Lindungi Generasi dari Kejahatan Siber
OpiniPerkembangan teknologi digital memunculkan kejahatan baru
Mirisnya, generasi dan anak sebagai pengguna internet ikut terpapar
__________________________________
Penulis N' Aenirahmah
Tim Media Kuntum Cahaya dan Pemerhati Generasi
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI- Era digitalisasi tidak terelakkan. Penggunaan gadget berbasis internet mulai dari ibu kota hingga pelosok desa. Orang tua, dewasa, remaja, hingga anak-anak menjadi penggunanya. Bahkan, ketika ada remaja di hari ini yang tidak memiliki gadget bisa dicap kuno dan terbelakang.
Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Kepala BKKBN Dr.Wihaji telah memberikan peringatan bahwa kondisi remaja Indonesia saat ini, mereka memiliki ketergantungan berlebih pada handphone atau gawai. Menurutnya, penggunaan gawai yang terlalu masif di usia remaja dapat menjadikan generasi muda semakin rentan terhadap ancaman siber. (Tempo.co, 09-07-2025)
Berdasarkan data yang dirilis BPS tahun 2022 pengguna gawai di Indonesia didominasi oleh anak-anak dengan persentase, anak usia dini 5-6 tahun mencapai 52,76%. Bahkan, balita 0-4 tahun pun sudah menjadi pengguna yakni 25,5%. (Kemendikbud, September 2024).
Data di atas diperkuat dengan hasil survey yang dilakukan pada tahun 2024 oleh Sigi Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia terhadap 8.700 responden. Hasilnya ditemukan anak usia 12 tahun memiliki akses internet hingga 48% mereka sudah terbiasa berselancar di Facebook, Instagram, dan Tiktok.
Gadget Bagai Dua Mata Pisau
Tidak dimungkiri, perkembangan dan kemajuan teknologi telah membantu manusia dalam kinerja, informasi, dan transaksi. Namun, ada sisi lain yang harus diwaspadai dan tidak boleh disepelekan seperti ketergantungan, kecanduan, bergesernya nilai-nilai masyarakat dalam interaksi, bahkan aplikasi dan konten negatif yang menjerumuskan.
Telah banyak bukti jika gadget berdampak pada aspek psikologis dan perilaku anak dalam memicu stres dan depresi. Ketergantungan anak pada internet membuat mereka lebih agresif dan mudah tersinggung apabila aksesnya tiba-tiba dibatasi. Penelitian dari Kristiana Siste Kurniasanti dkk yang terbit dalam Medical Journal of Indonesia (2019) mengungkap bahwa perilaku penggunaan internet berlebihan mirip dengan pola kecanduan zat tertentu. Penelitian lainnya mengatakan kecanduan internet bisa memengaruhi perkembangan sel otak atau pre frontal cortex.
Perkembangan konten dan informasi di media sosial nyaris tidak ada filter dan pengawasan. Berbagai konten negatif seperti judol, pornografi, kekerasan, bulliying ikut berseliweran mudah diakses, termasuk oleh anak-anak. Alhasil, generasi mulai terpapar konten dan pemikiran negatif.
Perkembangan teknologi digital pun kini memunculkan kejahatan baru. Mirisnya, generasi dan anak sebagai pengguna internet ikut terpapar. Pornografi anak di ruang digital, perundungan, pelecehan online, pemalsuan akun, pemerasan online, dan lainnya telah menyeret generasi menjadi korban atau menjadi pelakunya.
Butuh Solusi Komprehensif
Dalam mengantisipasi kejahatan siber, pemerintah telah mengeluarkan regulasi Peraturan Pemerintah (PP) 17/2025 yang mengatur Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak atau PP TUNAS. Namun, sampai saat ini belum terlihat hasilnya secara signifikan. Buktinya kasus kejahatan dan kekerasan siber angkanya terus meningkat dan modusnya makin variatif.
Dilihat dari penyebab ternyata kejahatan siber tidak berdiri sendiri. Namun, sangat dipengaruhi oleh cara pandang negara dan masyarakat dalam sistem kehidupan. Saat ini sistem sekuler yang dipakai dalam mengatur sistem pendidikan, pergaulan, ekonomi, dan pemerintah.
Sistem sekuler menjauhkan peran agama dalam kehidupan dan mengagungkan kebebasan sehingga hasilnya kehidupan berjalan tanpa kendali agama, lahirnya aturan yang rusak dan merusak. Buktinya kejahatan berbasis siber makin tak terkendali walaupun sudah ada regulasi UU ITE belum bisa menjerat pelaku konten menyimpang dan melanggar atau asusila, pasal dalam UU ITE sering menimbulkan multitafsir. Pelaku pun lolos dari jeratan hukum dan kasusnya menguap tertelan waktu.
Islam Harapan Masa Depan
Islam sebagai agama yang lahir dari Pencipta Tuhan semesta alam memiliki aturan yang bersifat sebagai problem solving bagi problematika kehidupan manusia. Aturan Islam akan membawa rahmat bagi seluruh alam. Untuk menegakkan hukum syariat membutuhkan institusi sebagai pelaksana dan pelindungnya.
Negara Islamiah berdiri atas landasan akidah Islam, termasuk dalam sistem penerangan. Departemen penerangan berfungsi untuk memberikan informasi demi kemaslahatan Islam dan kaum muslim. Informasi yang disajikan akan memperkuat dan memperkokoh bangunan masyarakat islami, menghilangkan keburukan dan menonjolkan kebaikan.
Setiap rakyat diperbolehkan memiliki dan mendirikan media informasi. Pemilik dan pemimpin redaksi bertanggung jawab terhadap semua isi informasi yang disebarkan. Mereka akan dimintai pertanggungjawaban terhadap setiap bentuk penyimpangan yang bertentangan dengan syariat.
Negara Islamiah telah mempersiapkan berbagai regulasi hukum bagi para pelanggar atas dasar keadilan yang bersumber dari hukum syariat. Para individu rakyat dibekali pemahaman yang cukup tentang syariat Islam. Sistem pendidikan Islam akan melahirkan individu yang berkepribadian Islam. Dengan bekal pendidikan Islam, mereka akan bertindak sesuai aturan dan norma yang berlaku. Alhasil, rakyat menjadi benteng penegak hukum lapis pertama.
Kekondusifan kehidupan pun dijaga oleh budaya amar makruf nahi mungkar masyarakat. Mereka akan menjadi penegak hukum lapis kedua, yakni kontrol masyarakat.
Pemimpin dalam Islam tidak akan membiarkan rakyatnya teracuni serangan pemikiran selain Islam dan konten-konten beracun. Semuanya akan terpantau oleh pantauan dari negara. Dalam hal lain, negara akan menerapkan sistem penerangan Islam. Di mana informasi yang beredar di media sosial adalah sebagai sarana dakwah dan informasi yang benar, tidak ada penggiringan opini negatif dan pembodohan.
Di saat yang sama, negara juga akan menerapkan sistem pergaulan dan sistem ekonomi Islam sehingga setiap interaksi dan transaksi, baik di dunia nyata maupun di dunia maya akan selaras dengan tuntunan syariat.
Dengan demikian, hadirnya negara Islamiah menjadi kebutuhan mendesak di tengah rusaknya kehidupan dengan landasan sekularisme. Wallahualam bissawab. [EA/MKC]