Alt Title

Beras Sulit Rakyat Menjerit Islam Solusinya

Beras Sulit Rakyat Menjerit Islam Solusinya




Beras tidak dipandang sebagai produk dagang untuk mengasilkan keuntungan untuk negara

tetapi dipandang sebagai kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi oleh negara


_________________________


Penulis Rosmiyati Siregar

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Pada hari Kamis 17 Juli 2025 lalu, pasar Sukaramai kedatangan Satgas Pangan Medan yang sedang melakukan sidak pasokan beras di pasar tersebut. Kedatangan Pak Gelora Ginting selaku Kadis Ketahanan Pangan Pertanian dan Perikanan Kota Medan langsung disambut dengan keluhan para pedagang beras. Mereka mengeluhkan kekosongan pasokan beras dan kenaikan harga beras yang melambung tinggi.


Bahkan, satu dari pedagang beras mengatakan harga beras dapat mengalami kenaikan hingga dua kali dalam sepekan. Terkadang pihak kilang beras mengurangi berat 2 ons dalam setiap karung beras. Dalam kunjungannya ini, Pak Gelora Ginting juga memberitahukan dalam waktu dekat beras SPHP akan segera masuk ke pasaran dan mengimbau kepada masyarakat baik penjual dan pembeli dapat menerimanya.


Mahalnya harga beras di kota Medan menyebabkan banyak masyarakat mengeluh, pasalnya mereka harus merogoh kocek sedikit lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka. Ada banyak faktor yang menyebabkan harga beras mengalami kenaikan, seperti kebijakan pemerintah terkait pembatasan impor dan kenaikan biaya produksi hingga pengetatan tata niaga melalui nontarif.


Dari beberapa faktor yang ada, kenaikan harga beras kali ini sungguh mengejutkan sekaligus mencengangkan. Hal itu dikarenakan produksi beras nasional tahun ini dalam keadaan memuaskan. Bahkan, stok CBP atau cadangan beras pemerintah tahun ini dalam kondisi tertinggi sepanjang sejarah.


Naiknya harga beras ini mengindikasikan adanya gangguan dalam rantai distribusi beras yang berdampak pada naiknya harga di pasar. Sebagian pihak juga menilai bahwa kondisi ini merupakan efek dari penerapan aturan pemerintahan terbaru. Di mana gabah atau beras wajib diserap oleh Bulog meski dengan kualitas rendah.


Kebijakan yang mewajibkan Bulog menyerap gabah petani dalam jumlah besar justru menciptakan penumpukan stok di gudang. Inilah yang menyebabkan distribusi pasokan beras ke pasar menjadi terganggu dan membuat harga beras menjadi naik. Belum lagi adanya para kartel yang menguasai bisnis beras yang dapat memainkan harga beras di pasaran.


Kebijakan terkait pertanian ini justru dinilai condong pada kepentingan para pemilik modal tanpa memedulikan nasib rakyat. Terlebih lagi petani yang dipaksa mandiri dengan modal seadaanya menghadapi masalah-masalah pertanian sendiri tanpa peran dan bantuan yang seadaanya dari pemerintah. Jika di luar negri kita melihat pertanian mereka didukung dengan teknologi, pengairan sawah yang tinggi di dalam negeri para petani harus berpikir keras bagaimana mengairi sawah mereka dengan alat seadanya, terlebih lagi di musim kemarau.


Belum lagi harga pupuk dan gabah yang kian mahal tidak sebanding dengan keuntungan yang mereka peroleh. Wajar, pada akhirnya ekonomi petani kita jauh dari kata sejahtera dan profesi petani makin ditinggalkan. Ditambah lahan sawah kini mengalami penyusutan dengan beralih ke bangunan dan tanaman lainnya.


Pengelolaan pangan yang terjadi saat ini mencerminkan ciri khas dari kapitalisme. Di mana kebijakan dan tata kelola lebih berpihak pada kepentingan pasar dan segelintir elite daripada kebutuhan dan kesejahteraan rakyat. Dalam sistem ini, pangan diperlakukan layaknya komoditas ekonomi semata, bukan sebagai kebutuhan dasar yang harus dijamin negara untuk seluruh warga dengan asas keadilan dan keberlanjutan.


Pengelolan pangan dengan logika keuntungan inilah yang menyebabkan distribusi pangan di tengah masyarakat seperti beras rawan spekulasi dan menjadi tidak merata. Ketika terjadi gangguan distribusi atau permainan harga oleh pihak-pihak tertentu, negara kerap kali bersikap pasif dan membiarkan mekanisme pasar bekerja. Alih-alih turun tangan langsung untuk menjamin kestabilan harga dan ketersediaan stok bagi masyarakat. 


Sistem aturan ini telah membuat akses terhadap pangan sangat bergantung pada kemampuan membeli bukan pada kebutuhan yang mendesak. Akibatnya, rakyat kecil menjadi pihak yang paling terdampak dari fluktuasi harga yang tidak menentu, terpinggirkan dari akses terhadap kebutuhan pokok dan terus-menerus berada dalam ketidakpastian akan kecukupan pangan sehari-hari. Hal ini menandakan bahwa dalam kapitalisme kepentingan ekonomi lebih diprioritaskan daripada kesejahteraan rakyat secara menyeluruh.


Dalam Islam, negara memiliki kewajiban syar'i untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat termasuk pangan seperti beras. Beras tidak dipandang sebagai produk dagang untuk mengasilkan keuntungan untuk negara, tetapi dipandang sebagai kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi oleh negara. Untuk itu, negara akan melakukan cara-cara agar kebutuhan dasar rakyatnya dapat terpenuhi dengan tepat, seperti distribusi, pengelolaan produksi, dan cadangan pangan secara langsung untuk kesejahteraan rakyat.


Negara akan memberikan berbagai bentuk dukungan kepada para petani seperti subsidi bibit, pupuk, serta sarana produksi pertanian atau saprotan secara cuma-cuma. Selain itu, negara akan membangun infrastruktur yang mendukung pertanian dan memudahkan terjadinya distribusi hingga ke wilayah terpencil. Negara juga menerapkan kebijakan larangan penimbunan atau ikhtikar yang dapat menyebabkan kelangkaan barang dan lonjakan harga secara tidak wajar.


Dalam Islam, praktik penimbunan ini jelas diharamkan sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw.: "Barang siapa menimbun makanan dengan maksud menaikkan harga dan merugikan masyarakat, maka ia berdosa." (HR. Muslim)


Dengan penyaluran dan pengedaran  yang adil dan lancar ini akan membuat harga bahan pangan di seluruh lapisan masyarakat akan tetap stabil sehingga dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat tak terkecuali rakyat miskin tanpa kesulitan. Islam juga akan memastikan harga barang-barang di masyarakat terbentuk secara alami melalui mekanisme pasar tanpa intervensi negara dalam bentuk pematokan harga.


Hal ini sesuai dengan ketentuan hukum Islam yang melarang negara ikut campur tangan dalam penentuan harga kecuali jika terjadi penipuan, kecurangan, atau penimbunan. Rasulullah saw. pernah menolak permintaan untuk menetapkan harga dengan sabdanya:  


"Sesungguhnya Allah-lah yang menentukan harga, yang menahan, yang melapangkan, dan yang memberi rezeki." (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)


Dengan demikian, kestabilan harga dicapai bukan melalui kontrol buatan, tetapi melalui sistem ekonomi Islam yang adil, transparan, dan jauh dari praktik zalim, seperti monopoli dan iktikar. Oleh karena itu, solusi hakiki atas persoalan ekonomi dan fluktuasi harga bukanlah tambal sulam regulasi dalam kapitalisme, melainkan perubahan menyeluruh menuju sistem Islam yang diterapkan secara kafah di bawah naungan Daulah Islamiah. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]