Alt Title

Tarif Impor Turun: Angin Segar atau Bencana Besar

Tarif Impor Turun: Angin Segar atau Bencana Besar



Dengan ditetapkannya bea masuk nol persen bagi produk AS sangat merugikan Indonesia

Sebaliknya, Amerikalah yang paling diuntungkan dengan keuntungan ganda

___________________________


Penulis Mia Annisa

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Literasi


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI- Dalam negosiasi antara Presiden AS Donald Trump dan Prabowo, Indonesia mendapatkan kelonggaran tarif impor 19% lebih rendah dari yang sebelumnya sebesar 32%. Menariknya dari kesepakatan turunnya tarif impor menjadi 19 % ini, sebagai gantinya Indonesia harus membeli produk pertanian sebesar 4,5 miliar US dollar, energi sebesar 15 miliar US dollar serta 50 pesawat Boeing 777 yang diangkut oleh perusahaan pelat merah yaitu Garuda Indonesia. (tempo.co, 22-07-2025)


Masih dirilis dari tempo.co, bahkan kabarnya untuk membeli 50 pesawat Boeing tersebut Garuda Indonesia meminjam dana dari Badan Pengelola Investasi Daya Anangata (Danantara) sebesar 6,65 triliun rupiah. 


Mirisnya, Amerika tidak akan membayar apa pun sebagai imbalan tarif 19%. Amerika meminta akses penuh terhadap pasar domestik di Indonesia, termasuk sektor pertambangan unggulan seperti tembaga produk mineral kristis, yaitu tanah jarang. Sebagaimana yang disampaikan oleh Trump kepada wartawan di gedung putih, "Kami memiliki akses penuh ke Indonesia, semuanya. Indonesia sangat kuat dalam tembaga berkualitas tinggi yang akan kami gunakan." (bloombergtechnoz.com, 16-07-2025)


Disadari atau tidak bahwa apa yang disampaikan oleh Trump 'full acces' dengan ditetapkannya bea masuk nol persen sangatlah tidak sebanding keuntungan yang didapat. Justru Amerikalah yang paling diuntungkan dengan keuntungan ganda. Dengan bea masuk nol persen mereka bisa mengakses kekayaan tambang (tembaga) Indonesia untuk dijarah dan dirampok, sementara Indonesia harus membeli produk energi dari mereka. Lalu apakah ada alasan yang lain? Jika sesungguhnya ini adalah bentuk baru dari pemerasan perdagangan.


Adanya pemerasan perdagangan, tentu ini sangat membahayakan. Pertama, Barat yaitu Amerika makin leluasa masuk mengobok-obok kekayaan tambang Indonesia. Mengambil alih kepengelolaan. Kali ini menunjukkan Indonesia kembali tak berkutik di bawah tekanan politik dagang Amerika. Turunnya tarif 19% harus dibayar mahal dengan menggadaikan sumber daya alam Indonesia untuk dieksploitasi besar-besaran dan keuntungannya dinikmati oleh para penjajah sementara rakyat dibiarkan dalam kemiskinan. 


Kedua, Indonesia menghadapi bahaya, yakni harus siap dengan banjir impor dari Amerika. Bukan tidak mungkin banyak mematikan pelaku industri/UMKM, kebangkrutan dan gulung tikar karena kalah bersaing dalam masalah harga dengan produk dari luar yang lebih murah, apabila kebijakan ini tidak diimbangi dengan upaya peningkatan daya saing industri dalam negeri. Berikutnya, Indonesia yang selalu mengandalkan impor untuk memenuhi kebutuhan domestik, pertanian misalnya akan mengancam ketahanan pangan nasional. 


Ketiga, penetapan bea masuk nol persen akan mengurangi pendapatan negara dari sektor kepabeanan yang bisa berdampak pada kemampuan pemerintah dalam membiayai berbagai program pembangunan. Bukan tidak mungkin, seperti yang sudah-sudah untuk menutupinya pemerintah akan menaikan pungutan pajak yang dibebankan kepada rakyat. Lagi-lagi masyarakat menengah ke bawah yang paling merasakan dampaknya. 


Berbeda dengan Cina dan Prancis, dua negara yang menolak negosiasi tarif Trump. Bahkan Cina mengenakan tarif balasan ke Amerika sebesar 34 persen serta dengan berani Cina membatasi ekspor logam tanah jarang ke Amerika tujuannya adalah untuk melindungi keamanan dan kepentingan nasional. 


Tentu Indonesia tidak akan seberani Cina dan Prancis. Mengingat pascaekonomi pasar bebas dibuka, Indonesia sampai hari ini benar-benar tidak memiliki posisi tawar di kancah perpolitikan internasional. Indonesia memang didesign untuk market pasar dunia. 


Inilah kapitalisme sebagaimana yang disampaikan oleh Syekh Taqiyuddin An-Nabhani faktor pendorong persaingan antarnegara menjadikan tarif perdagangan global sebagai persaingan antarnegara dengan membatasi pertumbuhan kekuatan negara lain. Motif yang paling berbahaya dalam persaingan global ini adalah perebutan sumber-sumber daya alam, pengaruh, dan menguasai pihak lain dalam segala bentuk dan jenisnya dengan wujud penjajahan atau imperialisme.


Berbeda dengan Islam, negara sebagai pengurus dan perisai bagi rakyatnya, termasuk dalam perdagangan luar negeri negara akan mengaturnya sesuai dasar syariat dan kemaslahatan umat sehingga negara akan memperhatikan dari mana asal barang, bukan melihat komoditasnya. Jika asal komoditi berasal dari dari negara kafir harbi fi'lan seperti AS, Zionis, Cina, Prancis, dan lainnya maka Daulah Islam tidak akan melakukan perdagangan sebab hubungan Daulah dengan mereka adalah hubungan perang bukan hubungan dagang. 


Kondisi ini akan melahirkan perbedaan sikap kepada kafir muahid yang terikat perjanjian damai selama waktu tertentu. Tidak selamanya perdagangan luar negeri itu dilakukan dan komoditi ekspor impor sesuai perjanjian. Tujuannya menghindari Daulah dari ketergantungan dan kekhawatiran di kemudian hari justru memperkuat mereka untuk memerangi kaum muslim serta ekspor-impor dari komoditi yang diharamkan, seperti daging babi, khamr, narkoba, dan sebagainya.


Kebijakan ini tidak serta merta dilakukan Daulah. Daulah juga harus memperhatikan ketersediaan rantai pasok di dalam negeri sebelum melakukan ekspor. Seyogianya inilah yang dilakukan negara Khil4fah tidak hanya menjaga pelaku bisnis dan industri, terlebih lagi adalah menjaga rakyat dan kedaulatan negara. Wallahualam bissawab. [EA/MKC]