-kekerasan yang efektif.
Sejarah telah membuktikan, tekanan ekonomi dan diplomasi dapat meruntuhkan sistem apartheid seperti di Afrika Selatan. Prinsip yang sama dapat diterapkan terhadap Isra*l. Tentu, ini membutuhkan keberanian politik dari negara-negara, termasuk Indonesia, untuk tidak hanya bersuara di forum internasional, tetapi juga mengambil langkah nyata.
Jihad dan Khil4fah Adalah Langkah Nyata
Meski berbagai langkah tekanan internasional terus digencarkan, faktanya hingga kini tak mampu mengakhiri pendudukan Israel di Jalur G4za. Strategi apapun tidak akan berhasil mengusir Zion*s dari bumi para syuhada. Ini semua disebabkan kaum muslim tersekat-sekat oleh paham nasionalisme. Ditambah lagi, para penguasanya bungkam, seolah tuli dan bisu dengan kondisi di P4lestina dan justru menormalisasi hubungan baik dengan pihak Zion*s dan sekutunya.
Dalam firman Allah Swt. telah dijelaskan "Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka..." (QS. Hud: 113)
Genosida yang dilakukan Zion*s hanya bisa dilawan dengan perang. Zion*s tak mengenal arti perdamaian. Oleh karenanya, seluruh kaum muslim harus bersatu di bawah satu kepemimpinan seorang khalifah sebab hanya khalifah yang dapat menyerukan perintah jihad fii sabilillah melawan Zion*s.
Komando jihad fii sabilillah akan terealisasi oleh khalifah melalui institusi Daulah Islamiah. Di bawah Daulah, pasukan kaum muslim akan dikerahkan untuk segera mengakhiri pendudukan Zion*s di G4za. Dengan demikian, kebebasan P4lestina termasuk G4za akan dapat terwujud secara nyata.
Khatimah
Masa depan P4lestina yang merdeka, bebas dari pendudukan Zion*s bukan sekadar utopia. Ia adalah kemungkinan nyata jika mewujudkannya dengan jihad fii sabilillah. Oleh karenanya, umat Islam harus sadar dan bangkit untuk bersatu. Berjuang bersama untuk mengembalikan aturan Islam dalam Daulah Islamiah. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]


