State Capture: Keniscayaaan dalam Sistem Demokrasi
OpiniState capture merupakan keniscayaan dalam sistem politik demokrasi
karena sejatinya sistem demokrasi memang berbiaya mahal
_______________________
Penulis Nina Marlina, A.Md.
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Aktivis Muslimah
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Segudang permasalahan terus menghinggapi negeri ini, tak terkecuali masalah kolusi dan korupsi. Hal ini diakui oleh presiden sendiri saat berada dalam sebuah pertemuan di Rusia.
Presiden Prabowo Subianto menyebut ada bahaya besar yang mengintai Indonesia sebagai negara berkembang, yaitu state capture. State capture adalah kolusi antara kapital (pemilik modal) besar dan pejabat pemerintahan beserta elite politik. Kolusi ini tidak membantu mengentaskan kemiskinan atau memperluas kelas menengah. Menurutnya, setiap negara harus punya filosofi ekonomi yang sesuai dengan budaya dan sejarahnya masing-masing.
Dalam hal ini, presiden akan memilih jalan kompromi yaitu mengambil yang terbaik dari sosialisme dan kapitalisme. Prabowo menyebut dirinya memilih jalan tengah. Dirinya ingin menggunakan kreativitas kapitalisme, inovasi, inisiatif. Ia juga menyebutkan perlu intervensi pemerintah untuk memberantas kemiskinan, kelaparan, dan melindungi yang lemah.
Ia menambahkan bahwa filosofi ekonomi bisa dirangkum dalam satu kalimat yaitu kebaikan terbesar untuk sebanyak mungkin orang. Pemerintah harus bekerja untuk memberikan sebanyak mungkin kebaikan untuk rakyatnya. Presiden meyakinkan bahwa pemerintahan harus bersih dari korupsi karena inilah kunci pembangunan yang cepat. (Kumparannews.com, 20-06-2025)
Demokrasi Menyuburkan Kolusi Korupsi
Dalam sistem politik demokrasi yang berasaskan kapitalisme sekuler, tentu materi dan kepuasan duniawi akan dijadikan sebagai tujuan para pemangku jabatan. Para pejabat akan menghalalkan segala cara demi meraih kepentingan dan kekuasaannya. State capture merupakan keniscayaan dalam sistem politik demokrasi karena sejatinya sistem demokrasi memang berbiaya mahal. Hanya orang yang bermodal besar yang bisa menang dalam kontestasi politik ini.
Sistem demokrasi meniscayakan terjadinya politik transaksional karena penguasa tentu membutuhkan kucuran dana yang besar dari pengusaha untuk bisa maju dalam kontestasi. Dengan itu, secara otomatis pengusaha akan menuntut balas budi dalam bentuk kebijakan penguasa yang terpilih dengan bantuan pengusaha tersebut. Akhirnya, terjadilah praktek kolusi korupsi dalam sistem demokrasi ini. Ironisnya, pejabat yang naik ke tampuk kekuasaan belum tentu capable, mampu dan amanah dalam menjalankan kekuasaannya.
Sudah kita ketahui bersama, banyak kasus korupsi kelas kakap yang terjadi di negeri kita. Korupsi ini tiada lain didahului oleh kongkalikong antara pengusaha dan penguasa demi memuluskan kepentingan mereka yang saling menguntungkan. Yang paling marak terjadi saat ini adalah penguasa yang memberikan izin pertambangan kepada para pengusaha bermodal besar.
Mereka juga sering kali membiarkan pelanggaran yang dilakukan perusahaan misalnya terkait pencemaran lingkungan dan kerusakan alam. Seperti yang sedang hangat diperbincangkan yaitu kasus kerusakan lingkungan di pertambangan nikel Raja Ampat Papua Barat.
Kolusi korupsi memang bisa menjerat siapa saja, baik kepala daerah, menteri bahkan penegak hukum sekalipun dengan modus korupsi yang beragam. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menindak korupsi, di antaranya dengan pembentukan lembaga KPK. Namun faktanya, hal tersebut belum mampu memberantas korupsi.
Bahkan, pihak-pihak yang merasa terancam melakukan pelemahan terhadap lembaga KPK. Rakyat menjadi ragu akankah korupsi mampu diberantas hingga ke akarnya. Mereka geram karena korupsi telah menyebabkan kerugian besar kepada negara yang berujung kesengsaraan rakyat.
Dalam agenda Islamic Collaboration Forum, Sabtu 28 Juni 2025 Mantan Penasihat KPK Dr. Abdullah Hehamahua, SH., M.M. menyampaikan bahwa akhir tahun 2024 Indonesia dilantik sebagai negara terkorup di dunia. Menurutnya, tingkat kreativitas dalam korupsi sangat tinggi. Adapun motif korupsi itu ada tiga. Pertama, korupsi karena keserakahan. Kedua, korupsi karena ada peluang. Ketiga, korupsi yang telanjang. Ia menambahkan bahwa target korupsi itu tidak selalu berupa materi. Namun, berupa politik misalnya korupsi melalui pembuatan UU untuk kepentingan kelompok atau partai tertentu seperti untuk pilpres dan pilkada.
Sistem Islam Melahirkan Pejabat Amanah
Sistem demokrasi telah terbukti menyuburkan praktik korupsi atau mewujudkan state capture. Sementara itu, Islam sebagai sebuah agama dan ideologi telah mempunyai solusi jitu dalam mengatasi korupsi dan melahirkan pejabat yang amanah. Hal ini dapat diwujudkan dengan berbagai upaya.
Pertama, Islam menjadikan akidah Islam sebagai asas kehidupan setiap individu. Hal ini akan menjadikan setiap individu berbuat jujur. Islam juga menjadi asas negara sehingga para penguasa tidak akan menjadikan jabatan sebagai sarana untuk memperkaya diri sendiri dengan perbuatan curang. Islam memandang jabatan adalah amanah, dan dijalankan sesuai dengan tuntunan hukum syarak dan akan dipertanggungjawabkan kepada Allah. Mereka tidak akan berani mengkhianati rakyat, Allah dan Rasul-Nya. Keimanan dan ketakwaan yang dimiliki para pejabat akan mampu mengerem dari perilaku maksiat dan curang.
Kedua, dalam sistem Islam, para pejabat akan dihitung jumlah kekayaannya sebelum dan sesudah menjabat. Jika ada kelebihan harta yang tidak wajar, akan diteliti cara pemerolehannya sesuai syariat atau tidak. Jika terbukti korupsi, disita dan dimasukkan ke dalam Baitulmal (kas negara). Negara juga memiliki suatu badan untuk mengawasi secara ketat terkait keuangan sehingga mencegah kecurangan para pejabat.
Ketiga, dalam Islam negara akan menerapkan sanksi yang tegas dan menjerakan bagi para pelaku kejahatan termasuk para koruptor. Baik dengan cara publikasi, penyitaan harta, cambuk hingga hukuman mati. Karena itu, korupsi akan dapat dicegah dalam negara yang menjalankan aturan Islam secara kafah.
Khatimah
Berbagai kerusakan yang nampak dan kejahatan yang dilakukan oleh para pejabat hari ini berpangkal dari sistem yang rusak yakni demokrasi sekuler. Rakyat terus menjadi korban dari kezaliman penguasa dan penerapan sistem rusak ini. Maka, sudah saatnya kita campakkan demokrasi.
Saatnya Islam kembali hadir mengatur kehidupan umat termasuk dalam kehidupan bernegara. Niscaya keadilan dan kesejahteraan akan tercipta. Wallahualam bissawab.[Dara/MKC]