80 Tahun Merdeka, Kelas Menengah Terjun Bebas
OpiniKegagalan negara dalam mengelola kekayaan justru memperlebar jurang kesenjangan sosial
antara kelompok kecil yang super kaya
_________
Penulis Alfinatun Nadhir
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI- Saudara sebangsa dan setanah air, delapan puluh tahun sudah bangsa ini diakui sebagai negara yang merdeka. Bendera Merah Putih berkibar, lagu kebangsaan berkumandang, dan rakyat bersorak merayakan kemerdekaan.
Namun, di balik gegap gempita itu ada sunyi yang tak terdengar jeritan rakyat kalangan menengah yang menjadi tulang punggung ekonomi bangsa. Kondisinya kian terimpit antara kemapanan yang tak tercapai dan kemiskinan yang mengintai.
Potret keterpurukan kelas menengah ini nampak dari persentase yang menunjukkan bahwa jumlah kelas menengah menurun. Pada tahun 2019 tercatat 57,33 juta orang atau 21,45% menurun menjadi 47,85 juta orang atau 17,13% pada tahun 2024. Artinya, sekitar 9,48 juta orang turun kasta dalam lima tahun terakhir. Persentase penurunan dalam 16,5% ini menandakan adanya kerapuhan lapisan masyarakat yang menjadi penopang kestabilan negara. (tirto.id, 07-08-2025)
Ironi tersebut makin terasa ketika melihat kontribusi pajak kelas menengah. Saat ini, kelas menengah ini masih menjadi penyumbang pajak 50,7% dari penerimaan pajak nasional dan kalangan menengah bawah menjadi penyumbang 34,5% dari penerimaan pajak nasional.
Kedua lapisan masyarakat ini kondisinya kian melemah. Untuk memenuhi kebutuhan pokoknya mereka harus merogok kocek tabungan yang ada disebabkan kenaikan harga pangan yang terus melonjak. Sementara di sisi lain, negara masih menggantungkan kekuatan fiskalnya pada mereka tanpa diiringi kebijakan yang cukup untuk menguatkan daya tahan finansial mereka.
80 Tahun Merdeka, Merdeka dari Apa?
Kemerdekaan seharusnya berarti kebebasan dari kemiskinan, hak atas kesejahteraan, dan peluang yang setara. Namun, fakta bahwa jutaan kelas menengah justru tergelincir ke bawah mengundang pertanyaan getir. Apakah 80 tahun merdeka hanya berarti merdeka di atas kertas?
Negara yang berdiri di atas semangat gotong royong justru membiarkan rakyatnya yang berperan penting sebagai penopang ekonomi bangsa berdiri di tepi jurang. Pendidikan dan kesehatan masih sangat membebani, biaya hidup kian melambung, sementara akses untuk naik kelas ekonomi kian sempit.
Kegagalan Negara dan Menyusutnya Kelas Menengah
Jika ditarik lebih jauh, akar persoalan menyusutnya kelas menengah di Indonesia bukan semata akibat siklus ekonomi global atau pandemi. Masalah utamanya justru berakar pada kegagalan negara dalam mengelola kekayaan yang melimpah.
Ironisnya, sebagai negeri yang disebut "gemah ripah loh jinawi", Indonesia seharusnya mampu mensejahterakan seluruh lapisan rakyat. Tanah Indonesia sangat kaya dengan sumber daya alam seperti: minyak bumi, gas, batu bara, nikel, sawit, hasil hutan dan laut. Jika diurus dengan pola yang benar pasti akan menjadi pendapatan negara yang bernilai triliunan rupiah.
Sayangnya, sistem sekuler kapitalisme yang diterapkan negeri menjadikan negara menyerahkan pengelolaan sumber daya alam ini kepada para investor asing. Alhasil, investor asing untung, sementara rakyat buntung.
Begitulah ketika negara salah urus dan mengeluarkan kebijakan yang berpihak pada pemodal besar, kapasitas fiskal negara ikut tergerus. Pendapatan negara tidak berbanding lurus dengan melimpahnya sumber daya alam.
Di sisi lain, belanja publik untuk sektor esensial (pendidikan, kesehatan, jaminan sosial) seringkali terbatas dan tidak merata padahal ruang fiskal yang kuat adalah prasyarat agar negara mampu melindungi dan memperkuat kelas menengah. Fakta bahwa jumlah mereka kian menurun setiap tahunnya sejak tahun 2019 menandakan semakin banyak masyarakat yang terlempar ke bawah, rawan jatuh miskin ketika krisis melanda.
Ironi, bangsa Indonesia telah merdaka 80 tahun. Namun, negara gagal dalam mengelola kekayaannya dan tidak mampu mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial. Kegagalan negara dalam mengelola kekayaan justru memperlebar jurang kesenjangan sosial antara kelompok kecil yang superkaya dan mayoritas rakyat yang bertahan hidup dengan penuh keterbatasan.
Islam sebagai Solusi yang Hakiki
Islam menawarkan paradigma yang berbeda dari sistem kapitalisme dan liberalisme yang saat ini menjadi dasar pengelolaan negara. Prinsip utama dalam Islam adalah menempatkan negara sebagai pengelola amanah publik, bukan sekadar regulator bagi kepentingan swasta. Beberapa solusi kunci dari sistem Islam adalah:
1. Pengelolaan Kepemilikan Umum oleh Negara
Dalam Islam, kekayaan alam seperti tambang, minyak, gas, hutan, dan laut termasuk kategori milkiyyah ‘ammah (kepemilikan umum). Rasulullah ﷺ bersabda:
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api (sumber energi).” (HR Abu Dawud)
Artinya, kekayaan ini tidak boleh diserahkan kepada swasta atau asing, melainkan harus dikelola langsung oleh negara demi kepentingan rakyat.
2. Pendapatan Negara Mandiri dan Surplus
Dengan mengelola sumber daya alam secara mandiri, negara akan memiliki kapasitas fiskal yang kuat tanpa bergantung pada utang luar negeri atau pajak berlebihan kepada rakyat. Hasilnya bisa dialokasikan untuk kebutuhan vital masyarakat, seperti: pendidikan, kesehatan, transportasi, dan jaminan sosial yang gratis atau terjangkau.
3. Distribusi Kekayaan yang Adil
Islam mencegah terjadinya akumulasi kekayaan pada segelintir orang. Allah Swt. berfirman:“…supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS. Al-Hasyr: 7)
Mekanisme zakat, larangan riba, pengaturan warisan, hingga larangan monopoli menjadi instrumen distribusi yang menjaga keseimbangan ekonomi masyarakat.
Dalam sistem Islam, negara akan memastikan kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, keamanan) setiap individu terpenuhi. Dengan itu, rakyat tidak hanya sekadar bertahan hidup, tetapi juga memiliki ruang untuk berkembang secara produktif. Hal ini menjadi basis kuat lahirnya kestabilan ekonomi dan rakyat yang sejahtera. Wallahualam bissawab. [EA/MKC]