Alt Title

Ketimpangan Struktural di Balik Hunian Ultra Mewah

Ketimpangan Struktural di Balik Hunian Ultra Mewah



Inilah bukti ketimpangan struktural yang dilahirkan oleh sistem ekonomi kapitalisme liberal

Dalam perspektifnya, pembangunan hanya memihak pada kepentingan segelintir pihak


___________________


Penulis Ummu Zhafira

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Siapa yang tak ingin memiliki rumah di tengah padatnya kehidupan metropolis? Semua pasti berharap bisa punya tempat berteduh, tempat bertumbuh, meski itu sebidang kontrakan petak yang sesak. 


Sayangnya, masih banyak masyarakat bertahan hidup di tenda kardus yang tak layak. Mereka terpaksa menerima takdir kehidupan yang teramat getir. Hidup berbalut kekumuhan di bawah bayang-bayang keangkuhan ultra kemewahan.


Bekasi Punya Hunian Ultra Mewah


Sebagai kota penyangga ibu kota, Bekasi makin hari makin ramai karena menjadi tujuan para konsumen mencari hunian. Oleh karenanya, Summarecon Bekasi mencoba menjawab tantangan itu dengan mengembangkan sebuah klaster super mewah bertajuk Ultra-Luxury Living in Nature's Embrace. Mereka menyebut klaster kebanggaannya dengan Soultan Island.


Setidaknya ada beberapa pilihan tipe yang ditawarkan, yaitu Soultan 12, Soultan 15, dan Soultan 18. Sedangkan untuk harga dibanderol mulai dari Rp9,3 miliar hingga Rp29,5 miliar. Fantastisnya lagi, hanya dalam waktu dua jam saja di hari pertama soft launching (23-7) lalu, mereka mampu meraup total pendapatan mencapai Rp150 miliar.


Mereka mengeklaim bahwa klaster mewah tersebut tak hanya menawarkan keindahan arsitekturnya secara visual, tetapi dikelilingi nuansa alam yang memikat dan menenangkan. Dengan mengusung konsep Live with Convenience and Connectivity, klaster ini juga menawarkan akses yang sangat mudah ke berbagai fasilitas penting. Hanya lima menit ke Gerbang Tol Cikampek dan Gerbang Tol Becakayu, Stasiun LRT Bekasi Barat, serta Stasiun KRL Bekasi. (Detik.com, 24-07-2025)


Kawasan Kumuh di Balik Kota Metropolis


Di balik moleknya kemewahan Soultan Island yang ditawarkan, Bekasi sebagai kota metropolis masih harus berjibaku menangani persoalan kawasan kumuh yang mencapai ratusan hektare. Menurut data Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi, kawasan kumuh tercatat seluas 433 hektare pada tahun 2016. Sudah dilakukan penanganan sampai tahun 2020 hingga setelah dilakukan pendataan ulang masih tersisa seluas 365,07 hektare pada tahun 2021. (Radarbekasi.id, 17-01-2023)


Berdasarkan data Disperkimtan dan laporan RP2KPKP, banyak wilayah kelurahan di Kecamatan Bekasi Timur, Medan Satria, dan Bekasi Utara yang masuk daftar kawasan kumuh. Kawasan ini merupakan perkampungan padat penduduk dengan pasokan air bersih yang sudah tercemar limbah rumah tangga, tanpa adanya sarana prasarana seperti drainase dan penampungan sampah sementara. Ironisnya, inilah kawasan yang menjadi pintu masuk dan daerah sekitar yang mengelilingi kompleks Summarecon Bekasi.


Kapitalisme Lahirkan Ketimpangan Struktural


Inilah bukti ketimpangan struktural yang dilahirkan oleh sistem ekonomi kapitalisme liberal. Dalam perspektifnya, pembangunan hanya memihak pada kepentingan segelintir pihak. Dalam hal ini, terlihat bahwa pemilik modal pihak tersebut. Hal ini memperlebar jurang antara si miskin dan si kaya padahal mereka hidup berdampingan secara spasial.


Persis dengan apa yang telah diungkapkan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam (Sistem Ekonomi dalam Islam), kondisi seperti ini adalah buah dari penerapan sistem kapitalisme yang secara sistemik “menghimpun kekayaan di tangan segelintir orang dan membiarkan mayoritas umat berada dalam penderitaan.”


Klaster ultra mewah di tengah lingkungan kumuh ini menjadi indikasi gagalnya peran negara dalam menjamin distribusi kekayaan yang adil. Khas sistem ekonomi kapitalistik, kekayaan hanya dikuasai oleh mereka para pemilik modal. Dalam hal ini khususnya adalah kepemilikan lahan luas. Memang, kapitalisme memandang bahwa setiap individu memiliki kebebasan akses terhadap harta.


Oleh karena itu, negara tak melarang perusahaan pengembang membangun klaster mewah dan memfasilitasinya dengan aneka macam infrastruktur yang hanya bisa diakses terbatas oleh kalangan tertentu saja. Ini yang menjadikan banyak masyarakat akhirnya terpaksa bertahan hidup di kawasan pinggiran dengan terbatasnya fasilitas. Ini merupakan bentuk kezaliman struktural.


Bagaimana Islam Atasi Ketimpangan


Kondisi ketimpangan semacam ini merupakan kezaliman yang tak boleh dibiarkan. Di dalam Islam, negara adalah pengurus urusan umat. Setiap penguasa wajib mengurus urusan umat berdasarkan syariat Allah yang mulia. Dalam hal ini, negara wajib menjamin kebutuhan pokok seluruh rakyat, baik pangan, sandang, maupun papan dengan seluruh mekanismenya. Negara harus memastikan adanya distribusi harta di tengah masyarakat secara adil.


Allah melarang menumpuk kekayaan sehingga menimbulkan ketimpangan. Dia berfirman dalam QS. Al-Hasyr ayat 7: “Agar harta itu tak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.”


Islam tak mengharamkan kekayaan pribadi, bahkan membolehkannya asalkan kekayaan itu diperoleh dengan cara yang halal dan tidak menzalimi orang lain. Islam telah menetapkan pembagian kepemilikan harta menjadi tiga: kepemilikan pribadi, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara.


Individu haram hukumnya menguasai lahan luas yang bisa mengancam terpenuhinya kebutuhan masyarakat secara luas. Sebagaimana yang terjadi hari ini, perusahaan pengembang diberikan hak untuk menguasai lahan demi kepentingan mereka.


Oleh karenanya, negara Islam tak akan membiarkan hunian ultra mewah semacam ini tumbuh subur di wilayahnya, sementara masyarakat masih banyak yang hidup di tempat yang tak layak. Negara akan memastikan pembangunan semata-mata ditujukan untuk kemaslahatan masyarakat tanpa memandang status sosial.


Islam memastikan semua individu bisa mengakses seluruh kebutuhan asasi, khususnya rumah yang layak. Jika mereka tak mampu, negara akan mendorong para dermawan untuk membantu saudaranya.


Jika hal ini juga tidak ada, maka negara sendiri yang akan memberikannya. Dengan begitu, hanya Islam yang benar-benar mampu mengatasi masalah ketimpangan secara tuntas. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]