80 Tahun Merdeka tetapi Rakyat Masih Terjajah
OpiniIroni kemerdekaan Indonesia tidak hanya terlihat dari aspek ekonomi
terlebih lagi dari aspek pemikirannya
__________
Penulis Pera
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI- Indonesia telah melewati delapan dekade sebagai bangsa yang secara hukum terbebas dari penjajahan fisik. Namun, jika kita melihat kehidupan masyarakat hari ini, muncul pertanyaan besar, "Apakah rakyat benar-benar merdeka dalam arti sesungguhnya?"
Faktanya menunjukkan bahwa kehidupan ekonomi rakyat masih jauh dari kata sejahtera. Ribuan orang kehilangan pekerjaan dalam beberapa bulan terakhir. Data dari Kementerian Ketenagakerjaan mencatat hampir satu juta pekerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan sektor industri tekstil yang paling terdampak.(Metrotvnews.com, 05-08-2025)
Di sisi lain, kenaikan harga kebutuhan pokok makin memperberat daya beli masyarakat. Terbukti, banyak dari kalangan kelas menengah yang akhirnya harus mengandalkan tabungan untuk memenuhi keperluan sehari-hari. (CNBCIndonesia.com, 08-08-2025)
Kondisi ini memperkuat data dari Tirto.id (07-08-2025) bahwa posisi kelas menengah Indonesia sangat rapuh karena tidak memiliki cukup perlindungan ekonomi saat terjadi krisis. Pada akhirnya, mereka bisa terjatuh dalam jurang kemiskinan.
Ironi kemerdekaan negeri ini juga tidak hanya terlihat dari kondisi ekonomi. Dalam ranah pemikiran, generasi muda justru dibanjiri dengan narasi-narasi yang menjauhkan mereka dari Islam kafah. Di balik kampanye toleransi dan dialog antaragama, tersimpan program deradikalisasi yang menyudutkan ajaran Islam kafah sebagai ancaman. (Kemenag, 06-08-2025)
Pemikiran masyarakat dikondisikan agar tidak mempersoalkan sistem. Akibatnya, umat menjadi pasrah dan tak mampu menuntut perubahan yang fundamental.
Sekularisme Kapitalistik Penyebab Penjajahan Baru
Kondisi Indonesia saat ini sejatinya bukan akibat kesalahan individu semata. Akar masalah terletak pada sistem yang diterapkan, yakni sistem sekuler kapitalistik.
Sistem ini menempatkan kepentingan pemilik modal di atas kebutuhan rakyat. Pemerintah membuat kebijakan yang ramah investasi, tetapi tidak menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyat.
Sistem sekularisme kapitalis memiliki ciri yang khas dalam:
• Pengelolaan kekayaan negara berpihak kepada kepentingan korporasi, bukan untuk kesejahteraan umum.
• Pengelolaan hajat hidup rakyat atau kebutuhan pokok dalam hak pendidikan dan kesehatan dikomersialisasikan, bukan menjadi kewajiban negara terhadap rakyatnya.
• Kehidupan rakyat sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar.
Dalam konteks ini, negara hanya berperan sebagai fasilitator, bukan pelindung. Ketika ekonomi global terguncang yang pertama kali menjadi korban adalah rakyat kecil dan kelas menengah. Tanpa sistem perlindungan sosial yang kuat, mereka rentan jatuh miskin.
Selain itu, sekularisme menjauhkan umat dari Islam sebagai sistem hidup. Umat dibiarkan memahami Islam sebatas ibadah ritual, sementara urusan sosial, ekonomi, dan politik dikendalikan oleh nilai-nilai Barat. Inilah bentuk penjajahan non-fisik yang mengakar, yakni umat dijauhkan dari cara pandang Islam dalam menyelesaikan persoalan hidup.
Kemerdekaan Sejati dalam Naungan Syariat
Islam memandang kemerdekaan bukan hanya soal bebas dari penjajahan fisik, tetapi juga bebas dari sistem yang menzalimi rakyat. Dalam sistem Islam, negara tidak hanya menjaga wilayah, tetapi juga menjamin kesejahteraan rakyat dengan aturan yang adil dan bersumber dari wahyu.
Maka, negara Islam akan melakukan mekanisme:
• Menjamin kebutuhan dasar rakyat, seperti makanan, tempat tinggal, pendidikan, dan kesehatan — tanpa syarat dan tidak berbasis iuran.
• Mengelola kekayaan umum (air, energi, hasil tambang) sebagai milik rakyat, yang hasilnya dikembalikan kepada mereka dalam bentuk layanan publik.
• Membuka lapangan kerja melalui program pertanian dan industri berbasis kebutuhan, bukan semata target pertumbuhan ekonomi.
• Memberikan tanah kepada siapa saja yang siap mengelola, serta mendistribusikan zakat dan dana dari Baitulmal kepada yang membutuhkan.
Sistem Islam juga memiliki konsep pemikiran yang kuat dan membebaskan. Pemimpin dalam melaksanakan tugasnya tidak dipengaruhi oleh kepentingan kelompok, tetapi oleh ketakwaan dan rasa tanggung jawab di hadapan Allah Swt.. Media dan pendidikan diarahkan untuk mengokohkan akidah umat, bukan mempromosikan nilai-nilai asing.
Sebagaimana Allah Swt. berfirman: "Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit." (QS. Thaha: 124)
Ayat ini memperingatkan bahwa kehidupan akan penuh kesempitan dan kesengsaraan jika tidak dibangun dengan panduan dari Allah Swt.. Sistem sekuler, seberapa pun diperbarui tidak akan pernah mampu membawa keadilan dan keberkahan karena menjauh dari hukum-Nya.
Wujudkan Kemerdekaan Hakiki dengan Perubahan Sistemik
Perayaan kemerdekaan ke-80 ini seharusnya menjadi titik balik, bukan sekadar pesta tahunan. Sudah terlalu lama umat Islam hidup dalam sistem yang menyengsarakan. Sudah terlalu lama kita dibuai dengan slogan-slogan palsu, sementara kenyataan hidup makin pahit.
Kemerdekaan sejati hanya akan diraih ketika umat terbebas dari sistem kufur dan kembali pada aturan Allah Swt. secara kafah. Untuk itu, dibutuhkan perubahan hakiki, bukan sekadar reformasi tambal sulam tetapi perubahan dari akar, yakni mengganti kapitalisme dengan sistem Islam.
Perubahan ini harus dipimpin oleh jemaah dakwah ideologis yang mengajak umat untuk berpikir sesuai Islam, menggugah kesadaran, dan memimpin umat menuju penerapan syariat di bawah naungan Khilaf4h ‘ala minhaj an-nubuwwah.
Inilah kemerdekaan hakiki ketika seluruh aspek kehidupan diatur oleh aturan Ilahi, bukan oleh hawa nafsu manusia. Itu hanya akan terwujud ketika umat sadar, bergerak, dan tidak lagi puas dengan kemerdekaan semu. Wallahualam bissawab. [EA/MKC]