Alt Title

Kurikulum Cinta dan Bahaya Sekularisasi Pendidikan

Kurikulum Cinta dan Bahaya Sekularisasi Pendidikan



Kurikulum sekuler seperti ini tidak akan membentuk kepribadian Islam

melainkan mencetak generasi yang bingung arah hidup: toleran hingga kemaksiatan, keraguan pada agamanya sendiri

_________________________


Penulis Manna Salwa

Kontributor Media Kuntum Cahaya


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Darurat Toleransi: Kurikulum Cinta pun Diluncurkan


Kementerian Agama RI pada pertengahan tahun 2025 resmi meluncurkan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) sebagai wajah baru pendidikan Islam nasional. Menteri Agama Nasaruddin Umar menyebut kebijakan ini sebagai bentuk transformasi besar dalam ekosistem pendidikan yang menekankan nilai humanisme, inklusivitas, spiritualitas, dan kesadaran ekologis. Menurut Kemenag.go.id, kurikulum ini hadir sebagai respons terhadap krisis kemanusiaan, kekerasan berbasis agama, intoleransi, dan degradasi lingkungan.


Lebih lanjut dijelaskan bahwa KBC akan diimplementasikan secara bertahap di madrasah dan sekolah Islam. Dengan menanamkan nilai-nilai cinta terhadap sesama, lingkungan, dan bangsa. Dalam konferensi pers yang disiarkan Republika, Menag menekankan pentingnya nilai cinta sebagai “dasar yang lebih universal dibandingkan doktrin tertentu”, serta sebagai instrumen untuk meredam ekstremisme dan memperkuat toleransi antaragama.


Namun, Antara News mencatat bahwa Kemenag secara eksplisit menyatakan KBC bertujuan untuk menanggapi radikalisme, mendorong moderasi beragama, serta memperkuat karakter kebangsaan. Muncul pertanyaan: apakah tujuan kurikulum ini murni cinta, atau justru deradikalisasi sistemik sejak dini?


Label Radikal Bagi yang Taat, Toleransi Bagi yang Bebas


Sekilas gagasan “Kurikulum Cinta” terlihat manis. Siapa yang akan menolak ajaran kasih sayang dan toleransi? Namun, jika ditelaah lebih dalam, kurikulum ini justru mengandung agenda ideologis terselubung. Ia tampak diarahkan bukan sekadar mendidik cinta kepada sesama, tetapi juga menyeleksi ekspresi keagamaan, khususnya pada umat Islam yang menegakkan penerapan syariat Islam secara kafah.


Standar ganda terlihat jelas: ajaran Islam yang kafah sering dicap radikal, ekstrem, bahkan teroris. Dakwah Islam dibungkam, pengajian dibubarkan, ormas Islam dibekukan. Sementara pada saat yang sama, umat Islam diajarkan untuk sangat toleran terhadap nonmuslim, hingga merayakan hari raya mereka. Masjid yang megah, tetapi gereja yang dilindungi. Umat Islam yang ingin menerapkan syariat malah distigmatisasi. 


Kondisi ini membentuk narasi bahwa cinta versi negara hanya boleh berlaku jika sesuai dengan nilai-nilai sekuler: menerima pluralisme secara mutlak, menjauhi syariat yang kafah, dan mendukung moderasi agama. Dengan kata lain, “cinta” dijadikan alat untuk mengendalikan umat Islam agar tidak terlalu “taat”.


Bukan Lagi Akidah Akal Jadi Landasan Pendidikan


Masalah utamanya bukan hanya sekadar isi kurikulum, tetapi asas yang mendasarinya: sekularisme. Kurikulum ini dibangun bukan atas dasar akidah Islam, tetapi pada nilai-nilai buatan manusia—yakni humanisme, nasionalisme, dan pluralisme. Maka tak heran jika penilaian baik dan buruk dalam kurikulum ini tidak ditentukan syariat, tetapi oleh standar politik. Dalam Islam, semua aturan kehidupan wajib didasarkan pada wahyu, bukan akal manusia. Allah Swt. berfirman:


“Jika kalian berselisih dalam sesuatu, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir.” (QS. An-Nisa: 59)


Ayat ini menegaskan bahwa seluruh keputusan, termasuk pendidikan, wajib kembali pada wahyu. Jika tidak, maka lahirlah kebijakan semu yang menguntungkan. Dengan menjadikan “cinta” sebagai asas kronik, maka nilai-nilai ajaran Islam yang mengandung ketegasan—seperti amar makruf nahi mungkar, al-wala’ wal bara’, jihad, dan penegakan hukum syariat—akan dianggap meremehkan.


Itulah mengapa dakwah Islam sering distigmatisasi ekstrem. Kurikulum sekuler seperti ini tidak akan membentuk kepribadian Islam, melainkan mencetak generasi yang bingung arah hidup: toleran hingga kemaksiatan, keraguan pada agamanya sendiri, dan alergi perjuangan terhadap penegakan syariat.


Cinta dalam Islam: Terikat Wahyu


Islam memiliki sistem pendidikan tersendiri yang jauh lebih kokoh dan menyeluruh. Tujuan pendidikan Islam bukan mencetak siswa toleran versi Barat, tetapi mencetak manusia yang berkepribadian Islam: cara berpikir dan penerimaannya sesuai syariat. Kurikulumnya pun berbasis akidah Islam, bukan nilai buatan manusia. Negara dalam Islam (Khil4fah) memiliki tanggung jawab penuh untuk menyusun kurikulum yang membentuk generasi mukmin yang taat syariat, cerdas, dan kontributif bagi umat. Islam tidak anti cinta, justru cinta dalam Islam adalah cinta karena Allah. Rasulullah ﷺ bersabda:


“Barang siapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan menjaga karena Allah, maka sungguh dia telah menyempurnakan imannya.” (HR. Abu Dawud)


Artinya, cinta dalam Islam tidak netral. Ia berpijak pada akidah dan nilai syariat. Seorang muslim mencintai saudaranya seiman dan membela agamanya, bukan tunduk pada tuntutan moderasi yang menjauhkan mereka dari syariat. Pendidikan Islam juga akan menyiapkan generasi untuk menjadi pengemban dakwah, bukan pembela sekularisme. Mereka mengajarkan tentang keutamaan jihad, pentingnya syariat, amar makruf nahi mungkar, serta loyalitas pada umat Islam.

 

Kurikulum berbasis cinta bukan solusi bagi krisis pendidikan, tetapi gejala dari sistem sekuler yang ingin menjinakkan umat Islam sejak dini. Dengan bungkus cinta, moderasi, dan inklusi, sebenarnya tersembunyi proyek deradikalisasi yang menjauhkan generasi dari agamanya.


Solusinya bukan mempercantik label kurikulum, tetapi mengubah paradigma mendasar: kembali kepada pendidikan Islam yang berbasis akidah. Hanya dengan sistem pendidikan Islam dalam naungan Khil4fah kita dapat mencetak generasi yang kuat, cerdas, dan bertakwa—yang cinta kepada Allah, Rasul, dan syariat-Nya secara total.


"Katakanlah: Jika kalian mencintai Allah, ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (QS. Ali Imran : 31)


Wallahualam bissawab. [GSM/MKC]